Part - 8

34 1 0
                                    

Pagi masih menyisakan hawa dingin dan gumpalan kabut tipis disela-sela lautan hijau pepohonan. Di antara pucuk-pucuk dedaunan yang terhampar seluas mata memandang tampak titik-titik bening embun yang masih bergelayut manja seolah enggan mengucapkan selamat tinggal.

.............

Sementara itu Raina terlihat menggeliat dari balik selimut tebal yang menina bobokannya tadi malam. Cahaya lembut sinar mentari yang menerobos masuk melalui celah tirai jendela kamarnya memaksa ia untuk segera membuka mata. 

Samar-samar Raina mendengar perbincangan ayah dan ibunya diiringi suara piring yang berdenting dari depan kamarnya. Raina pun beringsut dan perlahan turun dari tempat tidur. Lututnya sudah terasa sedikit mendingan meskipun masih menyisakan rasa sakit jika diajak berjalan.

Langkah Raina yang tertatih kini mendekati jendela. Jemari mungilnya perlahan meraih tirai yang bernuansa lilac - senada dengan bedcover - itu lalu menggesernya serempak dengan kedua tangannya. Setelah itu, ia beralih menggapai jendela dan mendorongnya perlahan. Udara sejuk pegunungan pun seketika menyerbu penciumannya dan turut serta membawa rasa damai yang segera datang memeluk hatinya dengan mesra.

                                                     ****                   

"Noniii ... Noniii sarapan dulu!"

Teriakan ibunya yang tiba-tiba seakan merebut paksa kedamaian yang baru saja dinikmatinya. Tanpa sahutan Raina segera membalikkan badan dan menyeret kakinya dengan tersendat menuju pintu. Meski dengan langkah berat akhirnya Raina berhasil mencapai meja makan.

"Gimana kakinya, non?" Pak Hasyim memandang Raina ketika putri kesayangannya itu baru saja mengambil tempat duduk di sisinya.

"Lumayan, pi... Agak enakan." Jawab Raina sambil menopang dagu di atas meja makan disusul oleh kemunculan Neneng yang membawa segelas susu.

Kemudian Neneng menurunkan sebuah mug berwarna pink dengan gambar tokoh kartun Mini Mouse dari atas nampan lalu diletakkan persis di depan Raina. Pintu kamar Raina yang terbuka mengundang Neneng datang untuk memasuki kamar Raina. Tak lama kemudian terdengar tetabuhan bunyi bantal dan kasur yang sedang digebuki sapu lidi.

"Jangan lupa non, obatnya diminum ya." Pak Hasyim menyentuh kepala Raina.

Raina mengangguk seraya menghirup susu putih hangatnya lalu mengambil satu sobekan roti bantal keju yang berada di samping gelasnya.

"O,ya pi jadi gimana acara untuk anak-anak berprestasi itu ?" Bu Hasyim melirik suaminya yang berada di seberang meja lalu menyuapkan sisa nasi goreng yang masih ada di dalam piringnya.

"Mmmm jadinya hari minggu besok mi. Papi percepat. Soalnya momennya pas dengan anak-anak yang lagi pada liburan sekolah." Jawab pak Hasyim yang juga sibuk dengan piring sarapannya; Nasi goreng bumbu kecap plus telur ceplok kesukaannya.

"Bagus itu pi, itung-itung hiburan saat mereka liburan sekolah. Ya kan pi?" Bu Hasyim menyeka bibirnya dengan tisu dan mengakhiri santap paginya.

"Nah, ya itu maksud papi, mi." Pak Hasyim tersenyum lebar.

Untuk beberapa saat Raina hanya menyimak disela sarapannya. Namun akhirnya ia pun merasa penasaran dan memutuskan untuk ikut nimbrung dalam obrolan ayah-ibunya.

"Ada acara apaan emang pi?"

Raina menyobek sedikit roti dengan tangannya lalu mendorongnya perlahan ke dalam mulut mungilnya.

"Itu loh non, ada acara penyerahan beasiswa dari kantor papi buat anak-anak yang berprestasi di sekolahnya masing-masing. Dan tahun ini khusus buat anak-anak SMP dan SMA yang tinggal di perkebunan sini."

Pak Hasyim menyilangkan sendok dan garpu di atas piringnya lalu menoleh pada Raina yang masih menikmati sarapannya.

"Wah, keren itu pi ... Ada acara hiburannya gak tuh?" Raina mulai antusias.

"Denger-denger dari orang kantor sih katanya ada. Kalau gak salah ... bakalan ada grup band anak muda sini juga yang ngisi acara." Ujar pak Hasyim sambil mengupas pisang.

"Oya? Serius pi, anak sini ada yang nge-band?" Mata Raina membulat tak percaya.

"Lha iya, papi juga baru tau kalau di kantor papi ada alat-alat band lengkap buat latihan anak-anak muda perkebunan sini." 

Sahut pak Hasyim tertawa disela suapan pisang ambon terakhirnya itu.

"Terus, Noni boleh liat mereka latihan gak pi?" Raina mulai merajuk.

"Tentu boleh dong, sayang. Entar sore mereka ada latihan katanya tuh."

Pak Hasyim menyimpan kulit pisang di piringnya yang sudah kosong.

"Beneran, pi? Makasih ya pi!" 

Raina tetiba memeluk pak Hasyim dengan senyum mengembang. Pak Hasyim pun membalas menepuk pipi Raina sambil mengulum senyum.

"Iya, nanti papi suruh si Ujang buat jemput. Sekarang papi mau ke kantor dulu ya." Pak Hasyim mengecup lembut rambut Raina.

"Mami juga mau ikut ke kantor papi, ada pertemuan sama ibu-ibu pengurus Dharma Wanita. Entar sore kalau ke kantor papi, si Neneng diajak ya. Mami pergi dulu." Bu Hasyim mencium pipi Raina sekilas.

"Iya, mi." Raina melepas kepergian orang tuanya dengan senyum yang sedikit terkembang.


                                                                           ~ oOo ~

                                                                           ~ oOo ~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Halimun 1992Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang