Raina berdiri di tepi sunyi dengan secarik puisi pemberian Duta di tangannya. Di balik riuh gemuruh perasaannya, tak ada hal lain lagi yang mengusik malam panjangnya selain memikirkan pertemuannya dengan Duta tadi pagi. Tak dapat dipungkiri semua tentang Duta menyita perhatiannya belakangan ini. Wajah Duta selalu memaksa masuk ke alam pikirannya dan tak memberinya ruang lain selain memikirkannya.
Puisinya, suaranya, gerak-geriknya dan kata-katanya mulai menguasai benaknya. Kekagumannya pada Duta kini sudah beralih memujanya. Pesona Duta sudah membiusnya begitu dalam. Raina menyadari cinta bermula dari sebuah kebetulan, mengalirkan rindu di hari-hari berikutnya lalu menyiksa di hari-hari setelahnya untuk kemudian cinta menawarkan keindahan di hari yang lainnya. Dan itu benar.
Raina hanya tak mengira jika cinta bisa datang secepat ini di saat usianya masih belia. Raina pun tak pernah menyangka, jika cinta tiba-tiba mengunjunginya dengan cara yang tak terbayangkan sebelumnya. Raina menyadari ada sesuatu dalam dirinya yang tak bisa dilawan kecuali hanya patuh untuk mengikuti alur kisahnya. Saat ini, Raina seolah melihat Duta bagaikan seorang pangeran berkuda yang sedang berusaha membebaskan dirinya dari sangkar emas yang memasungnya selama ini. Bersama Duta ia dapat merasakan jiwanya begitu merdeka; Kemerdekaan jiwa yang sesungguhnya.
Duta mendekatinya dengan cara yang berbeda. Begitu romantis dan puitis. Hal yang belum pernah ia dapatkan dari laki-laki manapun sebelumnya. Pesona Duta seakan membawa daya pikat magis meski tanpa mantra atau kepulan dupa. Duta menyampaikan perasaannya dengan begitu sederhana dan apa adanya. Itulah yang membuatnya istimewa.
Duta juga tidak mengajarinya untuk mengobral cinta tapi ia mengajak dirinya untuk mengenal cinta. Bentuk lain dari cinta yang belum dikenalnya selama ini. Cinta yang membawa aroma dan nuansa baru yang berbeda yang menyentuhnya dengan mesra; Begitu anggun dan santun
****
"Neng, kamu pernah jatuh cinta?"
Pertanyaan Raina saat itu membuat Neneng tersentak dan sesaat menghentikan aksinya yang tengah memijiti kaki Raina.
"A-pa non ... jatuh cinta? Ih, sama siapa atuh non .... Neneng mah." Jawab Neneng lugu sambil mengolesi kaki Raina dengan minyak urut lalu kembali memijatnya dengan perlahan.
"Yang aku tanya, kamu pernah enggak? Bukan sama siapa pertanyaannya ... Neneng."
Raina yang tengan berbaring dengan posisi tertelungkup itu pun menoleh separuh badan pada Neneng. Sepertinya jawaban Neneng masih kurang memuaskan dan menyisakan tanda tanya.
"Hehehe ... Aduh, gimana ya jawabnya non. Neneng teh maluuuu .... ngomongnya. Emang kenapa non. Kok nanya-nanya soal jatuh cinta atuh?"
"Ya, dijawab aja dong, Neng. Aku pengen tau aja ..."
"Mmmm pernah, sekali. Waktu jaman Neneng sekolah dulu. Tapi ..."
"Tapi kenapa Neng?"
"Tapi, dianya malah jatuh cinta sama temen Neneng, non. Yah, mungkin Neneng mah apa atuh non ..."
"Terus, cowoknya tau gak kalo kamu jatuh cinta sama dia?"
"Kayaknya enggak non. Neneng juga tau diri. Makanya Neneng pendem sendiri."
"Terus, kamu patah hati?"
"Neneng gak tau ya non, apa namanya. Tapi ya itu, rasanya hati Neneng sakiiit pisan liat dia jalan sama temen Neneng."
"Iya itu .... namanya patah hati kali, Neng."
"Mungkin ya non. Mmmm emangnya Enon lagi jatuh cinta ya?" Tanya Neneng tersenyum.

KAMU SEDANG MEMBACA
Halimun 1992
Romance"Jika anak pak mandor Arkan masih bersikeras untuk melanjutkan hubungan dengan anak saya Raina, pilihannya hanya ada dua. Beasiswanya dihentikan atau pak mandor dipindah tugaskan dan diturunkan jabatannya!" Suara bu Hasyim menggelegar bak petir yan...