Part - 20

27 1 0
                                    

Satu minggu sepeninggal Raina adalah siksaan awal bagi Duta kala melewati hari-harinya. Bibirnya lebih banyak membisu namun malam-malamnya banyak bergerak mengupas jarak. Jari jemarinya lebih sering melahirkan bait-bait puisi bernada rindu. Rindu untuk Raina.

Tak ada yang lebih indah bagi Duta selain menunggu malam tiba. Karenanya ia bisa menciptakan nada-nada cinta dengan merdeka. Rahasia terdalam yang hanya menjadi ranah miliknya. Mencintai dalam hening namun riuh dalam doa. Hatinya berdzikir takjim menyuarakan rindu diam-diam bagai tarian hujan yang gemulai turun ke bumi tanpa suara. Begitu indah, begitu syahdu.

.................

Sampai jua waktunya Raina menepati janjinya pada Duta untuk mengirimkan surat balasan yang dititipkan secara sembunyi-sembunyi pada sopir ayahnya, Ujang. Duta begitu suka cita menerimanya. Hatinya bersorak girang seperti pemenang hadiah undian.

Akang Pencuri Rinduku

Suratnya sudah aku baca di malam pertama aku sampai di Bandung. Aku gak tau apakah semua ini adalah cinta? Yang aku tau, semua hal tentangmu telah berhasil membuatku berpaling. Kehadiranmu mengalihkan sepi menjadi rindu dan aku tak dapat menolak pesona kebaikan yang akang bawa.

Saat ini, aku hanya sedang merayu waktu untuk turut menghitung satu persatu debaran hati kita yang melafalkan rindu. Percayalah, tidak ada yang sia-sia. Waktu akan bertanggung jawab untuk mengabulkan penawarnya menjadi temu. Bersabarlah, tunggu aku di situ sebab Tuhan menciptakan jarak untuk kita agar kita dapat memaknai bahwa tiada yang lebih indah dari menanggung rindu.

Bandung, 27 Juli 1992

             Noni

~ Raina Utari Hasyim ~


Bibir Duta mengurai senyum. Sedang bola matanya berpendar-pendar laksana bola api yang meledak di udara. Hatinya kini tak lagi digigit sembilu sebab bahunya kini telah bersiap menjadi sandaran rindu. Tak ada yang lebih indah baginya saat ini selain ujung penantiannya menemukan tempat berlabuh.

                                                ****

Langkah bu mandor Arkan mendadak tersendat di depan kamar Duta yang setengah terbuka. Selepas subuh tadi ia tak melihat lagi Duta keluar dari kamarnya. Diintipnya anak semata wayangnya itu pelan-pelan dari balik pintu. Duta terlihat sedang berbaring sambil memeluk guling dan menghadap tembok. Ia pun melangkah pelan-pelan memasuki kamar Duta. Ada segudang rasa khawatir yang menyertai langkahnya.

"Duta ... kasep. Ari kamu teh kunaon di kamar wae, sakit?"

"Eh, ibu ... Ah, teu nanaon. Lagi pengen santai aja we sebentar." 

Duta tampak terperanjat dengan kehadiran ibunya yang tiba-tiba. Dengan cepat tangannya pun segera menyembunyikan surat dari Raina di bawah bantal lalu segera bangkit dan duduk menghadap ibunya yang berada di sisi tempat tidur.

"Ulah sok bohong sama ibu mah atuh kasep. Kamu teh tara biasanya begini ..." 

Ibunya menatap Duta tak percaya.

"Iya,bu ...Duta gak kenapa-kenapa." Duta membuang pandangannya keluar jendela.

"Cik kasih tau sama ibu. Aya naon si Ujang teh atuh kamari nyariin kamu?" 

Bu Arkan menyelidik untuk mencari jawaban.

"Ooo itu ... Gak ada apa-apa juga bu. Cuma nanya kabar aja." Jawab Duta tak berani menatap wajah ibunya.

"Ih, kamu nya. Di perkebunan teh udah rameeee ... Kamu itu cenah jalan-jalan sama anaknya juragan Hasyim waktu dia ada di sini kemarin. Enya pan?" 

Duta nampak terdesak tak berkutik dengan tembakkan kata-kata ibunya.

"Emm iya memang, bu. Tapi kita cuma berteman ..." Lagi-lagi Duta berusaha menangkis serangan ibunya.

"Duuuh, kamu teh kudu ati-ati atuh. Ibu mah palaur, takut. Bukannya apa-apa, kasep tapi ... Kita kudu tau diri. Kita siapa, dia siapa." Raut wajah ibunya kini diselimuti mendung.

"Jangan berpikiran terlalu jauh atuh bu. Udah, ah ... Duta mandi dulu." 

Duta bangkit dari tempat tidur dan meraih handuk di sandaran kursi belajarnya kemudian menghilang di balik pintu meninggalkan ibunya yang masih terduduk dengan wajah penuh teka-teki. Ingatannya pun melayang pada kejadian kemarin siang saat ia berpapasan dengan tetangganya yang biasa ia panggil ceu Esih.

                                                           ****

"Eh, ceu Esih mulih ti mana?" 

Bu Arkan yang baru saja selesai mengangkat jemuran menyapa tetangganya itu dengan ramah.

Wanita setengah baya yang melintas di depan rumahnya pun kontan menghentikan langkahnya tepat di depan teras rumah bu Arkan. Rumah mereka hanya terpisah oleh kebun yang ditanami sayur-sayuran serta pohon pisang dan singkong. 

Ceu Esih tidak segera menjawab teguran bu Arkan akan tetapi ia terlihat sengaja menghampirinya dengan belanjaan di tangannya. Sementara raut wajahnya terlihat serius.

"Ieu tos ti koprasi biasa balanja keur di dapur. Win, hampura nya euceu rek naros. Ari Wiwin geus apal can masalah si Duta jeung si noni-noni kitu tah ngarana teh. Eta anakna juragan Hasyim nu karak pindah kadieu."

"Duta ceu? Masalah naon kitu? Abdi mah asa rareuwas kieu."

"Ih, Wiwin mah. Di perkebunan mah sudah rame Win. Si Duta teh cenah momotoran ngabonceng si noni eta ka air terjun talaga warna. Lain euceu rek ikut campur nya tapi urang pan kudu ati-ati bisi kuma onam lah. Karunya anak urang bisi jadi korban."

.................

Perbincangan dengan tetangganya itulah yang membuat bu Arkan merasa khawatir terhadap Duta. Ia tak bisa mengabaikan begitu saja ucapan ceu Esih tempo hari. Meski selama ini ceu Esih itu terkenal nyinyir tapi kali ini ada benarnya. Bu Arkan hanya berharap semoga apa yang ia khawatirkan tidak terjadi pada Duta, anak kebanggaannya.



                                                                      ~oOo~

                                                                      ~oOo~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





Halimun 1992Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang