Jeno benar menunggui Renjun sampai selesai dengan soal-soal kimia miliknya, begitu melihat omega itu keluar dari ruangan tadi Jeno dapat melihat senyum senang Renjun, mungkin ia puas dengan usahanya barusan.
"Wajahmu tak menunjukkan raut frustasi, kau tak sedang menutupi perasaan burukmu karena ucapanku tadi kan?" Tadi Jeno mengatakan hendak melihat wajah menderita Renjun.
"Bukan, aku cukup senang dengan soal-soal yang aku temukan tadi. Hanya beberapa yang membuatku sempat terkecoh, sebagian besarnya aku yakin atas jawabanku." Senyum Renjun tak lepas dari wajahnya, membuat Jeno berpikir entah kenapa sekarang senyum Renjun jadi lebih mudah ia temukan. Padahal sebelumnya yang ia lihat hanya delikan sebal omega itu.
Jeno lupa, penyebab Renjun malas mengulas senyum pada Jeno sebelum-sebelumnya adalah karena alpha itu sering membuatnya kesal.
"Kapan hasil penilaiannya keluar?" Tanya Jeno, matanya masih memperhatikan omega yang kini berjalan menuju lokernya.
Renjun menghentikan langkahnya tepat di depan jajaran loker, membuka miliknya dan mengeluarkan tasnya. "Besok, biasanya sehari setelah pelaksanaan akan diumumkan hasilnya."
Alpha yang tadinya tak banyak mengetahui soal hal seperti itu, kini malah hendak menunggu juga hasil itu keluar. Ingin tau apa omega kecil itu akan mendapat hasil yang memuaskan ayahnya atau tidak.
Bahkan saat keesokan harinya Jeno cukup rajin melihat mading, padahal biasanya ia bahkan tak peduli apa saja yang dipajang disana. Tapi sejak pagi saat baru datang, pertama kali yang ia lihat adalah mading. Namun ia belum menemukan lembar pengumuman itu.
Lalu saat jam istirahat pun Jeno menyempatkan diri melewati mading lagi, dan sudah ada! Matanya membaca dengan baik lembar itu, membaca nama yang menempati nomor satu juara olimpiade kimia. Dan itu, bukan Renjun. Tanpa sadar Jeno tersentak dengan fakta itu. Lalu matanya menemukan nama Renjun tepat di samping angka nomor dua, Renjun tak mendapat hasil yang sesuai kemauan ayahnya.
Kaki Jeno langsung melangkah menuju kelas omega itu, tapi tak menemukannya. Setelah itu ia berjalan menuju perpustakaan, untuk menemui Renjun yang benar tengah duduk di tempat biasa omega itu belajar.
"Olimpiade sudah lewat, kau masih harus belajar sesering ini?" Tanya Jeno sambil duduk di samping Renjun.
Renjun menganggukan kepalanya tanpa menoleh. "Tentu saja, ini tahun terakhirku sebelum masuk universitas. Aku harus mendapat nilai tertinggi sebelum keluar dari sekolah ini."
"Harusnya kau ambil waktu istirahat srtelah olimpiade kemarin, buku dan pensilmu mungkin lelah juga melihat wajah membosankanmu setiap hari." Ujar Jeno, mencoba menarik omega itu dengan mengatakan hal tak masuk akal agar Renjun menatapnya.
Berhasil. Renjun menoleh padanya dengan delikan sebalnya, Jeno hanya mengedikkan bahunya acuh tak acuh. "Ngomong-ngomong, kau sudah melihat hasilnya?"
Renjun mengangguk, senyumnya langsung terulas. "Sudah aku bilang, aku menyelesaikan soalnya dengan cukup baik. Aku mendapat nilai terbesar kedua." Raut senang itu bukanlah kebohongan, Renjun benar puas dengan hasil yang diterimanya. Usahanya belajar selama ini berujung dengan nilai tinggi yang ia dapat.
Tapi saat Jeno menyentuh tangan omega itu, ia menemukan dingin disana. Dan begitu matanya menelisik lebih jauh pada wajah Renjun, Jeno mendapati bahwa Renjun terlihat cemas.
"Kau—takut." Ujar Jeno pelan, ia dan Renjun sama-sama tau akan apa yang Renjun dapat begitu sampai rumah nanti. Renjun tak akan bisa berbohong juga karena hasil olimpiadenya langsung diminta tuan Huang agar dikirim juga padanya.
"Aku hanya akan mendapat yang biasanya aku terima." Lirih Renjun, wajahnya kini berubah muram.
Meskipun ia sendiri puas dengan semua hasilnya, tapi ayahnya tak akan seperti itu. Mungkin sekarang ayahnya tengah menahan murka sampai Renjun pulang nanti, dan setelah itu Renjun hanya akan kembali di hadapkan pada rasa sakit. Sakit dengan hukuman yang ayahnya berikan, juga dengan kenyataan kalau usahanya selama ini tak akan dihargai oleh orangtuanya.