"Papa jangan marahin Mas Arhan, ini salah Manda Pa. Mas Arhan gak tau apa-apa, marahin Manda aja." Ucap Manda dengan cepat, tepat setelah Arhan menyelesaikan cerita panjangnya tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Manda.
"Papa." Panggil Manda lagi setalah beberapa waktu berlalu dan papanya itu masih belum mengeluarkan suara sama sekali.
Manda mendekat, bergelayut mesra di lengan papanya. Suara helaan nafas kasar terdengar, membuat Manda jadi was-was sendiri.
"Papa gak tau lagi mau ngomong apa. Capek Papa ngadepin kamu yang bandel." Manda menunduk, jelas merasa bersalah.
"Di sayang sama orang-orang kok ya gak mau. Mau kamu itu apa sebenarnya?" Manda hanya diam mendengarkan apa yang papanya katakan. Dia tidak berani menjawab sama sekali.
Papanya ini tengah mengeluarkan unek-uneknya pada Manda. Untung saja Mamanya saat ini sedang berada di dapur membuatkan mereka minuman, hingga Manda tidak perlu repot dimarahi oleh dua orang sekaligus.
"Sekarang terserah kamu. Kamu mau apa aja terserah, Papa udah gak mau ikut-ikut lagi."
Mata Manda berkaca-kaca. Tidak, Papanya sama sekali tidak membentak saat mengatakan itu, nadanya datar seperti biasa. Tapi memang dasarnya saja Manda ini cengeng.
"Papa maafin Manda. Manda janji gak bakal bandel lagi." Manda menangkup tangan di depan dada ke arah Papa yang sama sekali tidak di menatap ke arahnya. Bahkan dengan terang-terangan membuang muka dari Manda.
Mama Heni datang dengan membawa nampan, dia menatap heran ke arah Manda yang saat ini siap menumpahkan air matanya.
"Kenapa ini kok nangis gini?" Mama Heni meletakkan nampan begitu saja di atas meja, dia pun mendekat ke arah Manda dan mengusap lengan Manda lembut.
"Manda tadi masuk rumah sakit. Perutnya melilit katanya, ternyata diam-diam dia makan pedas pedas pas tengah malam." Mama Heni melotot mendengar penjelasan yang keluar dari mulut suaminya.
Dia pun membalik tubuh Manda dan meminta kebenaran dari putrinya ini."Maafin Manda." Satu tetes air mata keluar dari pelupuk matanya. Manda pun masuk ke dalam pelukan Mama Heni dan memeluknya dengan erat. Suara isak tangis terdengar oleh ketiga orang yang saat ini tengah memandangi Manda.
Tangan Mama Heni ter-ulur mengelus belakang rambut Manda. Papa yang tadinya berwajah emosi, kini sudah mulai melunak, tidak tega sebenarnya mendengar isak tangis putri yang sangat disayanginya.
"Bawa ke kamar aja Ma, biar istirahat." Suruh Papa pelan. Inilah salah satu kelemahannya, kemarahan yang dirasakannya bisa saja menguap saat melihat Manda menangis.
Mama Heni membantu Manda berdiri, sebelum meninggal ruang tamu Manda sekali lagi menghadap Papanya.
"Papa maafin Manda kan? Jangan marah sama Manda lagi." Masih dengan isak tangis yang dikeluarkan. Mau tidak mau Papa mengangguk pelan menyetujui yang Manda katakan. Lagi pula marah-marah saat ini sudah tidak berguna lagi, semuanya sudah terjadi.
"Jangan marahin Mas Arhan ya, Pa." Ucapan terakhir Manda sebelum benar-benar meninggalkan ruangan, seperti tengah memperingati papanya agar tidak marah pada Arhan yang juga tidak tau-menahu soal ini.
Sudut bibir Arhan berkedut geli mendengar Manda memberikan peringatan itu pada Papanya.
"Mas aku masuk dulu ya. Nanti hati-hati pulangnya." Arhan mengangguk, melepaskan kepergian Manda untuk mengistirahatkan dirinya setelah insiden dadakan tersebut.
Kedua pasang mata laki-laki yang tersisa, mengikuti kemana Manda melangkah. Hingga kedua sosok perempuan itu tidak lagi terlihat.
"Manda ya kayak gitu. Dia masih kekanakan banget, kamu harus banyak-banyak sabar menghadapinya."
"Pasti, Om. Saya terima Manda apa adanya, saat saya melamar putri om saya sudah memikirkan baik-baik tentang resikonya."
Papa terkekeh pelan mendengar jawaban Arhan.
"Ya sudah, saya gak bisa lama-lama nemenin kamu. Sudah ditunggu teman, ada kerjaan." Papa melirik ke arah jam dipergelangan tangan lalu berdiri dari duduknya.
"Saya juga gak bisa lama disini Om. Mau kunjungan sebentar lalu balik ke Jakarta."
"Bagus yang semangat kerjanya, biar bisa halalin anak saya secepatnya." Suara tawa dari kedua laki-laki itu menggema diruang tamu.
"Pasti Om." Jawab Arhan dengan yakin. Arhan pun menyalami tangan Papa Manda sebelum calon mertuanya itu meninggalkannya sendiri.
Ternyata kedua laki-laki kaku ini rupanya bisa bercanda juga ya.
•
•
"Kangen." Suara manja Manda terdengar masuk ke gendang telinga Arhan. Arhan tersenyum, dia juga rindu sebenarnya meksipun hanya selisih beberapa jam saja mereka bertemu.
"Mas ada di mana? Kok berisik banget?"
"Lagi kumpul sama teman-teman."
"Gak capek emang?"
"Capek, sebentar lagi saya mau pulang kok." Manda mengangguk-angguk pelan meskipun Arhan tidak bisa melihatnya.
"Ya udah, aku matiin ya. Mas cepat pulang, istirahat."
"Iya, sayang." Pipi Manda sontak memerah mendengar itu. Senyum tidak bisa ditahannya, meksipun berat, akhirnya dia harus tetap memutus panggilan.
Arhan berjalan menghampiri teman-temannya yang sudah berkumpul di meja yang terletak dipojok. Atas ajakan Samuel, malam ini mereka diharuskan untuk berkumpul entah untuk merayakan apa itu.
Baru saja dia mendudukkan dirinya di kursi, seseorang dari belakang memeluknya, membuat Arhan kaget.
Arhan berdecak sebal saat berhasil melihat orang yang menurutnya kurang ajar ini. Dia berusaha melepaskan tangan Salsa yang melingkar di lehernya. Entah kenapa mereka bisa bertemu disini.
"Arhan, aku cinta banget sama kamu." Bisikan Salsa yang masuk tepat di telinga Arhan. Arhan berusaha lebih keras untuk menyingkirkan Salsa, tapi rupanya wanita yang seperti sedang mabuk itu, begitu kuat melingkari tangannya dileher Arhan.
"Lepas Salsa." Titah Arhan disertai dengan geraman, tapi jangan harap Salsa akan menghiraukan ucapan Arhan tersebut. Nyatanya perempuan itu tetap saja meracau tidak jelas, dengan bau alkohol yang menguar dari mulutnya.
"Aku bisa gantiin perempuan tidak tau diri itu. Aku bisa lebih dari dia Arhan. Please kamu sama aku aja." Tangan Salsa mendarat di rahang Arhan dan langsung ditepisnya.
"Aku cinta kamu Arhan ku sayang." Satu kecupan di sebelah wajahnya bisa Arhan rasakan dan hal itu sukses membuat Arhan murka.
Tidak peduli bahwa tindakannya terkesan kasar, dengan kencang Arhan mencengkram pergelangan tangan Salsa dan menghempasnya agar menjauh darinya.
"Kurang ajar." Gumam Arhan mengusap wajahnya tepat dimana Salsa menciumnya tadi, berusaha menghapus jejak Salsa yang ada disana.
Lalu tanpa mengatakan apapun lagi, Arhan melangkah panjang keluar dari tempat tersebut. Tidak mempedulikan lagi panggilan dari temannya dan juga racaun Salsa yang terus memanggil namanya.
"Sial." Arhan marah sangat amat marah pada dirinya sendiri. Kenapa dia bisa lengah hingga membuat Salsa berhasil menciumnya. Arhan berhenti sejenak saat Melina toilet, dia masuk dan mencuci wajahnya disana.
Ingatkan dia untuk mencaritahu tentang kejadian malam ini. Arhan yakin bahwa ini bukanlah sebuah kebetulan saja, pasti ada dalang dibalik semuanya.
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Meet a Mate
RomanceMenjadi anak mandiri diusia yang bisa dibilang cukup muda, rupanya belum cukup membuat Mamanya puas. Diusianya yang masih menginjak 21 tahun ini, Mama Manda malah ngebet menyuruh anaknya untuk segera mencari calon suami dari pada menyelesaikan kulia...