Perjalanan Sumedang – Jakarta yang ditempuh selama hampir kurang lebih empat jam itu dilalui Duta dan Fitri tanpa banyak percakapan. Hanya sesekali terdengar suara Fitri yang menawari Duta makanan atau minuman dan hanya dijawab seperlunya oleh Duta.
"Akang mau cemilan?" Tanya Fitri sambil memperlihatkan sebuah kotak plastik yang berisi makanan ringan ke arah Duta.
"Enggak." Balas Duta singkat dari balik kemudi dan tatapannya tetap tertuju ke depan.
"Atau mau minum ...?" Tanya Fitri lagi – setelah menyimpan kotak bertutup hijau itu di atas pangkuannya – lalu menyorongkan botol air mineral pada Duta.
"Ya, boleh. Makasih."
Duta tampak meraih botol – yang tutupnya telah terbuka – dari tangan Fitri dan meneguknya beberapa kali.
"Udah?" Lagi-lagi tanya Fitri lembut ketika melihat Duta selesai melepas dahaganya.
Duta pun hanya mengangguk. Sementara Fitri terlihat mengambil botol bening – yang isinya tinggal tiga perempat itu – dari tangan Duta kemudian dengan sabar menutupnya kembali. Hatinya mendadak tawar. Pandangannya kini terbuang keluar jendela. Alunan lagu 'Selimut Hati' milik Dewa 19 yang mengalun dari CD player yang ada di depannya membawa ingatan Fitri berkelana.
..............
Hati Fitri bukannya kebal akan perlakuan dingin Duta terhadapnya sejak di hari pertama mereka menikah namun saat ini, Fitri sedang belajar membiasakan dirinya untuk berdamai dengan keadaan. Meski terkadang, ia menangis diam-diam di tempat tersembunyi.
Ya, kamar mandi adalah tempat teraman dan ternyaman untuk menyamarkan tangisannya di antara suara air. Dulu, saat dirinya masih anak-anak, jika sedang menangis ia sengaja mengeraskan suaranya agar didengar semua orang tapi sekarang, ia sengaja mengecilkan suara tangisannya agar tidak didengar orang.
****
Hari telah beranjak gelap ketika kendaraan Avanza G-1.3 warna hitam yang dikemudikan oleh Duta itu memasuki kawasan Jakarta. Fitri tampak tertidur lelap di samping Duta. Diam-diam ada perasaan bersalah yang menghinggapi hati Duta.
................
Duta terlihat menghentikan kendaraannya tepat di depan sebuah restoran kecil dengan sebuah plank berwarna putih yang bertuliskan "Warung Makan Mpok Lely"membuat Fitri mendadak terbangun.
"Mmmm udah sampai, kang?" Tanya Fitri di antara kantuknya.
"Iya. Kita beli makan dulu ya." Jawab Duta seraya mematikan mesin.
"Boleh." Ujar Fitri sambil merapikan diri sesaat kemudian turun mengikuti Duta.
Restoran ini terletak tak jauh dari tempat tinggal Duta. Meski terbilang sederhana namun restoran ini selalu ramai dikunjungi pembeli. Termasuk Duta yang sudah menjadi pelanggan tetap sejak berada di Jakarta ini. Bukan hanya terkenal karena aneka hidangannya yang pas di lidah namun juga karena pelayanan dan kebersihannya yang senantiasa terjaga.
"Eeee pak Duta. Baru datang ya? Lama gak keliatan."
Tiba-tiba seorang ibu paruh baya menyapa Duta dari balik etalase.
"Heee iya bu. Baru datang." Balas Duta ramah.
"Loh, ini siapa pak, istrinya ya?" Tanya si ibu membulatkan matanya.
Sesaat ia menatap Fitri yang berdiri di samping Duta. Fitri pun tersenyum seraya mengangguk ke arahnya.
"I-iya bu ..." Jawab Duta terbata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halimun 1992
Lãng mạn"Jika anak pak mandor Arkan masih bersikeras untuk melanjutkan hubungan dengan anak saya Raina, pilihannya hanya ada dua. Beasiswanya dihentikan atau pak mandor dipindah tugaskan dan diturunkan jabatannya!" Suara bu Hasyim menggelegar bak petir yan...