Rasa malas juga kerap Renjun rasakan, bukan berarti karena ia terlihat begitu sering belajar ia selalu semangat setiap harinya. Awalnya Renjun memang menyukai saat dimana ia mengerjakan soal sulit kemudian menemukan jalan keluarnya dan mendapat jawaban yang tepat. Renjun jelas bangga saat ia mendapat nilai tinggi di berbagai mata pelajaran, karena usahanya belajar terlihat hasilnya.
Tapi ia mulai membenci hal-hal itu saat orangtuanya mulai mewajibkannya mendapat nilai sempurna, melarangnya memiliki kesalahan dalam setiap jawaban yang ia tulis dalam kertas ujian. Mengharuskannya membawa pulang julukan 'murid paling berprestasi' di setiap semesternya.
Renjun kadang ingin diberi jeda dari melihat deretan angka dan soal yang berdatangan padanya, tapi jika ia menuruti rasa malas dan lelahnya ia hanya akan membuat kecewa orangtuanya.
Jeno bilang ia iri pada keluarga Renjun, karena ayahnya terlihat perhatian. Tanpa tau kalau alpha yang menjadi ayahnya itu pasti menghukumnya dengan feromon mencekik setiap tau nilai ujian Renjun tak sesuai maunya.
Dan Jeno juga bilang mamanya terlihat begitu hangat, padahal ia hanya melihat sampai mamanya menyambut kepulangannya dan saat mengatakan kekhawatirannya bila Renjun terkena hujan. Jeno hanya tau sebatas itu, tanpa mengetahui kalau alasan sebenarnya mamanya mengkhawatirkan kesehatannya. Karena jika Renjun jatuh sakit maka ia akan melewatkan jadwal les yang ia miliki, lalu membuat ia tertinggal beberapa materi. Mamanya bisa tak menyapanya berhari-hari kalau sampai hal itu terjadi.
Jeno juga ada mengatakan kalau Renjun sempurna, dilihat dari nilainya yang selalu tinggi kemudian keluarganya yang terlihat bahagia. Semua ucapan Jeno itu, membuat Renjun merasa lucu. Lucu karena kehidupannya tak semanis itu.
Kesempurnaan yang Renjun miliki penuh dengan kesakitan.
"Kalau begitu kenapa bisa nilaimu turun seperti ini?" Suara mamanya terdengar lembut membelai telinganya.
Tapi maksud dari pertanyaan tersebut jelas membuat kepalanya seolah ditarik untuk dibenturkan pada tembok. Sakit, kepalanya sakit setelah menghirup banyak feromon sang ayah yang membuatnya sesak. Sekarang Renjun juga masih harus mendengar pertanyaan dan permintaan penuh tuntutan dari sang mama.
Kenapa nilai ujiannya di les hari itu cukup buruk? Renjun ingat kejadian hari itu, saat dimana ia duduk di tengah ruang les di hari yang mulai petang.
Setelah mengeluarkan alat tulisnya, Renjun menerima lembar yang diberikan gurunya dan begitu matanya melihat soal yang ada di kertas yang ia pegang Renjun langsung merasakan mual.
Kakinya bergerak cepat menuju kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya, Renjun berada di dalam kamar mandi untuk waktu yang cukup lama. Tubuhnya luar biasa lemas hari itu, tapi ia memaksakan diri kembali ke kelas untuk mengerjakan soal.
Karena keadaan tubuhnya yang tak baik, fokusnya juga begitu buruk. Menjadikan ia mengisi beberapa soal dengan sebisanya tanpa kau berpikir lebih lama.
Dan akhirnya seperti ini, ayahnya tak puas dengan hasilnya. Lalu mamanya menuduhnya melewatkan salah satu jadwal lesnya.
Mata Renjun menatap kosong dinding kamarnya, setelah puas menyakitinya tadi ayahnya meraih tubuhnya yang berbaring lemas. Kemudian memeluknya sambil berbisik. "Kembalikan nilai sempurnamu itu, Renjun." Lalu ayahnya mengecup pelipisnya.
Dan sekarang pun mamanya tengah membelai kepalanya lembut, sementara mulutnya terus mengeluarkan kalimat penuh permintaan yang menekan Renjun sampai ia muak sendiri. Tapi ia tak bisa apapun selain mendengarkan semuanya, dan mengabulkan semua permintaan orangtuanya.
Eric menyenggol lengan Jeno saat melihat kawannya itu banyak melamun setelah kembali dari cafe tadi, bahkan Jeno tak banyak menyahut obrolan yang lain.
"Kau bilang cafenya tutup jam delapan, sebentar lagi mungkin tutup." Ujar Eric sambil menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan angka jam.
Jeno mengerjap. "Aku lupa."
"Kau sebenarnya menemukan apa tadi?" Eric bertanya penasaran atas alasan Jeno jadi agak berbeda.
Jeno berhenti melangkah, kemudian menatap Eric. "Aku menemukan, kalau ternyata aku memiliki rasa— kasihan?" Ujar Jeno tak yakin.
Setelah melihat kejadian Renjun yang merintih kesakitan sambil menangis, Jeno merasa kalau ia jadi cukup kasihan pada omega yang sebelumnya ia benci karena kemiripannya dengan selingkuhan papanya.
Iya, Jeno iba melihat bagaimana usaha kerasa Renjun tak dihargai oleh ayahnya sendiri. Jeno juga jadi merasakan sedikit penyesalan karena pernah menyakiti Renjun dengan feromonnya, disaat mungkin saja omega itu mendapat hal serupa di rumahnya.
Mengingat bagaimana Renjun yang selalu terlihat rajin belajar, kemudian fisiknya tak terlihat memiliki perubahan semacam bekas pukulan atau apapun itu. Jeno pikir ayah Renjun terbiasa menghukum dan memperingatkan anaknya dengan seperti itu.
Keesokan harinya Jeno melihat Renjun yang terlihat biasa saja, seperti Renjun di hari-hari sebelumnya. Omega itu tak menunjukkan tanda-tanda kalau kemarin ia baru saja menangis kesakitan, atau terlihat lebih murung dari pada biasanya. Wajah angkuhnya masih sama, bibirnya yang tak pernah Jeno lihat tersenyum pun tetap dalam satu garis lurus tanpa lengkungan. Matanya yang kerap melotot tak suka padanya pun masih terlihat sinis.
Jeno bisa saja lupa atau bahkan tak percaya kalau sosok yang ia lihat saat ini adalah sosok yang kemarin terlihat tak berdaya. Jika saja suara erangan kesakitan itu tak terus berputar dalam benaknya.
Telinganya masih bisa mendengar jelas isakan Renjun kemarin, dan itu membuatnya memilih untuk menghindari berpapasan dengan Renjun dari pada tanpa sengaja melakukan hal aneh pada omega itu.
Karena bagaimana pun Jeno masih tak bisa mengenyahkan rasa tak suka yang dimilikinya setiap melihat sosok Renjun, namun kepalanya justru memperingatkannya soal rintih kesakitan Renjun kemarin.
Untuk sekarang, menghindari pertemuan mereka adalah satu-satunya hal yang harus Jeno lakukan.