Part - 10

31 1 0
                                    

Malam telah pergi dan kini mentari bersinar lagi. Cahayanya yang lembut seolah mengajak langkah Raina pagi ini untuk menapaki benih-benih harapan baru yang mulai bersemi. Ada banyak hal yang tidak bisa ia jelaskan melalui untaian kata-kata untuk mewakili perasaan yang mengusiknya sejak semalam. Sebuah getaran yang mampu menarik perasaannya untuk memasuki pusaran dimensi lain yang tak pernah ia jumpai sebelumnya.

................

Raina mempercepat laju kakinya melewati rerimbunan daun-daun teh di samping kiri dan kanannya dengan penuh suka cita. Rasa sakit di seputar lututnya kini perlahan memudar. Langkahnya pun seakan terasa lebih ringan. Dari kejauhan ia menangkap sosok Duta yang sudah menunggunya di ujung jalan.

Duta terlihat duduk melipat sebelah kaki di atas jok motor CB Classic-nya dengan sebuah gitar di punggungnya. Lengkung kecil di sudut bibirnya seketika terangkat naik ketika melihat kedatangan Raina.

"Udah nunggu lama ya?" Sapa Raina sesaat setelah berada di hadapannya.

Pesona kecantikan Raina membuat bola mata Duta tak berkedip. Kehadiran Raina di pagi hari yang cerah itu serupa mata air yang baru saja ia temukan di padang tandus. Dahaganya dalam sekejap seakan mendadak lenyap.

"Hey ... Malah bengong!" Raina menepukkan kedua tangannya di depan Duta.

"Emmm enggak. Belum lama kok." 

Duta tersentak dan segera menurunkan kakinya dari jok motor model jadul - warna silver dengan kombinasi merah - milik ayahnya itu lalu bersiap membonceng Raina.

"Kita mau ke mana emang, pake motor segala?" Ujar Raina penuh tanda tanya.

"Kita keliling perkebunan. Aku mau ajak kamu ke suatu tempat. Ayo!"

Duta memberi tanda dengan gerakan kepalanya pada Raina agar segera naik di belakangnya. Tanpa berpikir lama, Raina meraih pundak Duta lalu duduk di balik punggungnya.

"Udah." Raina menyimpan kedua tangan diantara kakinya dan sebuah ransel abu-abu tampak bergelayut mesra di bahunya.

"Pegangan ke pundak aku ya Ray ... Entar kamu ngejengkang loh!" Pinta Duta pada Raina seraya bersiap mengemudi.

"Emang jalannya mau ngebut?" Tanya Raina sedikit khawatir mengingat ia jarang sekali naik motor selama ini.

''Enggak sih, cuma takut kamu kenapa-kenapa aja. Kamu kan gak pernah naik motor Ray." Jawab Duta sambil menyela motornya.

"Pernah kok ... Tapi OK aku pinjem pundakmu ya." Tanpa sungkan lagi Raina pun segera mendaratkan kedua tangannya di bahu Duta. Hati Duta berdesir.

Sesaat kemudian motor Duta melaju perlahan menapaki jalan aspal di depan mereka. Kepergian Duta bukan hanya meninggalkan kepulan asap dari knalpot motornya tetapi sekaligus membawa serta debaran yang kian kencang di hatinya.

                                                       ****

Duta dan Raina berboncengan di antara hembusan angin pegunungan serta belaian lembut sinar sang surya. Raina terlihat benar-benar menikmati segarnya udara lepas yang bebas polusi. Suasana yang hening dan damai tanpa keramaian. 

Hanya terdengar suara deru mesin motor dan riuhnya hati Duta yang mengikuti perjalanan mereka melintasi jalanan yang kadang lurus, berkelok dan sesekali naik turun. Sementara pandangan Raina menjelajah mengitari pemandangan alam yang membentang luas di ujung matanya tanpa kata.

"Ray, kamu pernah berapa kali naik motor?" Tanya Duta memecah kesunyian.

"A-pa?" Teriak Raina sambil memajukan wajahnya lebih mendekat.

Tanpa disadari paras cantiknya kini bersisian dengan kepala Duta. Terang saja hal itu membuat irama jantung Duta kian berdegup kencang.

"Kaammuu ... udah berapa kali naik motor. Ngelamun ya?" 

Duta meninggikan suaranya sambil mencuri pandang dari balik spion.

"Ya, ada lah dua ato tiga kali sih. Bukan ngelamun tapi ... Gak kedengeran! motor kamu berisik tau. Ha-ha!" Raina balas berteriak lalu tertawa lepas.

"Ha-ha-ha ... Maklum lah motor butut Ray. Ooo ... gitu. Diboncengin siapa, pacar?" Duta mencoba berdiplomasi untuk mencari tahu.

"Idih, pacar apaan? Bukan, sama sodara aku di Bandung kok!" Jawab Raina serius.

"Kirain .... Nyanyi yuk, Ray!" Duta pun menarik napas lega.

"Nyanyi? Nyanyi apaan ... Aku gak bias nyanyi. Kamu aja!" Teriak Raina jengah.

"Kamu backing vocal aja. Bagian yang sya-la-la ... la-la-la ... He-he." Ujar Duta kocak mengundang tawa Raina.

"Ha-ha ... OK baik lah kaka Duta!" Sambut Raina tak kalah jenaka.

"Malam-malamku bagai malam seribu bintang ...."

Duta mengawali nyanyian dengan suara merdunya bersahutan dengan Raina yang tak lagi malu-malu menyumbangkan suaranya meski hanya bertindak sebagai backing vocal.

                                                      ****

Perjalanan Duta dan Raina kini terasa semakin syahdu. Alam semesta pun mengangguk setuju. Duta dan Raina seolah tak menemukan kalimat yang tepat untuk sekedar mewakili apa yang sedang mereka rasakan saat itu. Tetapi andai dapat dituangkan ke dalam kanvas, tentu saja Raina dan Duta akan sama-sama melukiskan sebuah taman bunga dengan kuntum aneka warna yang sedang tumbuh bermekaran di musim semi. 

Entah, saat itu Duta merasakan hatinya begitu dekat dengan hati Raina. Begitu pula Raina, seolah-olah telah mengenal sosok Duta bertahun-tahun lamanya.

"Keindahan adalah wajahmu

Kerinduan adalah bayangmu

Dan bahagiaku adalah bersamamu, Raina

Andai kamu tahu."

Duta kini percaya yang ia rasakan adalah cinta. Sebuah pertanyaan yang telah menemukan jawabannya. Pun sepenuhnya disadari bahwa ini adalah tentang sebuah pengharapan yang membutuhkan pengorbanan serta perjuangan meski tak semudah membalikkan telapak tangan. Duta tak perduli. Yang ia tahu saat ini Raina lah orang yang ia cari sebagai tempatnya untuk melabuhkan hati.


                                                                      ~ oOo ~

                                                                      ~ oOo ~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





Halimun 1992Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang