Raina Sayang Belahan Jiwa Akang,
Saat ini akang sedang berjuang menghadapi ujian akhir. Akang harap kamu mengerti jika akang tidak sering-sering memberimu kabar. Akang sedang berusaha untuk mengejar cita-cita akang. Doakan akang bisa masuk Perguruan Tinggi Negeri pilihan akang.
Dan akang juga berharap, kamu pun berjuang untuk menggapai mimpimu, Ray. Kamu harus berhasil dan mampu membuat bangga orang tuamu. Akang percaya kamu bisa. Akang hanya bisa mendoakan. Jaga dirimu baik-baik.
Apa pun, kita tidak boleh lemah dan menyerah pada keadaan. Sebab mimpi adalah janji-janji yang mengantri untuk ditunaikan. Meski mimpi dan dunia kita berbeda setidaknya kita memiliki rasa yang sama. Dan akang akan tetap mencintaimu serta merindukanmu Raina Utari Hasyim.
Ciwidey, 27 April 1994
AKANG
-- Duta Bagaskara --.
Itulah surat terakhir yang ia terima dari Duta dan setelah itu Raina tak pernah lagi mendapat kabar dari Duta. Suratnya pun tak lagi mendapatkan balasan. Duta menghilang begitu saja bagaikan ditelan bumi namun Raina tetap sabar menanti dengan harapan Duta akan kembali.
Tetapi hingga minggu berganti bulan Duta tak pernah menghubunginya lagi. Walau demikian Raina terus menunggunya dengan keras kepala karena ia yakin cinta akan membawa Duta kembali padanya. Hingga akhirnya Raina pun memutuskan untuk mencari keberadaan Duta. Rasa rindunya yang memuncak pada Duta mengantarkan Raina mengunjungi rumah orang tua Duta di perkebunan.
****
"Maaf, kalo saya boleh tau sebenarnya kang Duta itu ada di mana ya, bu?"
Raina memandang wajah bu Arkan yang duduk di depannya dengan tatapan penuh selidik. Ia mendatangi rumah Duta diantar oleh Ujang yang menunggunya di depan teras. Sementara bu Arkan hanya tertunduk dengan suara yang terbata menjawab pertanyaan Raina. Matanya tak berani menatap Raina.
"Eummm...Ibu juga kurang tau persis non, di mana tempat kosannya Duta."
"Atau tempat kuliahnya?" Raina mulai mencecarnya.
"Saya juga kurang begitu hapal, non." Kalimatnya terkunci, nyaris tak terdengar.
"Masa ibu gak tahu sama sekali soal kang Duta, bu?"
Raina mulai terlihat kesal dan wajahnya berubah tak ramah.
"Maafkan saya, non ..." Kalimat bu Arkan seolah menggantung di langit-langit.
"Jadi, saya harus cari kang Duta ke mana bu kalo ibunya aja gak tau apa-apa sama sekali?"
Raina meremas tisu yang sedari tadi digenggamnya. Suaranya parau menahan tangis.
"Sekali lagi maafkan saya, non. Saya teh tidak bisa bantu apa-apa."
Bu Arkan bersikukuh dengan jawabannya dan Raina mengakui kekalahannya. Ia pun pasrah dan suaranya melemah. Air matanya kini tampak mulai menggenang.
"Kalo begitu saya permisi, bu."
Raina menyeka air matanya yang berlinang di sudut matanya yang indah dan bu Arkan hanya sanggup mengangguk.
Raina lalu berpamitan dan beranjak menjauh menuju pintu keluar diiringi langkah bu Arkan di belakang punggungnya hingga ke depan teras. Melihat Raina bergegas menuju kendaraan Ujang pun dengan sigap membukakan pintunya untuk Raina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halimun 1992
Romance"Jika anak pak mandor Arkan masih bersikeras untuk melanjutkan hubungan dengan anak saya Raina, pilihannya hanya ada dua. Beasiswanya dihentikan atau pak mandor dipindah tugaskan dan diturunkan jabatannya!" Suara bu Hasyim menggelegar bak petir yan...