Part - 9

27 1 0
                                    

Sore itu Raina sudah bersiap menuju ke kantor perkebunan. Raut wajahnya penuh kegembiraan. Tubuh mungilnya terbalut baby doll denim selutut yang dipadukan dengan kaos putih polos lengan panjang. Sepatu kets putih dan kaos kaki berwarna biru muda kian mempermanis penampilannya. Sedang rambut kuncir ekor kudanya yang diikat pita warna senada membuat Raina tampak semakin imut.

Raina terlihat di papah Neneng memasuki mobil berwarna hijau pupus yang sudah terparkir di halaman rumah. Setelah itu dengan gesit Neneng memutar langkah memasuki kendaraan melalui pintu yang berada di belakang jok sopir kemudian duduk di samping Raina. Sementara Ujang yang sudah bersiap di belakang kemudi segera menyalakan mesin. Tak berapa lama mobil dinas pak Hasyim yang membawa Raina pun melaju perlahan menyusuri hamparan kebun teh yang berada di sepanjang kiri-kanan jalan.

Raina tampak membuang tatapannya keluar jendela. Sesekali mata indahnya beradu pandang dengan para pemetik teh yang baru saja usai menunaikan tugasnya. Mereka terlihat beriringan di sepanjang bahu jalan serupa barisan semut sedang menuju jalan pulang yang mereka sebut rumah. Semua orang yang berpapasan dengannya sontak menganggukkan kepala dengan hormat. 

Selalu ada rasa jengah yang merasuki hati Raina ketika mendapatkan perlakuan seperti itu namun tak ada yang bisa ia lakukan selain menerima penghormatan mereka. Ia tidak bisa merombak pola pikir orang-orang di sekitarnya yang sudah mendarah daging tersebut. Boleh dikatakan hal itu adalah bagian dari tradisi yang sudah dilakukan turun temurun di lingkungan perkebunan sekaligus merupakan warisan yang diturunkan oleh penguasa di jaman kolonial sebagai pembeda kasta antara dirinya dengan mereka.

"Punten non, mau ketemu juragan dulu atau langsung ke aula?" Ujang melirik Raina dari balik kaca spion yang ada di atas kepalanya.

"Ke ruangan papi aja dulu ya mang."

Pinta Raina sambil mengedarkan pandangannya ke area pabrik. Ujang pun mengarahkan laju mobil ke area perkantoran dan berhenti tepat di depan pintu utama. Seorang satpam bernama Kandi dengan sigap menghampiri kendaraan yang dikemudikan Ujang dan bersiap menyambut kedatangan Raina.

"Mangga non, silahkan." Ucapnya ramah pada Raina.

Raina hanya tersenyum tipis ke arahnya.

"Mari non, jalannya ke sini."

Satpam bernama Kandi itu lalu mengantar Raina sampai di depan ruangan pak Hasyim yang cukup besar itu. Sementara Neneng dan Ujang menunggu di luar pintu sedang Raina segera meraih gagang pintu dan membukanya perlahan.

"Paappiii...." Raina memanggil pak Hasyim dengan suara manja.

"Eee ... kesayangan papi udah dateng. Sini sayang." Pak Hasyim menoleh ke arah pintu dan melambaikan tangannya pada Raina.

Langkah Raina sempat urung memasuki ruangan ketika mendapati beberapa orang tamu yang sedang berbicara dengan ayahnya di sebuah sofa kulit warna cokelat tua berukuran besar yang berbentuk setengah lingkaran itu. Di sana sudah ada empat orang laki-laki berusia antara tigapuluhan sampai empat puluh tahunan. 

Mereka tak lain adalah kepala bagian kebun serta kepala bagian teknik dan dua orang sisanya merupakan kolega pak Hasyim yang sengaja berkunjung dari Bandung. Kehadiran Raina membuat ruangan mendadak hening. Semua mata kini tertuju pada Raina yang mematung di depan pintu masuk. Pak Hasyim pun sontak menghampiri Raina dan membawanya masuk.

"Kenalin, ini temen-temen papi. Ayo, salim dulu." Pak Hasyim meraih tangan Raina dan menuntunnya untuk bersalaman pada tamu-tamunya.

"Nah, ini Raina putri tunggal saya. Baru kelas dua SMP di Bandung tapi kalau di rumah dia dipanggil Noni." Raina merengut. "Papi ..." Tamu-tamu ayahnya spontan tersenyum.

Halimun 1992Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang