14. Branches

5.9K 789 56
                                    

Ranting pohon yang sudah lama bertahan dalam terpaan angin, akan memiliki waktunya untuk jatuh. Tapi Renjun tak mau seperti itu, jatuhnya ia nanti akan begitu menyakitkan. Karena ia didorong oleh orangtuanya sendiri, oleh keluarganya sendiri.

"Kau pernah mengatakan iri padaku karena memiliki orangtua seperti sekarang kan? jadi dimana letak irimu itu?" Tanya Renjun.

Jeno menggelengkan kepalanya, kemudian menjawab pelan. "Tidak ada." Setelah apa yang ia ketahui, Jeno tak merasa iri sama sekali pada omega itu.

"Mamaku mungkin akan menganggapku tak berguna kalau tidak mau menuruti apa yang ayahku katakan, dan sebaliknya ayahku mungkin akan begitu marah saat tau aku mengabaikan permintaan mama." Ujar Renjun.

"Aku tak mau membuat mereka kecewa. Aku lebih baik bertahan susah payah dari pada menerima bentuk kecewa keduanya."

Renjun menatap Jeno, menilik reaksi macam apa yang akan Jeno berikan. Tapi alpha itu hanya balik menatapnya. Renjun pun memilih kembali menekuni bukunya, karena Jeno yang tak menunjukkan tanda akan menyahuti ceritanya.

Setelah beberapa saat.

"Kemarin, kau baik-baik saja? Mamamu tak curiga?" Ketakutan Jeno soal kecurigaan nyonya Huang atas kebohongannya terasa lebih besar setelah tau cerita kalau wanita itu juga sama saja seperti tuan Huang yang begitu menekan Renjun.

"Tidak, mama percaya padamu." Jawab Renjun tanpa menoleh.

"Pertanyaanku yang satunya belum kau jawab." Ujar Renjun.

"Apa?"

Jeno menyenderkan punggungnya pada sandaran kursi, matanya menatap rak buku dengan pandangan menerawang. Mengingat yang ia lihat kemarin. "Kau jelas terlihat pucat kemarin. Kau baik-baik saja?" Sebelumnya Renjun mengalami mimisan saat pulang sekolah, dan setelah Jeno mengatarnya pulang dari tempat les ia melihat Renjun yang tergesa memasuki rumahnya.

"Hanya muntah-muntah." Jawab Renjun.

Jeno kembali terdiam, cara Renjun menjawab pertanyaannya seolah itu bukanlah hal yang besar. Dan ini membuat Jeno justru merasa kalau hidup Renjun terasa menyedihkan, karena sudah ada pada tahap dimana rasa sakitnya bukanlah hal yang penting.

Alpha itu nyaris tak percaya dengan pikirannya itu, bisa-bisanya ia bersimpati pada kehidupan orang lain sementara kehidupannya juga membuatnya kesal.

"Hari ini kau ada jadwal les?" Jeno agak bingung untuk melanjutkan pembicaraan mereka, karena menurutnya cerita yang sudah ia dapat dari Renjun sudah cukup banyak.

"Tidak ada." Jawab Renjun.

Tapi setelah banyaknya informasi yang ia terima tadi, ternyata rasa penasarannya masih tersisa. "Kau perlu sampai rumah tepat waktu?"

Jadwal Renjun disaat ia tak memiliki les, tak ada. Hanya saja saat ada tugas dan keesokan harinya akan ada ujian, Renjun akan diam di kamarnya untuk mengevaluasi beberapa soal sebelum sang mama menyuruhnya.

"Kalau aku memiliki tugas, dan hendak ujian aku biasanya akan pulang cepat."

"Besok kau ada ujian?" Kemudian mata Jeno melirik buku Renjun, dan bergumam. "Ah, kau ada tugas..."

Renjun menoleh pada Jeno, kemudian menyipitkan matanya curiga.

"Aku hanya bertanya." Ujar Jeno setelah sadar jenis tatapan yang Renjun tujukan padanya.

"Semua kelakuanmu pantas dicurigai." Kata Renjun, membuat Jeno berdecak tak percaya dengan perkataan omega itu.

" Kata Renjun, membuat Jeno berdecak tak percaya dengan perkataan omega itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Keluar dari perpustakaan, Renjun kembali menuju kelasnya untuk mengikuti pelajaran setelah jam istirahat. Sementara Jeno berjalan menuju halaman belakang sekolah, dan membaringkan tubuhnya di atas bangku panjang yang ada. Alpha itu tak mengikuti kelasnya.

Pikirannya berisi tentang Renjun dan kehidupannya yang penuh tekanan tak menyenangkan, jika dibandingkan dengan Renjun, sekarang Jeno merasa kalau kehidupannya terasa lebih baik?

Jeno memiliki sosok mama yang menyayanginya dengan tulus, tak menekannya untuk hanya kepuasannya sendiri.

Nyonya Lee bukan abai pada Jeno, ia tau kelakuan anaknya yang begitu gemar membuat guru-guru naik darah. Ia juga sering memberitau putranya itu agar tak bertingkah menyebalkan. Tapi pada dasarnya Jeno memang nakal, jadi sulit untuknya menerima teguran. Nyonya Lee pun tak bisa berbuat banyak, selama nakalnya Jeno tak parah.

Jeno jadi kepikiran untuk bertanya pada mamanya, ia ingin tau tanggapan mamanya tentang orangtua yang begitu perfeksionis sampai tak memikirkan perasaan anaknya saat dituntut untuk menjadi yang terbaik. Jeno ingin tau sebenarnya apa yang ada di pikiran para orangtua tentang anak mereka.

Setelah bosan berbaring di halaman belakang, Jeno pindah menuju kantin untuk memainkan ponselnya sambil membeli minum.

"Kau membolos lagi?" Eric menepuk bahunya, kemudian mengambil tempat duduk di seberangnya. Tangannya menyimpan wadah berisi potongan buah, Eric memang memiliki kebiasaan yang bisa dibilang cukup baik? Ia selalu membeli buah untuk makan siangnya.

Tapi Jeno tak bisa menyebut kalau Eric memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan sehat, karena ia pun cukup tau kehidupan kawannya yang tak jauh berbeda dengannya.

"Aku tau kau juga melewatkan kelas, kau membeli buah itu dari cafe yang jelas tidak ada di sekitar sini." Ujar Jeno.

Tiba-tiba ia teringat Renjun. Omega kecil itu tak bisa mengkonsumsi sembarangan makanan, karena takut mengacaukan kesehatan tubuhnya.

"Kau hanya membeli satu?" Tanya Jeno.

Alpha yang jadi kawan Jeno sejak tingkat satu itu mengangguk membenarkan, tadi ia hanya membeli satu cup buah dan juga satu americano dari cafe.

Tangan Jeno pun meraih cup berisi potongan buah itu, memastikan kalau Eric belum membukanya. "Aku ambil ini, nanti aku ganti."

"Apa-apaan!" Eric menatap Jeno yang langsung pergi dari hadapannya.

.
.
.

"Heh!" Jeno memanggil omega yang berjalan di koridor sendirian, hendak pulang.

Renjun yang dimaksud Jeno, tapi omega itu jelas tak menoleh. Membuat Jeno bergegas menghampirinya.

"Kau tak mendengar panggilanku apa?" Jeno menahan bahu Renjun, membuat omega itu menghentikan langkahnya kemudian menatap Jeno bingung, ia tak merasa ada yang memanggilnya tadi.

Jeno menyodorkan cup buah tadi pada Renjun. "Mama mu tak mungkin melarangmu memakan ini."

Omega di hadapan Jeno itu kini mengangkat halisnya, tak langsung menerima pemberian Jeno. Karena ia curiga. "Kau ingin aku membantumu menyelesaikan hukumanmu?" Tebaknya.

"Aku tak sedang dihukum." Ujar Jeno, tangannya meraih tangan Renjun kemudian memaksanya menerima pemberiannya itu. Jeno akan menganggap kelakuannya sekarang yang memberikan sesuatu pada Renjun, adalah ganti tadi ia memakan coklat milik omega itu.

Renjun mengedikkan bahunya, walau masih dengan bertanya-tanya. "Bukankah bagus kau sering-seing bersikap baik seperti ini padaku?" Tangan Renjun pun membuka cup itu, lalu menusuk satu potong apel dan memasukkannya pada mulutnya.

"Tidak bisa, karena setiap melihatmu aku selalu ingin marah-marah." Jawab Jeno. "Jadi jangan berharap aku mau bersikap baik padamu."

"Ini?" Renjun menunjuk pemberian Jeno barusan.

"Hanya hari ini." Kata Jeno acuh tak acuh.

Padahal tanpa Jeno sadari pun ia justru telah memperlakukan Renjun dengan baik selama beberapa hari ini.

Autumn Morning ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang