Part - 5

47 4 0
                                    

.....................

Pagi itu, Raina terlihat tengah berdiri di atas sebuah bukit dengan hamparan pohon-pohon teh yang menghijau. Sementara pandangannya terjatuh pada lembah yang berada di bawahnya. Keindahan alam yang ia nikmati saat ini sungguh membuatnya takjub. Sejauh kedipan ujung mata indahnya hanya terlihat lautan hijau pepohonan yang berjejer rapi. Dan udara sejuk yang dihirupnya saat itu telah menciptakan kedamaian dalam hatinya yang segera menyebar hingga ke seluruh aliran pembuluh darahnya.

Liburan sekolah baru saja tiba bertepatan dengan kepindahan tugas ayahnya ke daerah perkebunan teh ini. Dua hari di dalam rumah yang baru di tempatinya membuat Raina dihinggapi rasa bosan. Ia pun lalu berkeliling dengan sepedanya mengitari perkebunan teh dan berhenti sejenak untuk beristirahat di atas bukit itu. Pepohonan hijau tua dengan pucuk-pucuk berwarna lebih muda yang mengepungnya saat ini bukanlah sebuah pemandangan yang asing bagi Raina.

Kehidupan masa kecilnya boleh dikatakan sudah sangat akrab dengan suasana perkebunan karena ayah Raina adalah seorang kepala administratur. Orang nomor satu yang memegang kekuasaan di suatu wilayah perkebunan. Tugasnya berpindah-pindah dari satu perkebunan ke perkebunan lainnya. Selama ini ayahnya mengemban amanah untuk memimpin perkebunan di daerah Jawa Barat dan kali ini ayah Raina dipindah tugaskan ke wilayah Bandung Selatan. Tepatnya di daerah Ciwidey.

Masa kecil Raina sangat berbeda dengan anak-anak lain pada umumnya. Ia tidak bisa bebas menikmati masa kanak-kanaknya bersama sembarang orang. Ia dibatasi oleh protokoler kolonial yang masih melekat pada sosok ibunya. Ibunya lah yang menentukan Raina boleh bermain dan berteman dengan siapa. 

Peraturan tidak tertulis dalam keluarganya itulah yang menjadikan Raina tumbuh sebagai gadis kecil yang introvert. Ia lebih sering menikmati waktu bermainnya sendirian di dalam kamarnya yang luas dan nyaman. Sesekali ia bersosialiasi secara terbatas hanya dengan beberapa orang teman pilihan ibunya dan hanya diperbolehkan bermain di dalam rumah yang sudah tersedia bermacam-macam mainan.

Masa kecil Raina lebih banyak ditemani oleh pengasuh pribadinya yang bernama Neneng. Sejak ia masih balita, Neneng sudah akrab dengan kesehariannya. Dari mulai Raina bangun tidur sampai tidur kembali semua kebutuhannya sudah dipersiapkan oleh Neneng. Hal itu membuat Raina berkembang menjadi gadis remaja yang manja, egois, cengeng dan tidak mandiri.

                                                                                ****

Sinar mentari di langit Ciwidey terlihat mulai turun menyinggahi dataran hijau yang berada di depan Raina. Cahaya lembutnya yang menyusuri barisan pepohonan itu, kini telah bergerak naik hingga mencapai bukit lalu luruh dan terjatuh di ujung rambut Raina yang kemerahan. Raina pun segera meraih sepedanya yang disandarkan di bawah sebuah pohon besar yang menaunginya. Raina tampak sudah bersiap menuju jalan pulang. 

Dikayuhnya pedal sepeda gunung berwarna merah itu perlahan menuruni perbukitan teh yang terbelah oleh jalan bebatuan. Mata Raina terlihat fokus tertuju ke depan. Batu-batu koral yang ia lewati sepanjang jalan membuatnya harus berkonsentrasi penuh untuk mengatur keseimbangan. Badannya terlihat bergerak ke kanan dan ke kiri lalu sesekali terpantul ke atas karena goncangan dari ban sepeda yang menghindari lubang jalan atau batu-batu besar.

Hati Raina sedikit lega ketika melihat jalan aspal di ujung belokan yang akan membawanya mengakhiri perjalanan di atas bebatuan namun betapa terkejut dirinya ketika tiba-tiba saja di depannya melintas seorang laki-laki remaja yang membawa keranjang bambu di punggungnya. Sontak saja Raina menginjak rem sepedanya secara mendadak namun malang, posisi jalanan yang menurun tak mampu menahan laju sepedanya. Keseimbangan Raina pun seketika hilang. Wuuush! Spontan, Raina menjerit histeris.

Halimun 1992Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang