Sudah dua minggu berlalu sejak pengakuan yang Arhan berikan padanya, selama itu pula komunikasi yang terjadi antara keduanya seakan terputus. Yang biasanya selalu intens saling berkirim pesan, sekarang sudah tidak terjadi lagi. Dan karena itu jugalah Manda menjadi uring-uringan selama dua minggu ini, dia menjadi lebih pendiam dari biasanya. Bahkan tidak jarang Mamanya menegur saat mendapati Manda yang tiba-tiba melamun. Manda sendiri tidak menyadari bahwa akhir-akhir ini dirinya sering melamun.
Bukan hanya Mamanya saja yang menyadari hal tersebut, tapi teman-temannya juga. Seperti yang sedang Laras lakukan saat ini.
"Lo kenapa sih dari tadi kayak gak konsen gitu." Laras menepuk bahu Manda, decakan pelan keluar dari mulutnya.
Dia menatap Manda dengan tajam. Pulang dari kuliah dan langsung menuju rumah Manda untuk membahas pekerjaan, berharap dengan itu beban yang ditanggungnya hari ini dapat segera selesai dan dia bisa mengistirahatkan tubuhnya lebih cepat. Tapi apa daya, melihat Manda yang malah tidak bisa di ajak kerjasama dengan baik, tentu saja membuat Laras kesal. Dia tidak segan-segan untuk menegur Manda secara langsung.
"Manda sebenarnya Lo serius gak sih sama kerjaan ini?" Laras yang sudah jengah setelah mendapati Manda yang melamun berkali-kali dan tidak menangkap apa yang dijelaskannya pun mengangkat suara terkait hal tersebut.
Manda telonjak kaget karenanya. Lagi-lagi dia tidak sadar bahwa telah tenggelam dalam lamunannya sendiri. Manda pun mengerjap matanya beberapa kali, dan menatap penuh rasa bersalah ke arah Laras.
"Sorry. Gue lagi banyak pikiran." Terdengar dengusan dari Laras saat mendengar hal tersebut.
"Bukan Lo aja yang banyak pikiran Manda, gue juga. Gue capek habis kuliah langsung kesini buat bahas kerjaan sama Lo, tapi liat respon Lo malah kayak gini." Laras mengungkapkan kekesalannya secara terang-terangan pada Manda. Laras pun membereskan kertas-kertas yang ada di meja dan memasukkan sembarang ke dalam Tote bag. Dia pun berdiri dan berpamitan pada Manda. Sepertinya membahas pekerjaan disaat seperti ini hanya akan berkahir sia-sia saja. Manda sama sekali tidak menaruh fokus pada pekerjaan mereka, bahkan Laras yakin jika Manda tidak menangkap satupun penjelasan yang diberikan Laras tadi.
"Dari pada diskusi kita berkahir sia-sia. Lebih baik ditunda dulu, Gue pulang. Maaf gak bisa bantu anak-anak." Sedetik setelah perkataan itu berhasil meluncur, Laras langsung berjalan meninggalkan Manda yang hanya bisa tertunduk. Manda meremas rambutnya frustasi. Bingung dengan dirinya sendiri yang tiba tiba saja menjadi seperti ini.
"Gue kenapa sih?" Manda merutuki dirinya sendiri. Merasa sangat bersalah karena telah membuat Laras emosi.
Manda pun meneguk susu rasa strawberry miliknya hingga habis tidak bersisa. Dia menghela nafas sebelum bangkit menuju tempat kerjanya. Bisa dilihatnya Sinta, Wati dan juga Mama yang tengah mem-packing pesanan dari customer mereka diselingi dengan percakapan ringan yang sesekali terjadi. Manda pun mendekat ke arah mereka dan duduk di dekat Mamanya.
"Kenapa? Mama liat tadi Laras buru-buru pulangnya."
"Iya Ma, capek mungkin pulang kuliah kan tadi langsung ke sini."
"Kenapa gak suruh istirahat disini aja. Kasihan tau."
Manda diam, tidak ingin menjawab Mamanya. Dia pun mengambil beberapa baju yang siap untuk di packing.
"Mbak, bukan yang itu. Itu kan emang mau dipisah." Ucap Wati saat Manda, mengambil baju dari tumpukan yang sengaja dipisah tadi.
"Iya? Kenapa kok dipisah?" Manda mendongak menatap satu-satu dari mereka. Bukannya menjawab pertanyaan Manda barusan, mereka malah menatap Manda dengan pandangan aneh, membuat Manda mengernyit karenanya.
"Manda kamu baik-baik aja kan, nak?"
Manda malah semakin dibuat kebingungan dengan pertanyaan yang Mamanya layangkan untuknya. Manda pun mengangguk sebagai jawaban.
"Kamu kan yang tadi minta buat baju-baju yang itu dipisah." Manda terdiam beberapa detik, terlihat sedang berusaha untuk mengingat-ingat. Setelahnya dia pun ber-oh dan mengangguk pelan.
"Kamu istirahat aja sana, kayaknya kamu kecapean deh." Mama Heni mendorong bahu Manda untuk meninggalkan tempat ini.
Manda pun hanya mengangguk saja. Dia berjalan kembali masuk kedalam rumah. Sesampainya dia diruang tamu, dia mendudukkan dirinya di sofa empuk itu. Dia meletakkan tangannya untuk menutupi sebagian wajahnya. Rasanya Manda sangat lelah sekali, padahal seharian ini dia tidak melakukan aktivitas yang berat-berat.
Manda menyingkirkan tangan yang menutupi wajahnya. Dia memiringkan kepalanya, netranya menangkap sudut sofa, dari sana dia teringat tentang kejadian yang dialami dengan Arhan di sudut sofa tersebut. Manda terdiam memandanginya. Bernostalgia pada waktu tersebut.
Dia pun mengeluarkan handphonenya dari saku celana, lagi-lagi dia teringat dengan sosok Arhan. Bagaimana bisa lupa, handphone yang dipakainya saja ini merupakan pemberian dari Arhan.
Manda membuka galerinya, dan melihat-lihat foto-foto yang berada di sana. Saat tengah mengamati foto-foto tersebut, entah mengapa dia malah tertarik pada foto yang diambilnya dengan Arhan beberapa saat lalu.
Terlihat Arhan yang sedang menenteng keranjang yang telah berisi beberapa belanjaan Manda. Laki-laki itu tampak menunduk, melihat ke arah Manda.
Manda men-zoom tepat di wajah Arhan. Wajah yang entah sejak kapan mulai dirindukannya, ingin sekali rasanya Manda nelepon atau pun sekedar mengirimkan pesan pada Arhan, tapi Manda belum siap. Dan mengenai ucapan yang Arhan katakan waktu itu, Manda belum memberitahukan pada siapapun sampai saat ini.
• • •
Tidak jauh berbeda dengan yang dirasakan Manda. Arhan juga merasa perubahan yang drastis dalam hidupnya dua minggu terkahir ini. Rasa bersemangat yang selalu dia rasakan setiap bangun tidur pun kini menghilang entah kemana.
Akhir pekan, waktu yang biasa selalu dia habiskan dengan Manda kini hanya Arhan habiskan dengan cara nongkrong bersama teman-temannya. Disana pun Arhan lebih banyak diam, tidak terlalu ikut dengan topik yang dibicarakan para temannya. Hingga membuat temannya heran sendiri. Saat ditanya ada masalah apa, Arhan hanya menggeleng pelan. Tidak ingin memberitahukan apapun.
Setiap malam, Arhan tidak munafik bahwa dia sering memikirkan Manda. Foto Manda yang sering diambilnya diam-diam pun selalu Arhan pandangi sebagai penghantar tidurnya.
Rasa ingin menelepon dan mendengar suara manja perempuan itupun selalu menggebu-gebu. Tapi melihat Manda yang masih belum memberikan kabar apapun padanya, membuat Arhan jadi mengurungkan niatnya tersebut.
Hari-hari Arhan terasa kembali seperti dulu, monoton. Hanya itu-itu saja yang dia lakukan. Sebenarnya, Arhan sempat pergi ke Bogor seminggu yang lalu, karena harus menghandle pekerjaan yang Papanya pasrahkan padanya. Arhan juga sempat mampir ke rumah Manda. Tapi dia hanya berdiam diri di dalam mobil yang terparkir agak jauh dari rumah Manda.
Dia bisa melihat saat Manda melakukan pekerjannya. Tapi hal itu tidak berkahir lama, karena Arhan buru-buru harus balik ke Jakarta kembali.
Saat itu rasa rindunya pada Manda bukannya mereda, malah semakin brutal dan menggebu-gebu. Katakan Arhan pengecut, karena setelah melihat komunikasi di antara keduanya yang memburuk. Arhan menjadi pesimis dengan kelanjutan hubungan mereka.
Jika memang hal itu terjadi, yang bisa Arhan lakukan hanyalah pasrah pada keadaan. Dan ya, people come and go, itu memang nyata adanya.
To be continued
Btw guys, fyi cerita ini udah tamat di karyakarsa ya. Yang mau baca cepat tanpa nunggu lama bisa langsung disana aja. Link akun udah ada di bio.
Tapi tenang aja, cerita ini bakal tetep update di wattpad sampai end kok. Ya meskipun updatenya seminggu sekali, sabar ya yang nungguin di wattpad.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meet a Mate
RomanceMenjadi anak mandiri diusia yang bisa dibilang cukup muda, rupanya belum cukup membuat Mamanya puas. Diusianya yang masih menginjak 21 tahun ini, Mama Manda malah ngebet menyuruh anaknya untuk segera mencari calon suami dari pada menyelesaikan kulia...