Siang itu, Raina tampak melaju dengan mengendarai CRV putihnya menuju daerah Setrasari. Di setiap weekend seperti saat ini - jika tidak ada jadwal pekerjaan penting - sudah menjadi rutinitas bagi Raina untuk mengunjungi ayahnya. Namun perjalanan Raina untuk menemui ayahnya kali ini tak seperti biasanya. Kini Raina disertai dengan perasaan yang gulana. Bagaimana tidak, setelah sekian lama waktu berlalu tiba-tiba saja Duta menghubunginya, tak pelak hal itu memaksanya untuk kembali membuka luka lama.
Alunan "Roman Picisan" milik Dewa 19 yang menemaninya membunuh sepi di sepanjang perjalanan seolah membuka paksa ingatan Raina pada peristiwa duapuluh tahun lalu bersama Duta. Tak dapat dipungkiri, hatinya yang telah lama mati, kini seakan hidup kembali.
......................
'Aku berdansa di ujung gelisah
Diiringi syahdu lembut lakumu
Kau sebar benih anggun jiwamu
Namun kau tiada menuai buah cintaku
Yang ada hanya sekuntum rindu
Malam-malamku bagai malam seribu bintang
Yang terbentang di angkasa bila kau di sini
Tak sekedar menemani, tuk melintasi wangi
Yang s'lalu tersaji di satu sisi hati
Cintaku tak harus miliki dirimu
Meski perih mengiris-iris segala janji ...'
****
.........................
"Kenapa noni gak boleh ini, gak boleh itu, mi? Kenapa noni gak bisa main sama si ini, sama si itu? Kenapa mi?"
Raina menatap tajam ibunya dengan mata berkaca-kaca. Suaranya parau menahan tangis. Untuk sesaat, pertanyaan Raina membuat nyonya Hasyim kehilangan jawaban. Sementara ayahnya, saat itu hanya terdiam membisu di kursinya.
"Dengar non ... Semua itu mami lakukan agar noni mendapatkan teman yang terbaik, masa depan yang juga baik. Karna mami dan papi itu sangat sayang sama noni ... Bukan kar..."
"Terbaik buat siapa mi? Buat mami? Buat papi?"
Raina tiba-tiba saja memotong ucapan ibunya dengan suara tinggi. Air mata yang sedari tadi tertahan di balik bola mata indahnya, kini berhamburan jatuh membasahi wajahnya.
"Mami belum selesai bicara! Begini akibatnya jika noni banyak bergaul dengan anak-anak perkebunan yang kampungan itu! Berani melawan orang tua!"
Bu Hasyim berteriak dari tempat duduknya dengan raut wajah penuh amarah ke arah Raina yang saat itu berada di samping pak Hasyim.
"Sudah mi, sudah ... jangan teriak-teriak begitu. Malu nanti kalau kedengeran orang ..."
Pak Hasyim mencoba menenangkan istrinya dengan suara rendah. Sedang satu lengannya terlihat merangkul bahu putri semata wayangnya itu dan membawa tubuh mungil Raina ke dalam dekapannya.
"Nah, ini ... Papi juga. Terlalu memanjakan noni. Jadinya ya begini. Membangkang!"
Bu Hasyim kini berbalik menyerang suaminya. Amarahnya tampak masih meluap-luap.
"Bukan begitu mi ... Anak kita ini perempuan, jangan terlalu keras lah."
"Justru itu pi, karna anak kita perempuan. Kalau kita lembek mendidiknya, mau jadi apa anak kita nanti? Mau makan cinta? Papi mau, kita besanan sama si mandor miskin itu? Mau?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Halimun 1992
Romance"Jika anak pak mandor Arkan masih bersikeras untuk melanjutkan hubungan dengan anak saya Raina, pilihannya hanya ada dua. Beasiswanya dihentikan atau pak mandor dipindah tugaskan dan diturunkan jabatannya!" Suara bu Hasyim menggelegar bak petir yan...