7. Birdsong

6.6K 922 95
                                    

"Suara kicau burung menjadi—"

Renjun langsung menoleh saat ada seseorang yang membaca narasi dalam novel yang tengah ia baca, Jeno berdiri di belakangnya dengan tatapan tak peduli atas pelototan Renjun.

"Aku kira kalau anak olimpiade pergi ke perpustakaan itu untuk belajar, ternyata kau kemari hanya untuk membaca novel." Jeno duduk di kursi yang ada di samping Renjun.

"Normal untukku merasakan muak dengan soal latihan yang nyaris setiap detik ada di hadapanku." Delik Renjun sambil menarik beberapa buku miliknya yang hampir Jeno jadikan alas untuk membaringkan kepalanya.

Jeno tak lagi bersuara, ia memejamkan matanya dengan posisi duduk namun kepala di atas meja. Renjun yang merasa waktu membacanya sudah tanggung terganggu oleh Jeno, memutuskan untuk menutup novel tadi dan mulai memilih soal latihan mana yang hendak ia kerjakan lebih dulu.

"Minggu lalu aku mengantarmu pulang." Tiba-tiba Jeno berujar seperti itu, sementara matanya masih terpejam.

"Iya terimakasih." Ucap Renjun agak ketus, ia sudah menduganya kalau Jeno pasti tak sebaik itu untuk mengantarnya pulang begitu saja. Pasti ada niat tersembunyi, dan sekarang Jeno sudah menunjukkan tandanya. Alpha itu mengungkit 'kebaikannya' hari itu.

Jeno tersenyum kecil mendengar ucapan itu. "Aku melihat keluargamu."

Renjun mengerutkan dahinya, tapi kembali melanjutkan menulis beberapa angka yang ada di benaknya sebagai salah satu jawaban dari hitungan yang tengah ia kerjakan.

"Kalian, membuatku iri. Mamamu menatapmu dengan tatapan teduh, ayahmu merangkulmu dengan hangat. Kau—sempurna."

Renjun mengerutkan dahinya, kenapa Jeno mengatakan hal itu?

"Aku ingin memiliki keluarga seperti itu, karena aku tak memilikinya."

Jeno membuka matanya, menangkap bagaimana Renjun yang tengah menulis. "Renjun, kalau aku mulai membencimu karena hal ini, bagaimana?"

Mendengar penuturan Jeno, kali ini Renjun menghentikan gerak tangannya yang tengah menulis. Matanya menatap lama buku-buku terbuka miliknya yang memenuhi meja.

Apa yang Jeno katakan terasa lucu bagi Renjun, ia menoleh pada alpha yang menatapnya dengan kepala masih berbaring di atas meja.

"Jeno, kau memiliki mama yang akrab denganmu bahkan kalian terlihat seperti teman saking akrabnya. Aku justru iri padamu." Renjun pernah melihat sosok omega yang menjadi mama Jeno saat pertemuan orangtua akhir semester lalu.

"Kau juga memiliki papa yang memenuhi kebutuhanmu tanpa kekurangan apapun, ia juga terlihat tak banyak mengaturmu." Padahal Jeno begitu banyak tingkah di sekolah, tapi anak itu tak pernah terlihat mendapat hukuman dari orangtuanya di rumah.

Di kelas Renjun, ada seorang alpha yang pernah ditegur pihak sekolah karena ketahuan mabuk saat di luar. Lalu keesokan harinya Renjun mendengar alpha itu tak diberi lagi fasilitas yang sama seperti sebelumnya oleh orangtuanya.

Lalu Renjun membandingkannya dengan Jeno, yang selalu terlihat sama saja setiap harinya. Maka ia menyimpulkan kalau papa Jeno tak banyak menuntut anaknya ini itu.

"Ya, papaku seperti itu." Jeno tersenyum miris saat menyadari papanya memang terkesan tak peduli padanya.

Pulang sekolah Jeno ada janji berkumpul dengan kawan-kawannya, ia dan Eric berangkat lebih telat dari yang lain karena memang tadi harus mengerjakan hukuman terlebih dahulu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pulang sekolah Jeno ada janji berkumpul dengan kawan-kawannya, ia dan Eric berangkat lebih telat dari yang lain karena memang tadi harus mengerjakan hukuman terlebih dahulu.

Dan dalam perjalanan mereka memutuskan untuk berhenti di depan mini market untuk membeli beberapa minum yang hendak dibawa. Kebetulan tak jauh dari sana Jeno melihat cafe yang biasa dikunjungi mamanya, maka ia meminta Eric yang ke mini market sementara ia akan memesan dulu kue untuk mamanya agar nanti pulang dari acara dengan teman-temannya Jeno bisa mengambilnya tanpa harus takut kehabisan.

"Kau minum apa?" Eric berteriak menanyakan pesanan Jeno.

Jeno yang sudah setengah berlari hanya menjawab untuk disamakan dengan yang lain.

Cafe yang Jeno masuki memang terbilang sepi, karena ya memang kawasan sekitar sini tak begitu ramai. Cafe ini juga tak begitu besar, namun menurut mamanya kue disini enak-enak.

"Aku ingin kue yang ini, tapi aku ada perlu dulu saat ini, nanti pulangnya aku ambil."

Pelayan cafe tersebutpun mengiyakan permintaan Jeno agar memisahkan kue itu untuknya, setelah membayarnya Jeno kembali keluar untuk menghampiri Eric.

Saat Jeno menginjakkan kakinya di luar cafe, ja mendengar sebuah suara erangan kesakitan tak jauh darinya.

"Sebenarnya apa yang membuatmu mendapat nilai serendah ini, hah?!" Bentakan itu dijawab sebuah erangan.

Awalnya Jeno mengabaikannya, dan melanjutkan langkahnya. Namun baru dua langkah, ia kembali berhenti. Dan mulai menoleh ke arah belakang tempat suara itu berasal.

"Ayah tak mengharapkan ini, Renjun. Delapan lima begitu jauh dari nilaimu biasanya, kembalikan nilai sempurnamu itu." Kali ini suara pria itu bukan bentakan keras, tapi nada bicaranya terdengar penuh kemarahan.

Tiga bangunan setelah cafe yang Jeno kunjungi itu, ada sebuah bangunan yang ia ketahui tempat les yang cukup bagus di tempat ini. Dan di depan bangunan itu, ada Renjun yang meringkuk kesakitan dengan ayahnya yang berdiri menatapnya. Tangan pria itu memegang sebuah kertas.

Jeno dapat mencium feromon penuh kemarahan milik ayah Renjun, feromon kuat yang jelas bisa membuat seorang omega kesakitan.

"Tahun ini adalah tahun terakhir kau sebelum masuk universitas, nilaimu tak boleh ada yang cacat Renjun."

Isakan Renjun terdengar samar diantara rintih kesakitannya.

"Olimpiademu itu, jangan mengecewakan ayah."

Sore itu, Jeno melihat bagaimana sosok yang memiliki wajah angkuh kini meringkuk dengan isak tangis penuh kesakitan. Hari itu, Jeno mendapati kalau penilaiannya terhadap keluarga Renjun yang hangat nyatanya tak seperti itu.

"Renjun, kau tak membuatku iri." Bisik Jeno.

Autumn Morning ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang