Part - 21

11 1 0
                                    

Hari demi hari hingga minggu pun berganti bulan ke tahun. Raina dan Duta tetap bertahan melewati hari penuh rindu itu dengan saling bertukar surat. Sesekali mereka bertemu diam-diam saat Raina mengunjungi perkebunan di akhir minggu dalam setiap bulan. Ikatan batin yang sudah terjalin di antara mereka seakan terlalu sulit untuk diurai lepas. Seiring waktu rasa yang tercipta semakin kuat terikat dan saling melekat.

Puluhan surat tanpa stempel pun menjadi titian rindu yang beterbangan antara Paris Van Java dan Ciwidey. Cinta sederhana di awal jumpa. Sesederhana susunan huruf-hurufnya; C-I-N-T-A namun telah mengukir kisah panjang yang menyatukan dua hati demikian eratnya. Cinta yang sederhana, disampaikan dengan cara yang sederhana dan diterima dengan cara yang sederhana. Tak ada kisah yang salah di antara mereka tetapi segala keindahan selalu memiliki titik akhir. Entah berakhir bahagia atau nestapa.

Dan cinta seringkali tak berdaya ketika di hadapkan pada dilema. Keadaan yang memaksa manusia untuk tidak memiliki pilihan yang lebih baik diantaranya. Bertahan dalam derita atau melepaskan dengan terluka. Bak buah simalakama. Pada akhirnya cinta tetap harus memilih karena cinta memang soal memilih. Harus ada yang dilepaskan, harus ada yang dikorbankan. Dalam cinta, kita tidak bisa menggenggam keduanya. Wajah cinta pun seketika menjelma serupa bilah pisau bermata dua. Antara sisinya tak lagi memberikan banyak pilihan karena ke dua sisinya memberi luka dan sayatan yang sama-sama menyakitkan.

Saat itulah cinta menjadi terlihat begitu kejam. Ia tak lagi berpihak pada jiwa-jiwa yang sekarat karenanya. Ia tak mengenal lagi kata-kata permohonan dan pengampunan. Cinta berubah menjadi momok yang mengerikan. 

Kahlil Gibran pernah berkata; "Sebagaimana cinta memahkotai engkau. Demikian pula dia kan menyalibmu."

Begitu pula dengan cinta Duta dan Raina. Mereka di hadapkan pada jurang perbedaan yang begitu dalam. Rasanya sangat mustahil untuk dapat diseberangi. Kisah-kasih yang terjalin di antara mereka selama satu tahun ini ternyata belumlah cukup kuat untuk membangun sebuah benteng yang lebih kokoh. Cinta mereka seketika menjadi rumit. Seakan-akan tidak ada lagi yang harus diperjuangkan atas nama cinta. 

Kesucian cinta Duta dan Raina telah ternodai oleh angkara murka nyonya Hasyim Indrawan, ibunda Raina. Dan tidak ada cara untuk membuat angkara redam kecuali memisahkan mereka yang saling mencinta dengan paksa. Hingga pada akhirnya bagi cinta tak lagi memiliki pilihan selain mengalah dan tunduk pada keadaan.

                                                                 ****

"Jika anak pak mandor Arkan masih bersikeras untuk melanjutkan hubungan dengan anak saya Raina, pilihannya hanya ada dua. Beasiswanya dihentikan atau pak mandor dipindah tugaskan dan diturunkan jabatannya!" 

Suara bu Hasyim menggelegar bak petir yang menyambar di panas terik membuat pak mandor Arkan dan istrinya tertunduk lemah tak berdaya di kursi ruang tamu kediaman pak Hasyim siang itu.

"Semoga pak mandor bisa mengerti. Anak-anak kita masih sangat muda. Saya harap, pak mandor juga bisa memberikan penjelasan pada Duta tentang situasi ini." 

Pak Hasyim mencoba menengahi dengan bijak.

"Insyaa Allah, juragan. Saya dan istri saya betul-betul minta maaf atas kelancangan anak kami. Saya pastikan, Duta tidak akan lagi berhubungan dengan noni Raina" 

Suara mandor Arkan terdengar bergetar sendu. Hatinya tercabik, harga dirinya tiba-tiba terusik.

"Terimakasih pak mandor atas pengertiannya dan kami pun minta maaf atas kejadian ini." Pak Hasyim tampak tersudut d iantara istrinya.

"Untuk apa kita minta maaf segala pi? Bukan salah kita, kok!" Ujar bu Hasyim ketus lantas membuang muka.

"Baiklah, kalau begitu kami permisi."

Halimun 1992Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang