34

1.4K 127 5
                                    

Sagas duduk sendirian di bangku taman yang ga jauh dari rumahnya. Hari udah mulai petang, tapi pemuda itu tak ingin beranjak pulang. Dia yakin, rumah mungkin sedang kacau karena dirinya tak ada di sana. Sagas juga sudah bisa membayangkan reaksi Adam kalau tahu dia keluar tanpa pengawasan.

Hanya saja, Sagas sedang ingin sendirian.

Pemuda itu tersentak kecil ketika tiba-tiba ada seseorang yang duduk di sebelahnya. Matanya melotot ketika tahu siapa orang itu.

Teo! Kakak sulungnya.

"Saya tahu saya ga seharusnya ada di sini. Tapi saya cuma mau memastikan kamu baik-baik aja."

Sagas menatap Teo yang tersenyum tipis ke arahnya. Dia juga membiarkan tangan Teo yang mengusap rambutnya. Sagas ga bicara apa-apa, dia biarin Teo ngomong sendirian. Meski begitu, Teo terlihat ga keberatan. Bahkan pria itu kadang tertawa kecil karena ceritanya sendiri. Bikin Sagas mengernyit heran.

Ini orang kesurupan hantu taman atau kurang obat?

"Sagas, saya harap kamu cepat-cepat pergi dari sini dan ga usah kembali."

Sagas menatap manik hitam yang sama seperti miliknya. Ada sorot penuh ketakutan di dalam manik milik Teo.

"Abang ga suka aku di sini? Sebegitu besarnya kah rasa benci abang?" Sagas bertanya dengan lirih.

Teo menggeleng pelan, "Abang ga benci. Maaf buat perlakuan saya selama ini. Saya tahu saya salah. Saya tahu saya ga mungkin dapatin maaf dari kamu."

"Tapi tolong, tempat ini udah ga aman lagi buat kamu."

Sagas tak mengerti. Kemarin Elbarak juga mengatakan hal yang serupa. Sekarang Teo. Apa jika nanti kebetulan dia bertemu Stevan, pemuda itu juga akan mengatakan hal yang sama?

"Kamu tidak akan bertemu Stevan."

Seolah tahu apa yang Sagas pikirkan. Teo menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

Sagas menggeleng, "Aku ga ngerti. Kenapa? Ada apa? Kalau kalian ga benci aku, kenapa kalian larang aku?"

Teo menggeleng cepat, "Jangan sampai ketemu papa!"

Teo bangkit dan bergegas pergi. Meninggalkan Sagas yang termenung mencerna ucapannya. Teo harap, Sagas mau mendengar. Atau jika perlu dia pribadi akan mendatangi Jovanka agar segera membawa adiknya pergi.

Tapi...

Jovanka tak mungkin tak tahu bahaya yang tengah mengintai putranya bukan?

>>>

Adam menatap datar Sagas yang menunduk di depannya. Pria itu menghela napas lelah. Dirinya sungguh panik ketika Sam mengabari bahwa Sagas pergi sendirian tanpa pengawalan.

"Daddy maaf..." Lirih Sagas sedikit melirik Adam. Namun pria itu masih diam dengan tatapan yang semakin tajam.

"Daddy ngerti kamu butuh waktu sendirian. Tapi kenapa harus keluar rumah hm? Kenapa ga bilang ke Sam? Dia bisa kosongin ini rumah buat kamu." Adam mendekat dan merangkul pundak sang putra. Membawanya untuk duduk di sofa.

"Iya maaf, aku cuma mau hirup udara segar aja." Sagas menatap ayahnya itu dengan pandangan memelas. Berharap Adam luluh. Dan ya, selalu berhasil!

"Jangan diulangi lagi. Dunia luar bukan tempat yang aman untuk kamu."

Lagi, Sagas mendengar kata yang sama. Tak aman apanya? Bawahan Adam ada di mana-mana juga kan? Kenapa harus se khawatir itu?

"Dad, ada masalah? Yang bersangkutan dengan ku?"

Adam hanya tersenyum tipis menanggapi pertanyaan putranya. Sagas sendiri semakin merasa yakin bahwa ada yang tidak beres di sini.

"Tak perlu khawatir. Daddy tak akan membiarkan hal buruk terjadi pada mu. Lebih baik, pikirkan sekolah mu. Dua hari lagi kamu akan sekolah."

Mendengar itu Sagas berdecak kesal. Sudah lama dia tidak sekolah. Apakah otaknya sudah karatan?

"Wait, dad. Aku kelas berapa?"

"Kelas 12, kan? Daddy masukin kamu ke sekolah baru, kelas 12. Oh salah ya? Tapi udah terlanjur kedaftar tuh, gpp lah."

Adam mengangkat bahunya tak acuh, mukanya lempeng banget. Sagas si cuma diem aja. Iya ya, dia kelas berapa ini? Kok Sagas jadi lupa? Apa efek berbulan-bulan ga sekolah?

Berdoa aja otaknya masih berfungsi dengan baik untuk menerima asupan pelajaran.

>>>

Dua hari itu berlalu cepat. Sagas mematut dirinya pada cermin besar yang berada di kamarnya. Seragam itu terlihat pas pada tubuhnya. Sagas tersenyum kecil. Sekolah barunya mungkin bukan tempat yang buruk.

Sam yang sejak tadi membantu Sagas berkemas pun tersenyum kecil. Pria itu banyak berdoa yang terbaik untuk tuan mudanya.

"Tuan muda, hari ini anda berangkat bersama saya. Tuan Adam sudah pergi ke kantor sejak satu jam yang lalu."

Sagas si ga kaget. Dia juga ga berharap Adam mau nganterin dia. Toh, dia udah gede. Lagian ada Sam di sini. Jadi it's okay. Sagas ga kekanakan.

"Tuan muda, sarapan Anda sudah siap. Mari turun."

Sagas nurut aja ketika dia digiring keluar sama Sam. Wajah Sagas sama sekali tak berekspresi. Dia ingin meniru Adam. Sikap anak-anaknya biarlah hanya penghuni mansion saja yang tahu.

Meski wajah Sagas ada imut-imut nya, tapi jika pemuda itu tengah serius. Mata hitamnya akan menajam. Sagas belajar banyak dari Adam. Muka imut gpp, tapi jangan sampai hatinya kek Hello Kitty.

>>>

Sagas melihat sekolah barunya dengan pandangan berbinar. Meski tak begitu kentara karena dia benar-benar mencoba terlihat tak peduli. Sam melirik tuan mudanya sekilas. Rada ragu sebenarnya dia membiarkan anak tuannya ini sendirian. Tapi Sagas tadi bilang tak perlu ditemani. Tapi Sam mau balik takut kena gampar bapaknya karena biarin anaknya sendirian.

Hmm serba salah.

"Tuan muda, hati-hati. Semoga hari Anda menyenangkan." Sam membungkuk di depan Sagas. Sedangkan pemuda itu hanya berdeham singkat dan berjalan pergi.

Pemandangan itu tak luput dari mata para siswa. Pikiran mereka semua sama, siswa baru kali ini bukanlah orang sembarangan. Melihat dari mobil yang digunakan, barang-barang branded yang melekat pada Sagas dan aura anak itu juga sangat-sangat berbau uang.

Sagas si ga peduli. Dia cuma jalan nyari ruang kelasnya. Tadi si sudah dikasih tahu sama Sam, jadi tinggal di cari aja.

Sagas menemukan kelasnya yang lokasinya tak terlalu jauh dari kantin dan lapangan. Kelas ini berada paling ujung. Terlihat bersih dan terawat.

Sagas masuk ke dalam kelasnya dengan langkah santai. Beberapa anak yang sudah berada di sana pun menatap penasaran dirinya. Sagas duduk di bangku belakang. Tempat ini kosong, tadi dia sudah bertanya.

Sagas menelungkup kan kepalanya, mending tidur daripada liatin orang-orang yang kepo sama dia. Toh nanti juga bakal ada perkenalan kan? Pokoknya Sagas pengen jadi cowok cool kaya bapaknya!

Tapi kayaknya orang-orang ga akan yakin kalau Sagas itu anak cuek. Soalnya sejak masuk kelas tadi, beberapa anak berspekulasi kalau Sagas ini orangnya nyebelin. Wajahnya si datar, tapi aura nyebelin nya ga ilang.

Lantas tanpa di komando, anak-anak kelas itu bersamaan menoleh ke satu arah. Di mana seorang pemuda tengah tertidur pulas dengan mulut yang sedikit terbuka. Sesekali pemuda itu akan menggaruk pipinya atau rambutnya.

'Jangan sampai anak baru itu jadi circle nya si sengklek!'

Namanya Arjuna Baneswara Narayan, anak tengah Narayan, pengusaha tekstil yang terkenal.

Terkenal sengklek nya.

De Facto (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang