"Kau bisa izin tak masuk sekali, istirahat begitu sampai rumah." Sesaat setelah Jeno mengatakan itu, ia melihat wajah Renjun yang tak menyetujui ucapannya.
"Kau lebih takut tertinggal materi dari pada takut tubuhmu ambruk nanti?" Jeno bertanya tak percaya.
Pertanyaan Jeno jelas dijawab anggukan iya dari Renjun, omega itu sebenarnya takut juga dengan lemahnya kondisi tubuhnya saat ini. Tapi nanti ia bisa membeli obat setelah pulang dari tempat les, untuk meredakan rasa pusingnya.
"Kau bisa mengerjarnya nanti." Maksud Jeno adalah materi yang tertinggal jika Renjun tak pergi les hari ini.
Renjun menggelengkan kepalanya sambil membereskan bukunya, setelah tadi menyelesaikan tugasnya. Jeno dan Eric masih dengannya.
"Daftar hadirku akan disetor pada ayah, dan ia akan meragukan pengetahuan yang aku dapat sendiri." Ayah Renjun sangat percaya dengan bantuan les tersebut, nilainya bisa selalu baik.
Maka setiap Renjun mengatakan ia sudah tau salah satu materi yang bahkan belum dibahas di tempat les, ayahnya tak percaya. Ayahnya bisa lebih gila dengan memberinya banyak soal tes lebih banyak, dan Renjun lebih baik mengikuti kelas tambahan meski materinya sudah tau dari pada mendapat banyak latihan yang diberikan ayahnya. Itu bisa membuatnya mual.
"Kalau ia tau aku membolos, ia akan marah. Dan marahnya ayahku itu, jelek." Ujar Renjun.
Eric berdecak mendengar cerita Renjun. "Kau bisa mengadu pada mamamu, dan membiarkan ia membujuk ayahmu untuk membiarkan kau istirahat."
Renjun mendengus, mamanya? Tak mungkin akan membujuk ayahnya untuk membiarkannya mendapat istirahat, justru ia akan diberi pengertian agar mengikuti apa yang sudah ayahnya jadwalkan dan tak membuat mereka kecewa. "Aku—
"Sepertiku?" Jeno tiba-tiba bertanya dengan raut wajah yang datar.
Mendengar Renjun mengatakan soal kemarahan ayahnya, telinga Jeno seolah kembali mendengar erangan kesakitan Renjun hari itu.
"Huh?" Renjun mengerutkan dahinya.
"Cara marah ayahmu sepertiku?" Setelah pertanyaan ini Jeno lontarkan, ia mendapat kesadaran yang membuatnya cukup terkejut.
Sebenarnya ia dan Renjun memiliki kesamaan dalam hal ini, Jeno mendapati kemiripan Renjun dengan selingkuhan sang papa. Lalu Renjun pun menemukan ada orang yang memiliki cara marah yang sama dengan ayahnya. Mereka berada pada lingkungan yang mengingatkan mereka pada luka masing-masing, tak heran rasa tak suka terhadap satu sama lain selalu terlihat jelas setiap mereka bertemu.
Kecuali hari ini, mereka terlihat lebih baik.
Renjun menatap mata Jeno, mencari detail maksud dari ucapan alpha satu itu. Maksud Jeno dengan cara marahnya ia dan ayah yang sama itu apa? Jeno tau? Tau dari mana? Atau barusan itu hanya murni sebuah pertanyaan dan tebakan Jeno?
"Cepat pulang kalau begitu, kau tak mungkin langsung ke tempat les dari sini kan? Kau harus pulang lebih dulu, untuk setidaknya memberitau mama mu kalau kau barusan mengalami mimisan. Agar ia bisa merawatmu nanti." Ujar Jeno, yang belum tau bagaimana kebiasaan tak masuk akal lainnya yang dimiliki orangtua Renjun.
Sebuah tawa miris Renjun pendam saat mendengar penuturan Jeno barusan, mana bisa ia melaporkan soal kejadian mimisan barusan pada sang mama. Justru kejadian itu harus disembunyikan, dan dirahasiakan. Atau mamanya bisa mengomel, itu bukan omelan penuh nada kemarahan. Tapi kalimat lemah lembut dengan setiap kata yang bisa membuat Renjun merasa tertekan, nyonya Huang marah dengan caranya.
"Maksudmu ini apa, aku pulang denganmu?" Tanya Renjun sambil menatap lengannya yang ditarik Jeno saat keluar kelas.
Mata Renjun melirik Eric untuk bertanya maksud Jeno ini apa, sementara Eric pun hanya bisa mengedikkan bahunya. Jujur ia tak mengerti akan Jeno saat ini, kawannya itu agak berbeda dari biasanya. Maksudnya, saat memperlakukan Renjun. Biasanya Jeno hanya bisa bersikap sinis dan kasar pada omega itu tapi kali ini—begitu perhatian. Eric pikir mungkin ini efek mendapat hukuman menulis, sampai membuat pikiran Jeno berubah tentang memperlakukan anak berprestasi macam Renjun. Jeno mungkin mendapat kesadaran itu saat harus bersusah payah mengerjakan hukumannya.
"Tentu saja, lalu kau akan pulang dengan siapa?" Jeno bertanya balik.
Renjun mengerutkan dahinya, kenapa Jeno jadi mempertanyakan hal ini? "Biasanya juga aku pulang sendiri."
"Hari ini harus diantar oranglain, beberapa menit yang lalu hidungmu berdarah." Ujar Jeno.
"Ya lalu apa? Aku baik-baik saja, juga kalau pun aku harus pulang dengan oranglain aku tak mau denganmu. Disini masih ada Eric, selain dirimu. Aku akan minta tolong pada Eric." Renjun menarik lengannya dari cekalan Jeno.
Jeno menunjuk lengannya, lebih tepatnya jaket navy yang dikenakannya. "Aku yang membantumu." Ia mengingatkan Renjun soal bantuannya tadi.
"Aku tak memintanya, salah sendiri membiarkan darahku menetes pada jaketmu." Jawab Renjun malas, sambil mengedikkan bahunya.
Rasa kesal Jeno bertambah. "Ck, yasudah sana pulang!" Bentak Jeno sambil mendorong tubuh Renjun agar mendekat pada Eric.
"Ini juga mau pulang." Renjun mendelik sebal pada Jeno.
"Kalau ia rewel di jalan, turunkan saja. Omega menyebalkan sepertinya—
"Terimakasih." Kata Renjun tiba-tiba, memotong ucapan Jeno. Ia benar-benar berterimakasih karena Jeno dan Eric sudah membantunya tadi.
Jeno dan Eric saling lirik, agak canggung dengan suasana yang tiba-tiba berubah. Sampai akhirnya Jeno bersuara. "Iya, sudah. Katanya kau mau pulang, Eric akan mengantarmu." Kata Jeno dengan nada bicara yang seolah kesal.