Hari itu, suasana masih gelap gulita dan hanya terlihat satu-dua bintang yang tertinggal di langit Ciwidey. Suara irama jangkrik yang bersahutan di pagi buta itu terdengar serupa irama orkestra yang memecah keheningan di area perkebunan. Udara subuh yang menggigit kulit hingga ke sela pori membuat Raina kian terlelap dalam dekapan selimut tebal bermotif bunga warna-warni di atas kasurnya yang empuk.
Lampu-lampu di sekeliling rumah Raina -- yang kental dengan arsitektur peninggalan zaman Belanda itu -- pun masih terlihat terang benderang. Dinding rumahnya yang tinggi menjulang tampak dihiasi kusen-kusen jendela dan pintu-pintu berelemen kayu dengan ukuran besar. Perabotan-perabotan antik dari kayu jati yang memenuhi ruangan semakin menambah kesan etnik sekaligus membangunkan ingatan pada memori di masa lampau. Suatu perpaduan unik antara arsitektur tradisional dan kolonial.
Dari kejauhan samar terdengar suara mesin kendaraan yang mengusik kedamaian pagi. Tak berapa lama terlihat sorot lampu di antara kegelapan mendekati kediaman pak Hasyim Indrawan. Sebuah mobil Land Rover classic berwarna kehijauan terlihat muncul dari balik kabut pekat kemudian memasuki halaman rumahnya yang luas.
Kendaraan inventaris kantor perkebunan itu berhenti persis di depan teras bertiang kokoh yang dihiasi batu alam bercat hitam-putih. Tak lama, seorang laki-laki setengah baya terlihat turun dari kursi pengemudi lalu berjalan menuju ke dalam teras kemudian mengetuk pintu kayu bercat putih yang dilengkapi ornamen kaca berkotak-kotak pada bagian atasnya itu.
Tok-Tok-Tok.
"Punteeen ..." Suaranya menggema di tengah kesunyian pagi.
Hanya beberapa saat berselang, dari dalam rumah muncul seorang wanita berusia kira-kira enampuluh tahunan berjalan tergopoh lalu menyembulkan wajah tuanya dari balik pintu. Ia tampak mengenakan setelan kain dan kebaya dengan rambut beruban yang digelung seadanya.
"Eehhh ... Mang Samsul, tanginas. Sok atuh duduk dulu. Ngopi heula nya."
Bi Marni, asisten rumah tangga juragan Hasyim menyapa ramah laki-laki yang berdiri di depannya dengan logat sundanya yang medok.
"Nuhun, ceu. Mangga, boleh, boleh."
Laki-laki yang dipanggil mang Samsul itu pun langsung menempatkan diri di sebuah kursi jati berjok anyaman rotan yang berada di teras rumah.
Sementara itu pak Hasyim tampak menemani istrinya yang sedang menikmati sarapan di ruang makan ketika bi Marni menghampiri.
"Punten, nyonya. Mang Samsul sudah di depan."
"Suruh tunggu, bi." Bu Hasyim menyahut tanpa menoleh.
"Buatin kopi aja dulu, bi Mar." Pak Hasyim menimpali.
"Baik, gan. Bibi permisi dulu." Bi Marni pun berlalu menuju dapur.
"Pi, kasih tau lagi si Neneng suruh jagain Noni. Jangan di kasih pergi main keluar rumah ya, pi." Bu Hasyim melihat suaminya sekilas dan kembali beralih pada roti di tangannya.
"Iya, mami tenang aja. Papi udah suruh orang kantor panggil mantri Sidik buat ngobatin kaki Noni. Nanti pagi dia ke sini." Sahut Pak Hasim sambil menopang dagu memandangi istrinya.
Sekilas bi Marni tampak melintasi meja makan membawa nampan berisi cangkir ke arah ruang tamu dan tembus menuju teras.
"Ooo bagus lah kalau gitu. O,ya pi kayaknya mami bakalan pulang malem. Habis rapat nanti mami diajak jalan-jalan dulu sama ibu direksi." Ujar Bu Hasyim sambil meraih cangkir kopinya dan meneguknya beberapa kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halimun 1992
Romance"Jika anak pak mandor Arkan masih bersikeras untuk melanjutkan hubungan dengan anak saya Raina, pilihannya hanya ada dua. Beasiswanya dihentikan atau pak mandor dipindah tugaskan dan diturunkan jabatannya!" Suara bu Hasyim menggelegar bak petir yan...