Part - 11

27 1 0
                                    

Duta membawa motornya melewati cabang jalan yang ditumbuhi rumput halus lalu berhenti di pinggiran sebuah sungai jernih beraliran tenang yang tak jauh dari jalan utama.

Pepohonan bambu dan ilalang yang tumbuh liar di sekelilingnya serta bebatuan di sepanjang hilir sungai seakan melambaikan tangan pada Raina untuk segera mendekat. Duta menoleh sekilas pada Raina dan menghentikan motornya

"Kita udah sampe, Ray."

Raina pun turun mengikuti langkah Duta yang telah berjalan mendahuluinya. Mereka lalu berjalan melintasi aliran air yang tidak terlalu tinggi melalui bebatuan di sekitar sungai sebagai pijakannya.

"Ayo ..." Duta membalikkan separuh badannya dan mengulurkan tangannya pada Raina yang masih berada di belakangnya.

"Aaa ... Aku takut kepeleset." 

Langkah Raina meragu di pertengahan ketika menemukan beberapa batu besar berlumut yang membelah anak sungai di depannya.

"Enggak, makanya pegangan sama aku." Ujar Duta memberi kekuatan.

Raina pun beralih menatap Duta sejenak dan dibalas oleh Duta dengan melemparkan senyuman sambil menganggukkan kepalanya seolah memberi kekuatan pada Raina untuk melangkahkan kakinya.

Perlahan Raina tampak meraih tangan Duta yang menuntunnya hingga mencapai sebongkah batu yang cukup besar. Dari sana Raina dapat melihat lebih dekat aliran air terjun yang mengalir di atasnya. Sebuah pemandangan indah yang belum pernah ia lihat selama berada di perkebunan ini.

"Kamu sering ke sini?" Tanya Raina pada Duta yang ada di sampingnya.

"Yaaa ... lumayan sering lah. Kalau aku lagi pingin sendiri, ya aku ke sini." 

Duta meraih gitar kesayangannya lalu ia letakkan di atas pangkuannya.

"Sendiri? Ngapain? Gak takut?" 

Raina memborong pertanyaan untuk Duta sambil menurunkan ransel dari gendongannya dan mengeluarkan isinya.

"Enggak lah. Ya kadang aku butuh tempat sunyi untuk melahirkan puisi atau sekedar melepaskan beban di hati. Mencari pencerahan di tempat sepi seperti ini memberikan keasikan tersendiri, Ray." Ujar Duta seraya memainkan jari-jarinya di deretan senar gitar.

Tiba-tiba Raina menyorongkan kemasan plastik berisi roti bantal keju ke hadapan Duta yang membuatnya berhenti memainkan petikan gitarnya.

"Ini roti kesukaan aku dari kecil. Hampir tiap pagi, aku sarapan sama roti ini. Enak banget loh."

Raina lalu mengambil selembar tisu dari dalam ransel dan memberikannya pada Duta sebagai alas roti yang baru saja disobek oleh Duta pada bagian atasnya.

"Oya? Pantesan aja kamu dipanggil Noni. Bukan cuma wajahmu yang kayak indo, ternyata sarapanmu juga persis wong londo!" Duta tersenyum lebar sambil menyuapkan rotinya.

"Iiihhh ... Aku gak suka dipanggil Noni!" Raina merengut.

"Loh kenapa? Kamu ini lucu, Ray. Bukannya orang-orang rumahmu juga panggil kamu Noni kan?" Duta tergelak memandang Raina dari ujung bahunya.

"Tapi aku gak suka kalo kamu yang manggil." Ujar Raina sambil meraih botol air mineral dari pinggiran ransel kemudian meneguknya sedikit.

"Ooohh Maaf, maaf deh kalau gitu. Jadi .... maunya kamu dipanggil apa sama aku dong? Sayang?" Tanya Duta mulai berani menggoda.

"Idiihh ...Kamu!" Raina melempar Duta dengan gulungan tisu dari tangannya. Pipi putihnya pun merona merah jambu.

"Aww ... Kamu galak ya!" Sambut Duta masih dengan sisa tawanya.

Halimun 1992Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang