Adam menatap dua sejoli di depannya dengan pandangan datar. Beberapa menit lalu Stevan masuk ke dalam kamarnya tanpa permisi. Pemuda itu langsung duduk di samping Bella begitu saja membuat perempuan itu melotot garang. Dan sekarang mereka tengah beradu argumen membuat telinga Adam terasa pengang.
"Kamu ngapain ke sini sih?! Urus aja itu ulat bulu!" seru Bella menatap marah pada Stevan yang dibalas tatapan datar olehnya.
"Enggak," seru Stevan pelan namun masih mampu didengar membuat Bella menggeram marah. Perempuan itu bangkit dan pindah duduk di samping Adam yang menaikkan alisnya. Hey!
Stevan yang melihatnya ikutan bangkit, pemuda itu duduk di samping Adam yang masih kosong membuat Adam menipiskan bibirnya. Wahh dia ada di tengah-tengah orang yang tengah bertengkar. Ini buruk. Adam refleks menole ke arah Stevan, pemuda itu juga tengah menatapnya. Sedangkan Bella masih menggerutu kesal. Hm kemana sikap anggun mu Bella?
"Abang minta maaf."
"Hah?"
Bukan Adam tak mendengar, hanya saja dia tak mengira iblis satu ini bisa mengucapkan maaf, mana ke dia lagi. Kan Adam tambah kaget.
"Abang mau minta maaf." Adam menatap netra hitam kelam milik Stevan. Mata yang biasanya menatap tak suka dirinya, sekarang terlihat ramah.
Baru Adam ingin membalas tapi suara tawa dari samping nya membuat Adam bungkam. Stevan melirik Bella yang tertawa kencang sambil menatapnya dengan pandangan dingin. Stevan meneguk ludahnya, dia belum pernah melihat Bella dengan tatapan itu.
"Kau! Mudah sekali kau meminta maaf setelah apa yang kau lakukan?! Otak mu itu di mana ah?!" Bella menunjuk wajah datar Stevan dengan ekspresi marahnya.
Adam menghela napas. Matanya menatap Stevan yang menundukkan kepalanya enggan menatap Bella. Ya harus Adam akui tatapan perempuan di depannya ini seperti ingin memakan orang.
"Dasar bedebah! Heh kau! Jangan memberinya maaf, aku yakin bajingan ini hanya berpura-pura!" oke sepertinya Bella benar-benar kehilangan keanggunannya. Suara lembutnya itu terdengar mengerikan di telinga Adam.
"Kalian keluarlah."
Stevan menatap mata Adam, hanya beberapa saat sebelum Adam memutuskan kontak lebih dulu. Bella yang mengerti pun berjalan keluar, namun langkahnya kembali ke dalam karena melihat Stevan belum kunjung keluar. Pemuda itu hanya menatap Adam yang kini memunggunginya.
"Memang bedebah!"
Perempuan itu menarik kasar lengan Stevan. Butuh tenaga esktra karena tubuh Stevan itu besar, sedang dia tingginya hanya sebatas dagu Stevan. Stevan sempat menolak namun akhirnya mengikuti tarikan sang tunangan setelah ditatap dengan tatapan yang menurut Stevan itu cukup mengerikan.
Adam menatap pintu kamarnya yang tertutup rapat. Telinganya masih mendengar suara Bella yang sepertinya tengah marah-marah pada Stevan. Mengedikkan bahu acuh, Adam melangkah menuju balkon kamarnya. Dia butuh udara segar.
"Bianca, kenapa ini terjadi? Bukankah dia membenci Sagas?"
Aroma manis tiba-tiba menguar di sekitarnya tepat setelah angin lembut membelai wajahnya. Bianca, wanita itu muncul di belakangnya. Tangannya menggantung pada leher Adam yang dibiarkan oleh pemuda itu. Bianca mengelus pelan pipi Adam yang kali ini tak ditolak. Adam memejamkan matanya sejenak merasakan tangan dingin Bianca di pipi nya.
"Mau dengar cerita? Aku belum menceritakan tentang tiga bersaudara selain aku bilang mereka membenci Sagas." Suara lembut Bianca merasuk ke dalam telinganya. Pemuda itu mengangguk pelan. Bianca berpindah duduk di depannya. Wajah wanita itu terlihat serius.
"Kau ingat dengan keinginan ku?" Adam mengangguk.
"Teo, putra pertama Bramata itu jarang pulang, dia selalu menghabiskan waktunya untuk bekerja dan pulang ke apartemen nya. Kau pasti tau alasannya, dia membenci mu. Dia tak pernah sudi melihat mu, sejak dulu. Lalu, Elbarak, putra kedua Bramata itu sebenarnya hanya sebatas tak menyukai mu, baginya, kau itu pengganggu. Laki-laki cengeng yang hanya bisa merengek meminta sesuatu. Sedangkan bagi Stevan, kamu adalah perebut. Bagi Tian sendiri, Sagas tidak pernah diinginkan."
Bianca menjeda ucapannya, manik biru miliknya menatap lurus ke arah Adam. Tangan nya terangkat ke udara, menghadirkan beberapa serbuk yang terlihat berkilauan. Lantas, balkon kamar itu berubah.
Adam berdiri di sebuah ruangan yang dia yakini adalah ruang keluarga Bramata, tempat mereka biasanya menghabiskan waktu bersama. Netra hitam itu melihat semua anggota keluarga berkumpul di sana dalam suasana tegang.
Seorang wanita terlihat duduk di lantai, tepat berada di hadapan Tian. Wajah laki-laki itu dingin sekali, Adam belum pernah melihatnya. Sedangkan yang lain terlihat tidak peduli.
"Aku mengizinkan mu membawanya kemari dan aku membiarkan mu memberikan marga ku di belakang namanya. Tetapi, aku tak pernah mengizinkan mu untuk menemuinya." Ucap Tian dengan nada dinginnya.
"Salah jika aku menemui putra ku, Tian?"
Adam menutup matanya ketika Tian menendang tubuh wanita itu hingga tersungkur membentur meja di belakangnya. Laki-laki itu berdiri dari duduknya disusul yang lain dengan wajah tegang. Entah kenapa, tubuh Adam sedikit gemetar.
"Menjijikkan! Masih untung aku tidak membunuhnya! Enyah dari hadapan ku!" Amuk Tian melempar sebuah vas bunga yang berada di belakangnya ke arah wanita tadi.
Lemparan itu tepat mengenai pundak wanita itu membuatnya berdarah. Wanita itu meringis keci, mata hitamnya menatap Tian penuh kebencian.
"Iblis!"
"Aku bersumpah! Aku akan membuat mu mendekam di neraka dunia!"
Selepas mengatakannya, wanita itu berjalan pergi keluar dari sana. Tangannya menekan pundaknya untuk menghambat pendarahan yang lumayan parah. Adam mengikutinya. Hingga langkahnya terhenti karena seseorang menahan tangannya. Bianca berdiri di belakangnya sembari menggelengkan kepalanya.
Tangan wanita itu terayun seperti tadi. Ruangan kembali berubah. Kali ini, Adam berada di sebuah gudang. Matanya menelisik kesana kemari, hingga tatapannya terkunci pada seorang anak kecil yang meringkuk di pojok.
Brak
Pintu gudang dibuka dengan kasar. Tian berdiri di sana dengan wajah penuh amarah. Langkah lebarnya dia bawa ke arah bocah yang meringkuk itu. Tian menarik kasar tangan kecilnya, memaksa sang bocah untuk bangun.
"Dengar, bersihkan diri mu dan temui aku di ruangan ku."
Tian menyentak tangannya membuat tubuh bocah kecil itu limbung dan akhirnya terjatuh dengan keras ke lantai. Tian berjalan keluar begitu saja. Tak lama, seorang laki-laki yang usianya tak beda jauh dari Tian memasuki gudang. Dia Ken.
Ken melangkah ke arah bocah yang terduduk tak berdaya di lantai yang dingin. Ken tersenyum lembut melihat bocah itu yang sepertinya ketakutan.
"Tak apa, aku tidak akan melukai mu. Sekarang ikut aku ya?" Ken mengulurkan tangannya. Bocah kecil itu terlihat ragu untuk menerimanya. Namun tak lama dia menggapai tangan Ken yang menggantung di udara. Ken membawa bocah itu ke dalam gendongannya dan melangkah keluar. Adam mengikutinya.
Ken benar-benar membersihkan bocah itu dengan baik. Wajah ramahnya membuat ekspresi bocah itu sedikit lebih rileks. Dia terlihat masih was-was dengan sekitarnya, dia takut Tian kembali dan akan menyiksanya, seperti biasa.
Setelah selesai, Ken membawanya keluar. Adam ingin menyusul namun entah kenapa tubuhnya limbung dan jatuh ke lantai. Adam memegangi kepalanya yang terasa berdenyut.
"Hei Adam!" Bianca berlutut di depannya, wanita itu memegang pundaknya.
Adam tak terlalu memperhatikan, kepalanya terasa sakit sekali. Napasnya juga terasa sesak, Adam kesulitan untuk mengambil oksigen.
Tes
Tes
Darah keluar deras dari hidungnya. Adam terlihat linglung, apa yang terjadi dengannya? Darah? Dia kenapa?
"Adam! Hey! Kau dengar aku!"
"Adam!"
Adam menatap Bianca yang terlihat panik. Pandangan Adam mulai terlihat gelap. Sakit yang menghantam kepalanya semakin menjadi. Adam meremas kuat rambutnya. Demi apapun ini sangatlah menyakitkan.
"AGHHH!"
Tubuh Adam jatuh ke depan dan di tangkap oleh Bianca. Bianca terdiam,
'Tidak mungkin.'
KAMU SEDANG MEMBACA
De Facto (END)
Teen Fiction"Balas dendam terbaik adalah mengirim mu ke neraka!"