Part - 33

12 2 0
                                    

Sumedang, 3 Juni 2003.

Hari itu, di depan sebuah rumah sederhana terlihat berdiri tenda berwarna putih serta terdengar lagu-lagu ceria berbahasa Sunda yang menandakan adanya satu acara penting yang sedang berlangsung. Sepertinya ada acara pernikahan.

Dari kejauhan tampak sepasang pengantin tengah sibuk menerima ucapan selamat dari para tamu undangan yang mengantri di depan panggung pelaminan. Mempelai wanita dengan busana adat Sunda berwarna gold itu menyiratkan kebahagiaan yang terlukis dibalik wajahnya. Hampir di sepanjang acara, bibirnya tak lepas dari senyuman manis.

Sangat bertolak belakang dengan mempelai pria yang berdiri di sebelahnya. Tak terlihat sedikitpun mimik kebahagiaan yang menyertainya. Bibirnya lebih banyak mengatup. Andaipun tersenyum, barangkali ia butuh perjuangan untuk melakukannya. Ya, pada hari itu Duta sedang melangsungkan acara resepsi pernikahannya dengan Fitri, wanita yang dijodohkan oleh orangtuanya. Sementara prosesi akad nikahnya telah berlangsung tadi pagi di tempat yang sama.

                                                                     ****

"Saya terima nikah dan kawinnya, Fitri Ambarwati binti Darso Gunawan dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan emas sepuluh gram dibayar tunai!"

Dalam balutan beskap berwarna putih serta bendo dan kain dengan motif Sidomukti, Duta mengucapkan ijab qobul dengan suara lantang. Penampilannya pagi itu begitu menawan. Ucapan Syukur dan suasana haru terasa melekat sesaat setelah Duta berikrar di depan penghulu dan pak Darso, ayah Fitri. Kini, Duta telah sah menjadi suami Fitri.

"Bapak titip Fitri ya. Jangan disia-siakan. Sekarang bapak serahkan tanggung jawab dunia dan akhiratnya di pundak kamu,"

Suara pak Darso terdengar lirih saat memeluk Duta pada acara sungkeman.

"Insya Allah, pak." Jawab Duta singkat dan datar.

Duta pun beralih pada ibunya Fiti. Wanita yang sekarang sudah menjadi ibu mertuanya itu hanya mampu menahan tangis haru tanpa kata-kata ketika memeluk Duta.

Begitu pula dengan bu Arkan tak jauh berbeda namun ia terdengar menitipkan sedikit pesan untuk putra kebanggannya itu.

"Jangan kecewakan Fitri, ya kasep. Ibu doakan rumahtanggamu sama Fitri bahagia dan menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah."

Duta terdiam kaku dalam pelukan ibunya. Tak terucap sepatah katapun dari bibirnya. Hanya sepasang matanya yang terlihat berkaca-kaca. Hatinya bergejolak. Segala rasa berbaur menyatu, kecuali rasa bahagia.

Akhirnya, tiba jua Duta berada di depan ayahnya untuk menerima pelukan paling akhir.

"Bapak harap, kamu bisa ikhlas menerima Fitri ya. Jangan kecewakan dia. Bagaimanapun sekarang Fitri sudah jadi istrimu. Jaga baik-baik."

Pak Arkan menepuk-nepuk punggung Duta dalam dekapannya. Lagi-lagi Duta tak bersuara. Mulutnya seolah terkunci.

Rasanya Duta masih tak percaya jika saat ini dirinya telah menikahi Fitri. Wanita yang sama sekali tak dicintainya. Sosok wanita yang jauh dari bayangannya. Seorang wanita asing yang dipaksa masuk ke dalam kehidupannya. Apakah ia sanggup menjalani rumah tangga tanpa rasa cinta?

                                                            ****

"Kumaha, kasep ... undangannya bagus kan?"

Tanya bu Arkan pada Duta yang duduk di sampingnya sambil memperlihatkan sebuah kartu undangan pernikahan antara dirinya dan Fitri.

"Jangan tanya bagus enggaknya sama Duta lah, bu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jangan tanya bagus enggaknya sama Duta lah, bu. Kan yang mau pesta juga bapak sama ibu." Ujar Duta tanpa melihat sama sekali kertas undangan yang tergeletak di atas meja itu.

"Eeeeh jangan marah wae atuh, kasep. Ibu sama bapak cuma ingin yang terbaik buat masa depan kamu."

"Terbaik? Terbaik buat siapa bu? Buat ibu sama bapak?" Suara Duta meninggi.

"Dua minggu lagi kamu sama Fitri akan menikah. Ibu harap, kamu sudah bisa menerima kehadiran Fitri dari sekarang. Ibu yakin, lama-lama juga, kamu bakalan bisa mencintainya."

Bu Arkan mencoba berdalih dengan harapan Duta dapat mengerti dan menurunkan amarahnya namun yang terjadi sebaliknya. Duta menoleh pada bu Arkan dan memandang dari ujung bahunya sambil tertawa sinis.

"Heee ... Ibu pikir, cinta itu bisa dipaksakan seperti perjodohan Duta sama Fitri, kitu? Sampai kapanpun Duta gak akan pernah bisa mencintai wanita lain, tidak juga Fitri!"

Duta beranjak lalu meninggalkan ibunya begitu saja dan bergegas keluar rumah tanpa memperdulikan bu Arkan yang masih ternganga tak percaya dengan jawaban Duta.

Siang itu, Duta melarikan motornya dengan gusar menuju jalan besar. Tujuan satu-satunya saat itu adalah ke tempat Tatang, sahabatnya.

                                                              ****

"Assalamuallaikum ...!"

Suara Duta sontak saja membuat Tatang yang sedang asik di depan komputer itu pun mengalihkan pandangannya ke arah pintu.

"Wa'alaikumussallam ... wey, iraha ti Jakarta euy?"

Sambut Tatang ceria dan segera menghampiri Duta yang berdiri di depan pintu.

"Tadi malem ... Sore ge rek pulang deui."

Balas Duta kemudian melangkah ke dalam ruangan dan memilih duduk di sebuah kursi lipat yang bersebelahan dengan tempat duduk Tatang.

Ruangan 4x4 meter tersebut digunakan oleh Tatang sebagai usaha warnetnya yang ia rintis sejak selesai kursus komputer dulu. Letaknya berdampingan dengan rumah Tatang yang diisi bersama istri dan anaknya yang baru berusia enam bulan.

"Oooh kitu. Naha buru-buru Dut?"

Tanya Tatang lagi lalu duduk di tempatnya semula setelah mengambil satu buah gelas air mineral dan menyimpannya di depan Duta.

"Kan besok gawe. Keur sibuk teu?"

Tanya Duta yang kini tampak merapatkan punggungnya pada sandaran kursi. Gurat kelelahan tergambar di wajahnya.

"Ah, urang mah gawena santai, Dut. Kumaha kabar ayeuna, apakah semuanya baik-baik saja?"

Tatang mencoba berkelakar dengan senyum tersungging di bibirnya. Meskipun ia tahu persis dengan keadaan sahabatnya itu.

"Justru itu Tang ... rasanya saya baru bangun dari mimpi buruk. Undangan pernikahan saya dan Fitri udah dicetak sama ibu. Dua minggu lagi saya sama Fitri bakal menikah. Saya gak tau ... sanggup apa moal kawin tanpa cinta!"

Duta tampak meraih air mineral dari atas meja lalu menghabiskannya tanpa sisa.

Itulah perbincangan terakhir Duta dan Tatang dua minggu lalu. Perbincangan serupa dengan kejadian duapuluh tahun lalu saat dirinya dipaksa keadaan untuk menjauh dari kehidupan Raina. Kehidupan yang tidak memberikannya pilihan yang lebih baik. Sama dengan situasi yang dihadapinya sekarang ini.


                                                                ~ oOo ~. 

 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Halimun 1992Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang