TEPAT di salah satu sudut lantai dua, terdapat sebuah kamar kosong cukup luas yang telah diubah secara permanen menjadi ruang pribadi milik Janu pada delapan tahun yang lalu. Merupakan sebuah studio lukis merangkap tempat ternyaman bagi Janu untuk menyendiri kala ia benar-benar sedang tak ingin diganggu. Sejak dulu, satu aturan penting yang Janu tetapkan masih belum berubah; siapa pun tak ada yang boleh sembarangan masuk ke sana tanpa seizinnya, bahkan keluarganya sendiri, kendati mereka bernaung dalam satu atap yang sama.
Memang tidak ada hal luar biasa di dalam sana. Hanya sebuah ruangan berukuran 4x4 dengan nuansa monokrom yang sebagian besarnya dipenuhi oleh kanvas berisi hasil lukisan Janu, dan sisanya adalah meja kerja, kursi, lemari, sofa panjang, serta berbagai peralatan lukis lainnya. Kanvas-kanvas tersebut terdiri dari karya-karya Janu semasa kuliah, karya yang belum laku terjual, pun karya yang memang murni diciptakan untuk koleksi pribadinya. Jumlahnya sudah tidak terhitung lagi, bahkan Janu tak begitu mengingat apa-apa saja yang pernah dilukisnya.
Dulu ketika Janu tak memiliki kegiatan apa pun, ia akan betah sekali menghabiskan sebagian besar waktunya di ruang tersebut seolah tak peduli dengan apa yang terjadi di dunia luar. Namun, entah sejak kapan tepatnya, sekadar menginjakkan kakinya di sana pun rasanya Janu mulai enggan. Melukis Janu lakukan hanya untuk kepentingan bisnis, lantas akan ia biarkan tempat itu gelap dan kosong selama berbulan-bulan sampai urgensi kembali menghampiri.
Terkadang, Janu tidak mengerti mengapa ia harus sampai meninggalkan dunianya hanya karena seorang perempuan. Namun, nyatanya ia memang perlu melakukan hal tersebut demi membantunya dalam proses penerimaan kenyataan, bahwa sampai kapan pun dirinya takkan bisa memiliki perempuan yang ia cintai.
Hingga pada akhirnya, Janu tersadar ia tidak akan mungkin selamanya meninggalkan dunia lukis. Masa-masa terburuk itu sudah lama terlewati sehingga tidak ada lagi yang mampu menghalangi Janu untuk melakukan apa pun yang ia inginkan.
Hanya saja, Janu tidak menduga satu-satunya hal yang berhasil membawanya kembali pada ruangan itu--tanpa kepentingan berarti--adalah sebuah gambar kucing hitam sederhana dan keinginan kecil seorang Xenna Adhika.
Malam itu, usai Janu memindahkan Xenna ke kamar tidur April, kaki-kakinya mendadak tergerak secara otomatis menuju ruang pribadinya yang sudah lama sekali tak pernah ia kunjungi. Sambil duduk di kursi yang menghadap meja kerja, Janu hanya geming memegangi kertas berisi hasil gambar Xenna bersamaan dengan kata-kata gadis itu yang terus terputar di kepala. Semuanya membuat Janu mendadak teringat akan suatu hal yang sempat terlupakan, yang membuat ia segera membuka laci paling bawah dan mencari sesuatu di sana.
Tangan Janu kemudian berhasil merabanya, dan tanpa menunggu lagi, segera saja ia tarik hingga wujudnya terlihat dengan sempurna.
Sebuah permen lolipop rasa buah-buahan, yang usianya sudah bertahun-tahun dan jelas saja tak dapat dikonsumsi lagi.
Sebuah permen lolipop pemberian Xenna, yang kala itu masihlah seorang bocah SMA.
Janu masih ingat betul saat itu, saat pikirannya begitu kacau karena Amanda dan berbagai masalah perkuliahannya, ia lampiaskan segalanya melalui rokok. Satu batang, dua batang, hingga batang yang ketiga, Janu terpaksa berhenti karena kedatangan gadis berseragam putih abu-abu dengan senyum cerah di wajahnya. Namun, keberadaan Janu di teras agaknya membuat si gadis, Xenna, kaget bukan main dengan raut panik yang terpampang nyata di wajah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories in the Making [END]
Romance[Reading List @RomansaIndonesia - SPOTLIGHT ROMANCE OF NOVEMBER 2023] Menjadi lebih dekat dengan seorang Adhyaksa Januar merupakan suatu hal yang tak pernah berani Xenna Adhika bayangkan, apalagi menjalin yang namanya sebuah hubungan romantis. Namun...