Part - 6

48 4 1
                                    

Perkenalannya dengan Raina tadi pagi membuat Duta tak dapat tidur cepat malam ini. Bayangan wajah indo Raina tiba-tiba datang mengganggunya. Padahal biasanya Duta sudah terlelap dan bermimpi di jam-jam seperti ini. 

Ia pun turun dari tempat tidur sederhananya dan menyeret kakinya ke ujung ranjang kemudian duduk di kursi yang berada di depan jendela kamarnya. Tangan Duta kemudian meraih sebuah buku bersampul batik cokelat yang biasa digunakan sebagai ruangnya untuk menuliskan bait-bait puisi.

Entah, saat itu tangannya mendadak rindu untuk menggoreskan tinta puitis. Seumpama gunung berapi hatinya seolah bergejolak dan siap meledakkan syair-syair bernada romantis. Duta lalu mengawali tulisannya dengan bibir yang menyunggingkan seulas senyuman.


"Akan tiba satu masa

Di mana semesta hanyalah ruang hampa

Tanpa gunung, laut dan angkasa

Tak ada lagi tempat yang tersisa;

Selain tentang kamu dan rindu."


Dibacanya tulisan itu berulang kali dan ia terheran-heran sendiri. Kenapa bisa begini? Raina kah kamu itu?

"Aaahh ..." Duta pun membaringkan diri dan merasakan matanya mulai terasa berat. 

Diraihnya guling dari sisi tempat tidur lalu dipeluknya dengan mata terpejam seraya membalikkan tubuhnya menghadap tembok dengan harapan ia dapat segera terlelap.

                                                       ****

Sementara di kediaman Raina .......

Neneng tampak berjalan tergopoh memasuki kamar Raina dengan membawa sebuah piring kecil berisi beras kencur yang baru saja digerusnya di dapur. Tanpa komando Neneng langsung duduk di sisi tempat tidur lalu mengolesi lutut Raina perlahan dan berhati-hati. Rasa dingin seketika menjalari lutut Raina namun tak berlangsung lama. Rasa sakit di seputar lututnya tiba-tiba kembali datang berdenyut.

"Aduuhh ... pelan-pelan Neneng, Sakit, sakit, sakiiit tau!" Seru Raina sambil menggigit ujung bantal menahan sakit.

Tapi Neneng terus saja mengolesi lutut Raina penuh kasih. Ia sudah terbiasa menghadapi kemanjaan dan kegalakan Raina yang seperti itu.

"Ini juga pelan-pelan non. Lututnya aja yang bengkak, jadinya terasa sakit..." Ujarnya penuh kelembutan berbanding terbalik dengan wajah Raina yang terlihat bertambah keruh.

"Iya, makanya pelan-pelan Neneng. Ngerti gak?" Bentak Raina ketus.

"Iyaaa, ngerti non." Jawab Neneng singkat dan tak ada bantahan lagi.

................

Mendengar kegaduhan dari kamar Raina, bu Hasyim pun muncul di depan pintu kamar dan langsung menceramahi Raina yang tengah berbaring menahan sakit. 

"Mami kan udah bilang ... jangan main jauh-jauh. Bandel sih!"

"Jauh deket sama aja mi. Kalo waktunya jatoh, ya jatoh aja." Jawab Raina berdalih.

"Hush, kamu ini kalo dibilangin!" Ujar bu Hasyim kesal.

Raina langsung terdiam dan melipat mulutnya sementara Bu Hasyim yang berdiri di depan pintu itu kini memasuki kamar Raina lalu berdiri di belakang Neneng yang masih mengelus-ngelus kaki Raina.

"Besok pagi-pagi sekali mami mau ke Bandung dulu. Ada rapat di kantor pusat. Sepertinya mami pulangnya malem. Noni di rumah aja, jangan kemana-mana ya!"

Raina melirik ibunya sekilas tanpa komentar dan bibirnya tampak masih mengatup bisu. Bu Hasyim pun beralih pada Neneng.

"Neng, besok jagain Noni. Jangan dibolehin main keluar rumah ya!"

"Baik, nya." Jawab Neneng tanpa berani mengangkat wajahnya.

Dan bu Hasyim tanpa basa-basi lagi segera meninggalkan kamar Raina. Sementara Neneng bersiap menggelar kasur lipat di samping tempat tidur Raina. Malam ini Neneng diminta untuk menemani Raina. Keadaan kaki Raina yang mulai menimbulkan rasa sakit berdenyut itu membuatnya tak dapat tidur pulas. Alhasil, Neneng pun bersiaga untuk siap dibangunkan sewaktu-waktu oleh Raina. Ia melakukannya bukan karena merasa berhutang budi pada orang tua Raina tetapi ia memang benar-benar menyayangi Raina sebagaimana adiknya sendiri.

                                                        ****

Hampir sepuluh tahun Neneng bekerja di keluarga pak Hasyim sebagai pengasuh Raina sejak ia berusia empat tahun. Saat itu dirinya masih sembilan tahun. Ayahnya meninggal dalam kecelakaan mesin di pabrik dan ibunya yang bekerja sebagai pemetik teh tak sanggup lagi membiayai Neneng dan kedua adiknya untuk bersekolah. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ibunya sudah sangat kewalahan. Tak jarang Neneng sering bolos sekolah demi ikut membantu ibunya menjadi pemetik teh agar mendapatkan upah.

Kisah keluarga Neneng akhirnya sampai juga di telinga pak Hasyim dan istrinya yang kemudian memutuskan mengajak Neneng untuk tinggal bersama mereka. Neneng disekolahkan hingga tamat SMA sambil mengasuh Raina. Neneng sudah dianggap seperti keluarga. 

Raina yang anak tunggal pun merasa tidak terlalu kesepian dengan kehadiran Neneng. Kesabaran Neneng dalam mengasuh Raina dan menghadapi sifat otoriter nyonya Hasyim merupakan kunci kelanggengannya berada di rumah keluarga pak Hasyim Indrawan hingga saat ini.

Meski nyonya Hasyim cenderung memiliki sifat yang keras tetapi jauh di lubuk hatinya menyimpan banyak kebaikan. Termasuk pada Neneng dan keluarganya. Hingga saat ini juragan Hasyim dan istrinya masih memperhatikan keadaan serta kebutuhan adik-adik Neneng juga ibunya. Namun tentu saja penyampaiannya yang tidak umum dengan kebanyakan orang itu membuat dirinya menjadi sosok yang ditakuti bahkan oleh putrinya sendiri.



                                                                       ~ oOo ~

                                                                       ~ oOo ~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.






Halimun 1992Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang