❀ 41 - Hadiah yang (Tak) Xenna Inginkan

949 102 26
                                    

SETELAH mengurus seluruh berkas yang diperlukan untuk pendaftaran sidang gelombang pertama, akhirnya hari pelaksanaan yang--sejatinya tidak begitu--dinantikan tiba di depan mata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SETELAH mengurus seluruh berkas yang diperlukan untuk pendaftaran sidang gelombang pertama, akhirnya hari pelaksanaan yang--sejatinya tidak begitu--dinantikan tiba di depan mata. Xenna Adhika, dengan kemeja putih berlengan panjang serta rok span hitam selutut yang telah membungkus sempurna tubuh rampingnya, mematut penampilannya di depan cermin di saat dirinya diselimuti oleh ketegangan yang tak pernah henti menyerangnya sejak semalam.

Jika harus jujur, simulasi sederhana yang sudah dilakukan Xenna bersama Janu--yang seperti biasa, selalu saja siap sedia saat dibutuhkan--sama sekali tidak membantu. Harus Xenna akui pula, Janu dalam mode dosen pembimbing nyatanya amat jauh lebih baik ketimbang dirinya yang berpura-pura menjadi seorang dosen penguji. Terlampau mendalami peran, lelaki berkacamata itu bahkan sampai melontarkan banyak komentar serta pertanyaan sulit hingga Xenna merasa seakan ia tak paham dengan isi skripsinya sendiri.

Dan, yang lebih menyebalkan lagi, Janu sama sekali tak merasa bersalah atas tindakannya yang sukses menjauhkan perasaan tenang dalam diri Xenna. Tampaknya Xenna pun takkan heran andai kata Janu memang sengaja ingin sekaligus menguji mentalnya, tak peduli bahwa gadis itu adalah kekasihnya.

Sembari menyisir rambutnya, Xenna meloloskan dengkusan kasar. Dalam hati berharap Janu akan sadar ia merasa begitu kesal selepas dirinya tak membalas pesan yang lelaki itu kirimkan semalam.

"Xen, kamu masih siap-siap? Papa udah mau berangkat ini."

Bunyi ketukan pintu yang disusul oleh suara Papa sekonyong-konyong tertangkap oleh rungu Xenna. Seketika pikirannya terpecah. Cepat-cepat Xenna pun menyelesaikan kegiatannya seraya menyahut, "Iya bentar, Pa. Xenna udah beres, kok." Lantas gadis itu lekas saja beranjak meninggalkan kamar dengan kedua tangan yang sibuk mengumpulkan rambut untuk diikat satu.

Papa tengah mengenakan sepatunya kala Xenna tiba di ruang tamu. Presensinya pun kontan menarik atensi pria itu. Satu pertanyaan kemudian terlontar dari mulutnya, "Kamu apa nggak mau sekalian berangkat bareng Papa aja, Xen?"

Kendati pembahasan tersebut sudah dilakukan sejak semalam, Xenna tetap memberi jawaban serupa, "Terlalu pagi kalau Xenna berangkat sekarang, Pa." Jeda sesaat. "Lagian nggak searah juga, nanti jadinya kan Papa bolak-balik."

"Papa ya sama sekali nggak masalah, Xen. Masa iya cuma gara-gara itu Papa jadi nggak mau nganterin kamu?"

"Udah nggak papa, Pa, Xenna berangkat sendiri aja. Kebetulan ada yang harus Xenna urus dulu sedikit. Mungkin Xenna perginya sekitar satu jam lagi."

Xenna yang tetap bersikeras menolak membuat Papa pada akhirnya menyerah. Pria yang sudah berpakaian rapi itu lantas bingkas dari kursi dan merangkul Xenna, membawanya sampai ke halaman depan. Mobil sudah dipanaskan, sementara pagar telah terbuka lebar. Namun, Papa terlebih dahulu menaruh perhatian penuh pada sang anak gadis yang akan memperjuangkan kelulusannya tepat di hari ini.

Sebuah kecupan singkat mendarat di puncak kepala Xenna. Dan selepasnya, dengan tatapan yang menyorot hangat Papa pun berujar, "Jangan lupa nanti berdoa dulu, Xen. Jangan gugup, jangan tegang, karena semua itu cuma akan menghambat kamu nantinya. Kamu cukup percaya aja sama diri kamu sendiri. Anak Papa yang cantik ini kan paling hebat, jadi udah pasti bisa ngelewatin semuanya. Dan, maaf ya, Sayang, selama ini Papa terlalu sibuk sampai-sampai nggak bisa sering nemenin kamu berproses ...." Seiring dengan tiap-tiap kalimat yang terucap, sepasang netra Papa tampak berkaca-kaca sampai ia perlu mengerjap beberapa kali di akhir.

Memories in the Making [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang