BEBERAPA menit berlalu setelah kepergian Janu, penerangan di rumah itu akhirnya kembali menyala seperti sedia kala. Entah apa yang sudah Janu lakukan, tetapi Xenna berasumsi bahwa matinya arus listrik yang barusan terjadi nyatanya hanya karena korsleting saja. Xenna pun pada akhirnya dapat sedikit bernapas dengan lega sebab gelap yang telah lenyap. Namun, gadis itu tak kuasa berdiri meninggalkan tempatnya sekarang--sofa panjang yang terdapat di ruangan Janu. Spanram yang tergeletak di lantai membuatnya sadar bahwa masalah ini belum tuntas sepenuhnya.
Xenna duduk sambil menunggu dengan tidak tenang. Kedua tangannya sibuk memainkan satu sama lain sembari menggigit bibir bagian dalam. Sedetik pun Xenna tak berani untuk mengangkat kepalanya. Akan tetapi, ketika rungunya menangkap suara langkah yang mendekat, secara refleks ia langsung mendongak dengan napas yang tertahan.
Janu akhirnya tiba di ruangan. Tatapannya masih datar, tetapi setidaknya tidak lagi menusuk seperti tadi. Tangan kanannya kedapatan menenteng sesuatu: sebuah kotak P3K. Mulanya, Xenna benar-benar tidak mengerti mengapa Janu membawa barang tersebut. Xenna baru mengetahui jawabannya ketika ia lihat Janu yang melangkah menghampirinya, lalu tahu-tahu saja berlutut di hadapannya. Sepasang mata Xenna sontak melebar. Namun, di saat itulah Xenna baru menyadari bahwa kaki kirinya terluka, agak membiru dengan goresan yang mengeluarkan darah.
Xenna meringis sendiri melihatnya. Sekonyong-konyong Xenna mulai menyadari rasa sakitnya sebab baru sekarang ia bisa berfokus kepada dirinya sendiri.
Kemudian, Xenna malah mendapati Janu yang mulai membuka kotak P3K, mengambil kapas khusus serta cairan antiseptik. Xenna sungguh tidak mau terlalu percaya diri, tetapi nyatanya hanya ia satu-satunya yang terluka di sini. Jadi, ia tak mungkin salah mengira, bukan? Maka, cepat-cepat pada Janu ia berkata, "Mas, a-aku bisa obatin sendiri ...."
Janu geming, lalu ia mengangkat kepala dengan pandangan yang terarah lurus pada Xenna. Tidak ada balasan. Cukup sorot tajamnya yang berbicara, dan seketika Xenna merapatkan bibir saat itu juga. Situasi saat ini betul-betul membuat Xenna hanya bisa patuh pada lelaki itu tanpa bantahan sedikit pun.
Xenna kemudian mendadak membeku di tempat kala Janu menyentuh kakinya, mengangkatnya dengan gerakan lembut, lantas ia usapkan kapas yang sudah dituangkan cairan antiseptik pada bagian yang terluka. Janu tampak begitu telaten, seolah-olah ia sudah sering mengobati luka. Xenna menggigit bibir menahan ringisan, tetapi pandangannya tak bisa lepas dari Janu--kendati yang dapat ia lihat hanyalah rambut hitamnya. Xenna tidak menyangka Janu mau melakukan hal seperti ini hanya untuknya.
Di tengah-tengah kesibukan dalam batinnya sendiri, Xenna merasa jantungnya berdegup kencang ketika Janu tiba-tiba kembali mengangkat kepala hingga tatapan mereka bertubrukan.
"Sakit?" tanya Janu tanpa diduga.
Xenna mengerjap, lalu ia buru-buru menggeleng tanpa bersuara.
"Kenapa masih nangis?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories in the Making [END]
Romance[Reading List @RomansaIndonesia - SPOTLIGHT ROMANCE OF NOVEMBER 2023] Menjadi lebih dekat dengan seorang Adhyaksa Januar merupakan suatu hal yang tak pernah berani Xenna Adhika bayangkan, apalagi menjalin yang namanya sebuah hubungan romantis. Namun...