Angin sejuk pagi itu membawa satu wangi samar yang begitu Jeno kenal, tapi tak Jeno sukai. Apalagi saat matanya benar-benar menemukan sosok yang ia tebak itu benar ada tak jauh di hadapannya. Reflek Jeno berdecak kesal.
Jeno tau betul ciri khas seorang omega itu bagaimana, feromonnya menguar manis yang lembut menunjukkan seberapa banyak perbedaan yang dimiliki omega dengan seorang alpha yang feromonnya lebih kuat. Wajah seorang omega biasanya cenderung lebih banyak kesan menenangkan, harusnya seperti itu. Tapi omega yang ada di hadapan Jeno saat ini, nyatanya tak seperti itu.
Wajah angkuhnya tak sesuai dengan bau manis yang menguar samar dari tubuhnya—Jeno harus mengakui ini. Feromon yang dimiliki omega itu memang menyenangkan untuk dihirup, bahkan tak jarang membuat Jeno berdesir nyaman. Tapi, mengingat siapa si pemilik feromon itu Jeno dengan cepat mengenyahkan pikiran itu. Omega kecil ini tak Jeno sukai.
Mata Renjun kerap menyorot dingin dan datar, tak pernah ada senyum yang Jeno lihat tampil di wajahnya itu.
"Kenapa aku harus bertemu denganmu." Ujar Jeno ketus.
Renjun yang baru keluar dari toko roti yang biasanya ia datangi, untuk membeli roti kesukaan mamanya itu kini menoleh cepat mendengar suara Jeno. Ia tadi terlalu menikmati mencium wangi roti yang baru keluar dari panggangan, sampai tak sadar kalau ada feromon yang mengintimidasinya.
Dahi Renjun mengernyit saat hidungnya semakin jelas mencium jenis feromon yang Jeno keluarkan, ini cukup membuat Renjun ingin segera pergi dari hadapannya.
"Berhenti menyebarkan bau seperti ini." Kata Renjun dengan kernyitan di dahinya yang semakin dalam.
Sebenarnya setiap mereka bertemu Jeno selalu mengeluarkan bau seperti ini, dan Renjun tak tau alasannya kenapa. Tapi yang jelas karena Jeno kerap membuatnya tak nyaman setiap bertemu dengannya, Renjun pun jadi begitu benci saat harus dipertemukan dengan alpha satu itu.
"Cepat menyingkir." Gertak Jeno, sambil melangkah maju. Meminta Renjun menjauh.
"Dengan apa yang kau lakukan saat ini, aku kesulitan pergi." Jawab Renjun dengan nada membentak karena kesal, Jeno itu menyuruhnya pergi tapi malah mengeluarkan feromon yang bisa saja membuatnya jatuh lemas di hadapannya jika Jeno mengeluarkan lebih banyak lagi.
Setelah Renjun mengatakan itu feromon menyesakkan itu sedikit berkurang, Renjun segera pergi dari toko roti itu. Pagi harinya jadi begitu buruk karena dipertemukan dengan Jeno yang tak pernah bersikap baik padanya.
Jeno menatap kepergian Renjun dengan mata tajamnya yang menunjukkan ketidak sukaan yang begitu kentara. Ia tak pernah bisa berpura-pura biasa saja di hadapan omega satu itu, rasanya kebencian itu muncul begitu saja dalam dadanya dan membuatnya tak bisa menahan sikapnya untuk tak menunjukkan itu.
Bahkan di sekolahan pun Jeno memperlihatkan terang-terangan bagaimana ia yang tak memiliki keinginan untuk bersikap baik pada Renjun sedikit saja.
Tepat keesokan harinya, Jeno menemukan Renjun tengah berada di ruang guru dan mendapat beberapa lembar kertas. Yang ia ketahui adalah contoh soal untuk latihan Renjun, omega itu memang salah satu dari beberapa orang yang mewakili sekolah untuk olimpiade.
Lalu ia juga melihat bagaimana salah satu lembar soal jatuh ke sisi meja guru, anak itu terlihat kesulitan mengambilnya. Dan Jeno suka melihat hal itu, sampai tanpa sadar ia pun mengeluarkan kekehan pelannya.
Mendengar suara itu, Renjun mendongak dan langsung berdecak sebal begitu tau siapa orang yang menertawakannya. "Bukankah harusnya ada orang yang membantuku?" Sindir Renjun.
Eric yang sejak tadi bersama Jeno, mendorong punggung Jeno. "Benar kau harusnya membantunya."
"Aku bukan orang yang suka menolong seorang omega." Jeno kini menjulurkan kakinya untuk menyentuh tangan Renjun dengan itu.
Renjun mengerutkan dahinya, kembali menatap Jeno dengan mata melotot. Selain kesal karena Jeno menendang tangannya—walau pelan, Renjun juga terkejut mendengar ucapan Jeno barusan.
"Aku pernah melihatmu membantu omega lain, maksudmu mungkin tak suka menolongku." Delik Renjun.
Ia jelas pernah melihat Jeno mau mengalah antrian di kantin pada omega lain, juga pernah mengantar pulang seorang omega pulang saat ia tengah tak enak badan. Jadi begitu mendengar Jeno mengatakan tak suka membantu seorang omega, Renjun mendengus karena tau alasan sesungguhnya alpha itu tak mau membantunya. Kebencian Jeno padanya, tak Renjun ketahui sebabnya. Tapi ia dapat merasakannya jelas.
"Benar, aku tak suka padamu. Itu alasan tepatnya." Setelah itu Jeno berbalik menatap seorang guru yang memanggil namanya dan Eric.
Sebenarnya Jeno tak suka berurusan dengan guru satu ini, setiap pertemuan dengannya ia hanya akan diceramahi dan diberi ancaman ini itu. Padahal Jeno tak peduli. Ia tetap akan melakukan segala hal sesukanya, membolos kelas ataupun tidur saat jam pelajaran berlangsung.
"Kau bisa mengumpulkannya lusa, Renjun. Nanti akan ibu periksa sekalian milik anak-anak yang lain juga, untuk melihat kesiapan kalian." Renjun pun menoleh saat mendengar suara seorang wanita, itu guru yang membimbing Renjun dan beberapa siswa yang mengikuti olimpiade.
Renjun mengangguk, kemudian meminta pada guru tersebut untuk memberinya satu lembar soal yang tadi ia jatuhkan. Guru tersebut bertanya bingung alasan hilangnya lembar soal milik Renjun, dan Renjun tanpa ragu menjawab.
"Jeno menjatuhkannya."
Si pemilik nama menoleh cepat, ia mendengar jelas apa yang Renjun ucapkan barusan. Dan omega itu justru terlihat tak merasa bersalah setelah menuduhnya jadi pelaku begitu saja.
"Apa-apaan?!" Sentak Jeno tak terima.
"Jeno." Guru yang tadi tengah menceramahi Jeno kini menegurnya karena suaranya yang meninggi.
Guru wanita tadi juga mencoba tak memperpanjang masalah itu, lagi pula ia hanya penasaran. "Sudah, kalau begitu Renjun ibu minta tolong sekalian antar buku—ah, kau akan kesulitan membawanya." Ia menoleh pada dua alpha yang duduk tak jauh dari tempatnya.
"Jeno, tolong ambil ini dan antar ke kelas tingkat satu."
Renjun menahan tumpukan buku yang barusan digeser guru itu. "Ibu, minta tolong pada Eric saja. Jeno tadi mengatakan tak mau menolong seorang omega."
Lagi, Jeno dibuat melotot tak percaya mendengar ucapan Renjun. "Aku tak mengatakannya." Sanggah Jeno.
"Eric juga mendengarnya." Renjun menunjuk Eric dengan dagunya.
"Iya, sudah kalau begitu. Eric kau saja yang bantu mengantar ini." Guru itu akhirnya memilih Eric untuk dimintai tolong.
Mendapat tugas itu, Eric tentu saja senang karena bisa terhindar dari omelan panjang lebar yang membosankan. Sementara Jeno hanya bisa mendengus sebal melihat wajah angkuh Renjun saat berjalan melewatinya. Demi Tuhan, Jeno benar-benar tak menyukai omega satu itu.