KALAU Xenna tidak salah mengingat, ini adalah kali perdana Janu meneleponnya sejak mereka bertukar kontak satu sama lain pada tiga tahun lalu. Oleh karenanya, gadis itu benar-benar langsung terdiam selama beberapa detik sembari memandangi layar ponselnya dengan takjub. Namun, Xenna segera sadar bahwa sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk bereaksi berlebihan. Lantas ia pun lekas menggeser ke atas ikon telepon berwarna hijau usai terlebih dahulu mengontrol diri.
Ponsel telah bertemu dengan telinga kanan Xenna, lalu ia berkata, "Halo, Mas ...." Sejenak Xenna memejam sebab vokalnya berakhir serak. Cairan yang mengalir dari hidung pun tidak bisa diajak bekerja sama. Janu pasti dapat dengan mudah menyadari bahwa Xenna tengah menangis saat ini.
"Ada apa?" Janu bertanya tanpa basa-basi. Datar, tanpa emosi. Xenna pun menyadari perbedaan suara laki-laki itu yang menjadi terdengar lebih berat. Tapi lagi-lagi sang gadis mengabaikannya dengan cepat.
Xenna menghirup napas dalam sejenak. "Laptop aku tiba-tiba nggak bisa nyala, Mas, sementara file-file penting untuk skripsi aku rata-rata di situ semua. Aku jadinya panik banget karena besok aku harus ketemu dosen pembimbing ...," jelas Xenna. Sambil menggigit telunjuk, gadis itu berharap-harap cemas Janu mau membantunya.
Namun, tanpa diduga Janu langsung menjatuhkannya saat itu juga ketika ia membalas, "Terus kenapa kamu malah hubungi saya? Sejak kapan saya beralih profesi jadi ahli servis?"
Hati Xenna seolah tertohok. Itu sama sekali bukan jawaban yang ingin ia dengar. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali naik ke permukaan. Xenna pun tak bisa menahan isakannya, tetapi ia sudah tidak peduli lagi. "Aku juga nggak bakal ngehubungi Mas Janu kalau bukan disuruh Bang Vandi, karena katanya Mas Janu ngerti soal laptop," ujarnya sedikit ketus. "Kalau nggak mau bantu ya udah, langsung aja ngomong nggak mau."
Janu di seberang sana lekas terdiam.
Karena tidak kunjung bersuara, Xenna berniat untuk langsung memutus sambungan lantaran kesal bukan main. Namun, pada saat itu rungunya menangkap helaan napas Janu.
"Saya ke situ sekarang."
Xenna mengerjap, membiarkan cairan bening luruh di wajahnya begitu saja. Apakah mungkin laki-laki itu luluh sebab Xenna telah menyebut nama Vandi? "Mas Janu mau bantu?" tanya sang gadis, memastikan.
"Nggak usah banyak tanya kalau nggak mau saya berubah pikiran."
"Tapi, Mas, harusnya aku yang ke rumah Mas Janu karena aku yang butuh."
"Mau saya bantu atau nggak?" Janu mulai terdengar jengkel.
Segera saja Xenna merapatkan bibir. "Iya, mau."
"Ya sudah, tunggu," sahut Janu, tegas. Lalu, "Dan nggak perlu pakai nangis segala."
Xenna mendengkus pelan. Bibirnya mengerucut. "Aku panik banget, Mas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories in the Making [END]
Romance[Reading List @RomansaIndonesia - SPOTLIGHT ROMANCE OF NOVEMBER 2023] Menjadi lebih dekat dengan seorang Adhyaksa Januar merupakan suatu hal yang tak pernah berani Xenna Adhika bayangkan, apalagi menjalin yang namanya sebuah hubungan romantis. Namun...