Kaysan duduk diam di hadapan Mahen. Keenan yang berada di sebelahnya sejak tadi hanya menundukkan kepalanya, pemuda itu tak berani menatap manik kelam Mahen yang menyorot tajam seakan-akan mengulitinya.
"Kemana dia? Kenapa dia tak ada di ruangan itu? Aku meminta kalian menjaganya tapi apa ini?!" Mahen menatap dua pemuda di depannya dengan sorot marah.
"Aku tidak tahu."
Mahen mendengus mendengar jawaban Kaysan yang terkesan tidak peduli. Pria itu memijit pangkal hidungnya pelan. Bianca menghilang! Wanita itu tidak ada di ruangan. Mahen tidak bisa mencium atau merasakan keberadaannya. Bagaimana dia bisa keluar?
"Aku mencium pinus, sedikit." Cicit Keenan sedikit mendongak menatap Mahen yang kini meliriknya.
"Pinus? Tidak ada dari kita yang memiliki aroma itu."
Keenan menggeleng. Dia tidak tahu, dia hanya mencium bau pinus yang tidak terlalu kuat. Hanya samar.
"Lagipula untuk apa jiwa mati berada di sini." Mahen mengerutkan keningnya berpikir.
Ruangan itu hening. Kaysan menoleh ke arah jendela yang terbuka memperlihatkan langit biru cerah yang indah. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Dia jadi teringat Sagas. Pemuda dengan wajah yang sebenarnya lebih cenderung manis itu akhir-akhir ini bersikap berbeda. Selama Kaysan mengamatinya, Sagas adalah anak yang ceria, banyak bicara, dan selalu mengganggu Stevan di sekolah.
Stevan, mengingatnya membuat Kaysan merasa bersalah dan juga marah. Dia merasa bersalah karena ternyata dia terlambat datang dan Kaysan marah karena Stevan sejak dulu tidak mau mendengarnya. Padahal pemuda itu sudah tahu kenyatannya. Tapi dia tetap keras kepala! Lihat! Sekarang dia menyesal!
Kaysan menunduk ketika merasa tangannya digenggam oleh seseorang. Kaysan membalas genggaman tangan yang lebih kecil darinya. Mengelusnya pelan merasakan hangatnya tangan halus milik Keenan.
"Kau tahu? Aku sebenarnya sudah curiga ini sejak awal. Dia yang membunuh Sagas. Dan mungkin saja aroma pinus itu adalah milik Sagas." Ujar Kaysan menatap manik kelam Mahen yang tajam.
Mahen mengangguk, "Ya, memang dia pembunuhnya. Dan sekarang jika benar Sagas membawanya, aku rasa kita aman."
"Tidak, dia kembali bukan? Dia ada di sekitar sini. Kita mungkin terbebas dari Bianca tapi tidak dengan dia, pak tua!" Sentak Kaysan dengan wajah datarnya.
Mahen terdiam. Ahh dia lupa, Bianca bukanlah musuh utama mereka. Wanita itu sebenarnya tidaklah bahaya. Selama jiwa yang dia panggil tidak menuruti perintahnya, semua tak akan menjadi bencana.
"Apa dia mengincar Sagas juga?" Tanya Keenan dengan nada khawatir, matanya sedikit bergetar mengingat kejadian lalu.
"Mungkin, tapi aku rasa Sagas yang sekarang tidak akan kenapa-napa." Mahen mengedipkan bahu nya acuh.
Melihat jiwa asing yang masuk ke dalam raga anak Tian itu, Mahen rasa pemuda itu tidak akan kesusahan jika sewaktu-waktu ada orang yang tiba-tiba berniat membunuhnya. Dari matanya, Mahen bisa yakin, jiwa itu sudah menghadapi banyak kematian. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kecuali...
Ken yang terlalu overprotektif, meski dia sudah tahu bahwa ada jiwa lain yang menempati raga putranya. Tapi tetap saja itu adalah tubuh putranya yang artinya jiwa asing itu juga putranya. Belum lagi seperti Tian mulai berubah peduli, pria tua itu tak lebih baik dari Ken. Oh jangan lupakan tiga iblis kecil itu.
Mengingatnya membuat Mahen pusing. Sagas yang sekarang boleh saja bisa melakukan apapun, tapi Bramata tak akan membiarkan tangan bungsu mereka kotor hanya untuk menyingkirkan bajingan itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
De Facto (END)
Novela Juvenil"Balas dendam terbaik adalah mengirim mu ke neraka!"