28

2.2K 188 2
                                    

Adam menatap bingung kakak tertuanya yang kini duduk di sampingnya. Mereka ada di balkon kamar Adam. Tak ada yang berbicara. Teo hanya menatap lurus ke depan dan Adam sesekali melirik pria dewasa itu dengan heran.

Adam sedikit merasa aneh, namun pemuda itu tidak memikirkannya lebih jauh. Mungkin Teo hanya ingin duduk bersamanya. Meski sebenarnya dia enggan sih. Tapi ya sudahlah! Toh tak ada salahnya.

Adam menghela napas lelah, hal itu membuat Teo meliriknya kecil.

"Kenapa?"

"Kau aneh."

Teo mengangguk dan Adam mengernyitkan keningnya. Apa terjadi sesuatu pada orang di sampingnya ini? Seingat Adam, Teo ini adalah orang yang paling tidak menyukai Sagas. Boro-boro mau duduk di sampingnya begini, ngeliat Sagas dari radius ratusan meter pun Teo udah ngamuk.

"Kalau saya meminta maaf, apa kamu mau memaafkan?"

Adam terdiam mendengar pertanyaan kakak tertuanya itu. Memaafkan? Lagipula apa hak nya? Dia bukan Sagas. Meski tubuh ini sudah menjadi miliknya, tapi masalah yang satu ini Adam rasa bukanlah hak nya. Maka pemuda itu mengalihkan wajahnya enggan menatap Teo yang tengah memandanginya.

Teo tersenyum tipis, sudah dia duga. Teo merutuki dirinya sendiri, bagaimana bisa dengan mudahnya dia bertanya begitu? Apa yang dia harapkan? Maaf dari adiknya? Yang benar saja? Setelah perlakuannya yang tidak bisa ditolerir ini dengan mudahnya dia meminta maaf? Wahh,

Tapi Teo hanya manusia biasa. Dia sangat berharap adiknya memberinya kesempatan untuk dekat dengannya. Teo ingin merasakan bagaimana menjadi seorang kakak yang sebenarnya. Karena baik Elbarak atau Stevan, mereka tidak benar-benar membutuhkan sosoknya.

"Maafkan abang," gumam Teo.

Adam masih diam, wajah anak itu tidak bisa dijelaskan. Matanya menatap satu objek yang terlihat mengangguk pelan ke arahnya.

"Aku maafkan, tapi jika kau mengulanginya lagi, aku akan membunuh mu. Benar-benar membunuh."

Teo memandang wajah serius adiknya. Pria dewasa itu tidak memberi respon apa-apa dan Adam juga tidak terlalu menganggap serius ucapannya.

Mereka menghabiskan malam di sana tanpa adanya pembicaraan lagi. Teo memandang wajah lelap Adam. Pemuda itu sudah jatuh terlelap sejak beberapa menit lalu. Teo tersenyum tipis,

"Kamu milikku, Sagas."

Pria dewasa itu mengangkat tubuh Adam dan membawanya ke dalam kamar miliknya sendiri. Teo membaringkannya perlahan, lantas dia dekap dengan erat tubuh kecil sang adik. Adam terlihat terganggu beberapa saat, namun usapan yang Teo berikan pada punggungnya membuatnya kembali terlelap. Teo mengecup singkat pipi bulat Adam.

"Hanya milikku."

"Kau sialan! Itu adikku, Van!"

"Ya, dia juga milikku."

"Jangan berani menyentuhnya atau aku__"

"Seperti ini?"

Pria dewasa itu mengecup sudut bibir Adam membuat sesuatu dalam dirinya menggeram marah.

"Jaga batasan mu, Jovan!"

Teo__ahh tidak, lebih tepatnya Jovan, sisi lain dalam diri Teo itu terkekeh kecil melihat raga yang dia kuasai terdengar marah. Jovan memandang penuh minat Adam. Dia belai wajah halus yang terlelap itu. Sangat manis. Sayang, jika anak itu bangun wajahnya menyerupai dinding. Padahal Jovan ingin sekali melihat Adam tersenyum manis.

"Biarkan aku di sini sampai masalah ini selesai, Teo. Aku akan menyelesaikannya."

Teo terdiam di sana, tapi Jovan paham jika pria itu menyetujui ucapannya. Setelahnya Jovan memilih ikut terlelap sembari mendekap erat Adam. Membawa kepala remaja itu pada dada bidangnya.

>>>

Adam mengernyit ketika merasa perutnya terasa berat. Pemuda itu membuka matanya perlahan, silau mentari langsung menghunus netranya membuat Adam kembali memejam. Ketika mata hitam itu kembali terbuka, Adam mengamati kamar yang dia tempati. Ini bukan kamarnya.

Adam menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, lantas menyingkirkan tangan yang bertengger begitu saja di perutnya. Pemuda itu berbalik dan menemui wajah tampan kakak tertuanya yang masih terlelap. Ahh pemuda itu ingat, semalam mereka sempat berbicara sebentar. Meski kakaknya itu terlihat aneh.

Adam mengamati wajah tenang Teo, pahatan sempurna yang nyaris mirip dengan ayah mereka. Adam menghela napas pelan. Pemuda itu menatap telapak tangannya. Tangan yang sangat berbeda dengan tubuhnya dulu. Ahh Adam masih belum terbiasa dengan hidup barunya. Adam merindukan kehidupannya yang dulu.

Adam tersentak ketika sebuah tangan menyentuh pipinya. Pemuda itu menoleh, mendapati Teo yang tengah menatapnya dengan pandangan yang...errr berbeda?

"Lucu sekali."

Suara serak Teo mengisi kesunyian kamar. Adam hanya menatapnya tanpa ekspresi, pemuda itu merasa aneh dengan kakak tertuanya ini.

"Kau sungguh kakakku?" Tanya Adam sembari memiringkan tubuhnya agar bisa dengan leluasa menatap sang kakak.

"Ya, mungkin." Teo masih mengelus wajah halus sang adik.

Adam menyingkirkan tangan sang kakak. Pemuda itu bangkit dan berjalan keluar dari kamar yang dia duga adalah kamar kakaknya. Adam tidak ingin bertanya kenapa dia berada di sini. Melihat sikap Teo yang aneh sejak semalam, Adam merasa dia harus menjauhinya dulu untuk beberapa waktu ke depan. Tatapan kakaknya tidak seperti biasa. Adam seolah-olah tengah berhadapan dengan orang lain.

Jovan tersenyum tipis melihat adiknya keluar. Pria dewasa itu mendesah panjang, kemudian tertawa kecil, "Sungguh menarik."

Jovan menyentuh sisi ranjang yang ditiduri Adam. Pria itu mencium bau manis yang hangat dari sana membuatnya memejam, "Benar-benar manis."

Teo di dalam sana hanya bisa menggeram tertahan. Dia tidak bisa keluar jika Jovan belum menyelesaikan keinginannya dan itu buruk! Bagaimana jika orang gila ini menguasai adiknya?! Teo saja belum memiliki kesempatan untuk mendekati adiknya!

Jovan menoleh ketika pintu kamarnya diketuk beberapa kali kemudian terbuka. Elbarak menyembulkan kepalanya dari luar. Pria itu tersenyum lebar menatap Jovan yang tengah mengernyitkan keningnya.

"Kau tau kak? Aku mendapat kecupan selamat pagi dari adikku tersayang." Elbarak menunjuk pipinya dengan raut bahagia yang sangat.

"Stevan? Sejak kapan kulkas itu bersikap manis?" Kening Jovan berkerut dalam. Seingatnya, adik Teo yang satu itu dinginnya minta ampun. Anak ketiga Bramata itu auranya melebihi kakak-kakaknya.

"Aku bilang adikku tersayang. Bukan Stevan. Lagipula dia biasanya menonjokku bukan mencium ku." Elbarak mengangkat bahunya.

Sedangkan Jovan melotot horor ke arah adik pertamanya itu. Apa tadi dia bilang?  Adik tersayang? Bukan Stevan? Maksudnya Sagas begitu?! Hey! Jovan yang semalaman mendekap erat tubuh Sagas saja tidak mendapat kecupan!! Baga__

"Aku hanya ingin pamer saja. Sudah ya, bye!"

BLAM!

Jovan melempar bantal ke arah pintu yang sudah tertutup itu dengan pandangan kesal. Pria dewasa itu mengacak rambutnya. Dia harus menagih kecupan dari adik manis nya itu nanti!

Di luar kamar Teo, Elbarak terkikik kecil. Stevan yang kebetulan lewat di sana pun dibuat merinding. Apa yang membuat pria itu cekikikan di depan kamar kakak tertuanya?!

Elbarak yang menangkap siluet Stevan pun berjalan mendekat dan merangkul bahu sang adik. Stevan mengangkat alisnya.

"Kau mau memberi ku kecupan selamat pagi?"

Bugh!

Sudah Elbarak bilang. Stevan tidak akan memberinya kecupan, dia hanya akan memberinya tonjokan. Stevan berdecak kesal melihat kakaknya yang malah tertawa itu.

Namun sedetik kemudian pemuda itu tersadar. Sejak kapan Elbarak bertingkah seperti ini? Apa pria itu terbentur sesuatu? Mata Stevan melirik pintu kamar kakak tertuanya yang tertutup rapat. Apakah Teo juga sama?

Mendadak Stevan merasa merinding. Buru-buru pemuda itu berjalan menjauh. Lebih baik dia menemui Sagas saja. Adiknya itu sangat manis!!

De Facto (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang