❀ 30 - Perihal Pembuktian Perasaan Janu

1.4K 168 64
                                    

SERAYA tengkurap di atas tempat tidur dengan selimut yang menutupi tubuh sampai puncak kepala, Xenna mulai menempelkan layar ponsel di telinga kanan setelah menimbang-nimbang apakah ia harus menghubungi Vandi atau tidak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SERAYA tengkurap di atas tempat tidur dengan selimut yang menutupi tubuh sampai puncak kepala, Xenna mulai menempelkan layar ponsel di telinga kanan setelah menimbang-nimbang apakah ia harus menghubungi Vandi atau tidak. Isi kepala yang berkecamuk membuat Xenna rasanya tak sanggup jika ia harus menunggu hingga esok datang hanya untuk mencari jawaban yang ia butuhkan. Gadis itu pun tak yakin akankah ia mampu tidur nyenyak malam ini setelah mendengar kata-kata tak terduga yang terlontar dari seseorang yang tidak disangka-sangka.

"Xen, kamu belum tidur? Kok nelepon Abang jam segini?" Vandi tak mau repot berbasa-basi lantaran keheranan yang melanda. Pasalnya, Xenna bahkan jarang menghubunginya akhir-akhir ini, tetapi kali ia malah tiba-tiba melakukan hal tersebut ketika waktu nyaris menyentuh tengah malam. Terlebih lagi sebelumnya Vandi baru menghubungi Xenna melalui panggilan video.

"Xenna belum ngantuk ...." Xenna menggigit ibu jarinya sejenak. "Xenna ganggu Abang, nggak?" tanyanya, ingin memastikan terlebih dahulu.

"Nggak kok, Xen. Abang cuma lagi nonton TV aja ini," Vandi menjawab sekenanya. "Ada apa, hm?"

Tergeming, Xenna memikirkan sejenak bagaimana ia harus memulai pembahasan yang menjadi alasannya menelepon Vandi sekarang. "Bang, Mas Janu ...." Xenna menghela napas berat. "Mas Janu udah ngomong apa sama Abang?"

Balasan dari seberang sana tidak segera datang. Agaknya Vandi pun tak menyangka Xenna akan bertanya demikian. "Janu?" Vandi pada akhirnya menyahut. Namun, sama sekali tak ada bingung yang terdengar dari intonasinya. Menjadi bukti bahwa Janu memang telah berbicara sesuatu pada Vandi tanpa sepengetahuan Xenna, entah kapan tepatnya. "Memangnya tadi Janu ngomong apa sama kamu, Xen?"

"Abang, ih, jawab Xenna dulu," desak Xenna sebab rasa penasaran yang sudah mengerubungi dirinya.

Vandi mengembuskan napas pasrah, lantas ia pun membalas, "Sekitar dua hari lalu, Janu ada ngechat Abang, Xen. Dia minta izin sama Abang ... buat deketin kamu. Abang bener-bener kaget saat itu, makanya Abang langsung telepon dia buat bahas lebih lanjut." Ada jeda sesaat. "Tapi kamu nggak perlu tahu lebih lengkapnya kayak gimana. Intinya, Abang bisa lihat kalau dia memang punya niat baik dan beneran serius sama kamu, Xen. Karena kalau nggak, dia nggak mungkin mau repot-repot minta izin dulu sama Abang, 'kan?"

Sontak Xenna tertegun selama beberapa saat. Ia sungguh tak menyangka Janu sampai melakukan tersebut hanya untuk dirinya. Namun, satu hal yang masih membuat Xenna tak percaya tentunya adalah perihal perasaannya yang ternyata betul-betul terbalaskan. "Bang ...," Xenna menyugar rambutnya ke belakang dengan gerakan perlahan, "Abang nggak boong sama Xenna, 'kan?"

"Nggak, Xen. Ngapain juga Abang bohong sama kamu?"

"T-tapi Xenna masih nggak percaya, Bang ...."

Tawa ringan Vandi kemudian mengudara. "Jangankan kamu, Xen. Abang juga masih nggak percaya kalau Janu, tetangga sekaligus teman main Abang dulu, ternyata menyimpan perasaan lebih untuk adek Abang sendiri." Vandi menghela napasnya sejenak. "Tapi, Xen, kamu sendiri gimana? Apa kamu juga punya perasaan yang sama untuk Janu?"

Memories in the Making [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang