Suasana hati Renjun cukup baik setelah tadi ikut makan bersama dengan mama Jeno, itu mungkin sedikit menutupi lukanya setiap ingat kalau acara makan bersamanya dengan orangtuanya sendiri tak semenyenangkan itu. Setiap ia dan orangtuanya duduk dalam satu ruangan, sudah pasti pembicaraan yang diangkat adalah nilai Renjun. Membuatnya selalu menahan agar helaan napasnya tak keluar begitu saja.
Tapi tadi ia makan bersama dengan tak ada rasa ditekan sama sekali, meskipun beberapa kali Jeno memancing rasa kesalnya tapi tak sampai membuat Renjun melupakan bagaimana nyamannya duduk dengan tanpa mendengar pertanyaan soal pelajaran sekolah.
Renjun tersenyum kecil begitu membalikkan tubuhnya setelah mengucapkan terimakasih pada Jeno, ia berjalan memasuki rumahnya dengan pikiran bahwa setelah ini ia akan beristirahat karena kebetulan besok tak ada tugas dan ulangan apapun.
Sampai feromon kuat ayahnya tercium dari begitu Renjun menginjakkan kakinya di dalam rumah, tangannya terkepal erat merasakan sakit itu perlahan memenuhi lehernya lalu sampai pada dadanya. Sesak, udara yang ia hirup terasa begitu kering dan membuatnya semakin kesakitan. Napasnya terasa begitu menyakitkan.
"Akh!"
Tubuhnya jatuh ke lantai setelah feromon ayahnya semakin menusuk hidungnya, mencekiknya, dan mengirim rasa sakit yang luar biasa.
"Kau berjanji tak membuat ayah kecewa lagi, tapi bagaimana bisa angka ini tetap kau miliki dalam kertas ulanganmu?"
Renjun jelas tak bisa menjawab semua luapan kecewa sang ayah, ia sibuk dengan rasa sesaknya. Air matanya mengalir, isakannya tak bisa ia tahan. Tangannya mencoba menggapai kaki alpha dewasa itu, meminta ampunan.
"Ayah!" Raung Renjun diantara kesakitannya, demi Tuhan ia merasa kalau ini begitu menyakitkan.
Ini tak seperti biasanya, rasa kecewa ayahnya yang baru ia dapat minggu lalu terulang, membuatnya melampiaskannya begitu keras pada Renjun.
Sakit yang ia terima seolah semakin banyak, Renjun bahkan merasa kalau kesadarannya akan hilang dalam beberapa menit lagi. Matanya bahkan sudah tak bisa ia buka, kelopak itu terpejam erat menahan seluruh sesak yang ia dapat.
Sampai ia mencium feromon yang seolah menyingkirkan feromon kuat sang ayah, cengkraman lemahnya pada kaki sang ayah perlahan terlepas. Bukan karena Renjun kehilangan kesadarannya, tapi karena napasnya perlahan kembali normal. Padahal ayahnya belum menarik feromon kuatnya.
Dengan masih sedikit terengah, Renjun terduduk menatap ayahnya yang justru menatap ke arah pintu masuk. Lalu kembali pada Renjun yang kini menatap kertas ulangan hariannya yang tergeletak di atas meja, nilainya delapan puluh dua. Itu adalah nilai yang ia dapat diantara rasa mual yang masih tersisa setelah malam sebelum dilaksanakannya ulangan itu, Renjun beberapa kali ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Itu adalah nilai yang Renjun terima dengan baik, namun ayahnya tak menyukainya.
"Ayah bilang perbaiki nilaimu." Kali ini suara ayahnya tak sekeras tadi, lebih pelan.
"Sekarang istirahatlah." Mama Renjun membantu Renjun bangkit dari duduknya, mengusap air mata yang membasahi wajah Renjun. Mengulas sebuah senyum untuknya, dan membantunya berjalan menuju kamar.
"Jangan berbohong lagi pada mama, sayang. Mama tak suka."
Nyonya Huang membawa tubuh Renjun agar duduk di kasurnya. "Besok kau tak memiliki ulangan apapun kan?"
Renjun menggelengkan kepalanya dengan lemah, sisa tenaganya habis terkuras rasa sakit yang ia dapat tadi.
"Kalau begitu, tidurlah. Besok ayah pasti akan mengajakmu berbicara." Setelah memberikan kecupan pada puncak kepalanya, mamanya keluar dari kamar.