Kabut tebal masih mengepung langit Bandung di Sabtu pagi itu. Hawa dingin yang menusuk kulit pun diam-diam menyelinap memasuki kamar Raina yang masih betah melingkar di bawah selimut berbahan king coil warna cokelat muda. Sedang kedua mata indahnya tampak berat untuk terbuka. Gumpalan serupa asap putih yang menghalangi pandangan matanya membuat Raina enggan membuka jendela kamarnya.
Udara yang kejam dari semalam mengajaknya untuk tetap berlindung di atas pembaringan. Ia lebih menyukai melawan hawa dingin yang menyergapnya di balik selimut tebal yang menutupi seluruh tubuhnya. Sejak subuh tadi sebenarnya Raina sudah terbangun tapi sengaja ia bermalas-malasan sambil memainkan ponselnya sehubungan tidak ada jadwal penting yang harus ia lakukan di hari libur seperti ini.
Jam digital yang tertera di layar ponsel Raina masih menunjukkan pukul 06:05 ketika terdengar bunyi berdenting dari samping bantal yang sedang ditidurinya. Sepertinya ada pesan masuk di ponselnya. Saat itu dirinya hampir saja terlelap namun tak urung ia pun meraih ponselnya dengan mata setengah terpejam. Bulu mata Raina yang lentik tampak mengerjap-ngerjap membaca notifikasi pesan yang muncul di atas layar ponsel dari nomor yang tidak dikenal lagi.
["Ya Tuhan! Sepagi ini udah iseng aja! Gak punya kerjaan lain apa ini orang?"]
Raina bersungut dalam hati seraya menyimpan ponsel di bawah bantal yang ada di sampingnya dan matanya kembali terpejam tapi tak berapa lama ponselnya lagi-lagi berbunyi mengusik keheningan pagi itu.
Tring. Tring!
["Apa sih maunya?"]
Raina sontak membuka mata dan meraih ponselnya kembali.
Dengan sedikit gusar, Raina menarik bantal di sampingnya lalu meletakkannya di sandaran tempat tidur sebagai penyangga untuk menahan punggungnya. Sementara jari-jari Raina yang lentik tampak sangat gemas saat menekan kotak pesan pada layar ponselnya. Kini smartphone yang berbasis internet itu dalam sekejap telah berpindah tampilan ke jendela chatting.
[ Selamat pagi ... Noni. Sudah bangun?]
[Lagi ngapain?]
[Hari ini gak kemana-mana?]
Sontak saja, kekesalan Raina yang tertahan sejak semalam kian tersulut membaca pesan-pesan yang baru saja diterimanya. Ia pun dengan cepat mengetik pesan balasan dan langsung saja menekan tombol sending.
[ Maaf ya, ini siapa sih?]
Dengan rasa kesal yang kian memuncak Raina meninggalkan ruang chatting begitu saja dan beranjak dari tempat tidurnya. Langkahnya tampak bergegas menuju ruang makan lalu mengambil sebuah mug kecil dari rak berwarna putih yang berada di atas kepalanya.
Sesaat kemudian ia terlihat merobek satu sachet kopi instan dan menyeduhnya dengan air panas dari dispenser. Seketika tercium aroma harum coffee latte yang langsung menyeruak memenuhi ruangan. Kepulan uap putih yang menghambur ke udara dari dalam mug berwarna pink baby itu seolah membawa serta kekesalan Raina yang kian menggelora.
Tring! Samar-samar terdengar lagi ponselnya berdenting membuat Raina urung untuk menggapai kursi.
"Iiihh ....!" Seru Raina seraya mengayunkan langkah untuk kembali memasuki kamarnya yang berkonsep minimalis dan cukup luas itu. Kali ini rasa penasaran dalam benaknya telah mengalahkan rasa kesalnya.
Setengah terpaksa Raina meraih ponsel yang tergeletak di atas tempat tidur itu kemudian memutar langkah menuju sofa - berwarna coral - kesayangannya di ruang keluarga yang terletak tepat di depan kamarnya. Setelah mengatur posisi duduknya, Raina beralih pada kopi di atas meja yang baru saja diseduhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halimun 1992
Romance"Jika anak pak mandor Arkan masih bersikeras untuk melanjutkan hubungan dengan anak saya Raina, pilihannya hanya ada dua. Beasiswanya dihentikan atau pak mandor dipindah tugaskan dan diturunkan jabatannya!" Suara bu Hasyim menggelegar bak petir yan...