❀ 48 - Tibalah Janu di Penghujung Badai

857 102 52
                                    

SETELAH enam tahun lamanya, Xenna tidak pernah menyangka hari seperti ini akhirnya tiba

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SETELAH enam tahun lamanya, Xenna tidak pernah menyangka hari seperti ini akhirnya tiba. Hari di mana ia akan mendengar suara yang begitu dirindukan, tak peduli apa yang dilakukannya akan sukses menghadirkan memori-memori terdahulu yang masih tersimpan baik dalam ingatan, tidak peduli seluruh kenangan baik yang ada tak mungkin luput dari banyaknya pedih yang terbentuk akibat putusnya sebuah ikatan pernikahan. Sebab jauh di lubuk hatinya yang terdalam, Xenna betul-betul menunggu hari ini datang.

Xenna memegang ponsel di tangannya begitu erat. Lama sekali sepasang netranya memandangi nama kontak dengan deretan nomor yang tak pernah ia ketahui selama ini. Sedikit ragu yang datang mengundang gigitan di bibir, tetapi keinginan besar yang sudah nyaris terkubur tetap berhasil mengalahkan segalanya.

Tangan Xenna sedikit gemetar saat hendak menggeser ikon berwarna hijau, dan dengan cepat jantungnya berdetak liar kala ia berhasil melakukannya. Satu tangan Xenna yang bebas kontan meremas piama pasien yang ia kenakan, seiring dengan ponsel yang diangkat dan menempel persis di telinga kanannya. Waktu seolah berjalan lambat sekali kala hanya ada bunyi konstan yang dapat gadis itu tangkap.

Kemudian, telepon tersambung. Membuat Xenna seketika mengangkat kedua alis dengan kedua ujung bibirnya yang tertarik secara otomatis.

"Halo, Vandi?"

Sontak, Xenna tertegun. Suara ini ... masih sama persis seperti yang terakhir kali didengarnya. Suara halus penuh kehangatan yang sudah menemaninya sejak lahir sampai ia menginjak usia remaja.

"Akhirnya kamu menghubungi Mama juga, Vandi. Mama udah nungguin dari kemarin-kemarin."

Kini, Xenna siap untuk membuka suara. Sebab memang itulah tujuan utamanya.

"Gimana, Van? Kamu udah ada uang dua puluh jutanya?"

Dan, secepat kilat harapannya pun dijatuhkan.

Memang, Mama belum tahu kalau saat ini Xenna yang tengah menguasai ponsel milik Vandi. Namun, Xenna betul-betul tidak menyangka kalimat seperti itu akan terlontar dari mulut Mama, tanpa bertanya kabar pada sang anak laki-laki, tanpa perlu banyak berbasa-basi. Xenna tak bisa membayangkan berapa lama Vandi dan Wira harus menghadapi situasi seperti ini, menghadapi seorang ibu yang mungkin sudah tak lagi mencerminkan sikap seorang ibu.

Xenna mengembuskan napas dengan berat. Karena sudah bertekad untuk tak hanya duduk diam, sembari menahan keras luapan perasaannya pun ia membalas datar, "Dua puluh juta untuk apa, Ma?" Panggilan itu rasanya sulit sekali terucap. Sebab ia terlanjur mengharapkan situasi yang lebih baik dari ini.

"... Xenna?" Secepat kilat Mama menyadari siapa pemilik suara perempuan yang tertangkap oleh rungunya. Ada keterkejutan nyata di sana, terucap pelan nyaris berbisik. "Ini Xenna anak Mama?"

"'Anak Mama'?" Senyum pahit lekas tersungging di bibir Xenna. Kendati sulit, Xenna tetap beranikan diri untuk melanjutkan, "Bukannnya Mama udah lupa kalau Mama masih punya anak perempuan?"

Memories in the Making [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang