SEMBARI membawa nampan dengan dua cangkir teh di atasnya, Xenna mengambil langkah santai untuk menghampiri Papa yang tengah berbincang-bincang santai dengan Janu di beranda rumahnya. Namun, ketika hampir mencapai pintu utama, kaki-kakinya malah kian bergerak lambat akibat jantung yang mendadak berdetak tak keruan. Keraguannya pun turut naik ke permukaan; apakah ia benar-benar sanggup kembali menampakkan diri di hadapan Janu setelah apa yang sebelumnya terjadi di rumah lelaki itu?
Sungguh, kalau bukan karena perintah Papa, Xenna ingin sekali mendekam di kamarnya saja sekarang juga.
Cukup antar tehnya, Xenna, habis itu lo langsung masuk dan biarin Papa sama Mas Janu ngobrol berdua. Begitulah yang Xenna rencanakan dalam benak, sembari ia berusaha meyakinkan diri bahwa hal tersebut merupakan perkara mudah. Lantas, selepas dihirupnya napas dalam-dalam, Xenna kembali melanjutkan langkah yang sempat terhenti hingga akhirnya ia sampai di teras rumahnya.
Presensi Xenna dengan cepat menarik atensi Papa dan Janu secara bersamaan. Namun, Xenna hanya mampu memfokuskan kedua netranya pada nampan kendati tahu kedua laki-laki berbeda usia itu tengah memusatkan pandangan kepadanya. "Ini tehnya, Pa," Xenna berucap pelan seraya merendahkan tubuh sampai kedua lututnya menyentuh lantai. Kemudian ditaruhnya masing-masing cangkir teh di hadapan mereka. Di saat itu, Xenna seharusnya bangkit dan pamit untuk kembali ke dalam. Namun, oleh karena takut dianggap tak sopan, Xenna pun memberanikan diri untuk mengalihkan tatap pada Janu meski singkat saja, bersamaan dengan lolosnya dua kata, "Diminum, Mas."
Ketika Xenna berdiri rungunya menangkap vokal berat Janu yang membalas, "Ya, makasih." Gadis itu pun turut melihat bagaimana ujung-ujung bibir Janu tertarik membentuk senyuman tipis. Membuat jantungnya lagi-lagi berulah hingga ia mengeratkan dekapannya pada nampan.
Kaki-kaki Xenna sudah siap untuk melangkah pergi. Namun, tanpa disangka ucapan yang terlontar dari mulut Papa buru-buru mencegahnya.
"Xen, sini dulu kamu." Papa menarik pelan tangan Xenna hingga anak gadisnya itu duduk tepat di sampingnya, dan Xenna tak bisa melakukan apa pun selain menurut--kendati hal tersebut tentu menggagalkan rencana awalnya. Pandangan Papa tertuju lekat pada Xenna, kecemasan pun tampak sekilas dalam sorotnya. "Janu udah kasih tahu Papa apa yang terjadi di rumahnya tadi pas kamu di sana. Kamu nggak papa 'kan, Sayang?" tanya Papa seraya mengelus lembut belakang kepala Xenna.
Yang ditanya lantas mengangguk pelan, lalu menyahut, "Nggak papa, Pa. Xenna cuma kaget dan takut aja pas mereka berusaha buat bobol pintunya." Senyum kecil turut Xenna pamerkan guna meyakinkan Papa bahwa dirinya baik-baik saja.
"Ya sama aja itu artinya kamu kenapa-napa, Xen." Papa mengembuskan napas berat, lalu melanjutkan, "Kalau kamu beneran nggak papa ya nggak akan sampe nangis, dong." Telunjuk Papa kemudian terarah pada sepasang netra putrinya. "Tuh, lihat, sampe hampir hilang mata kamu karena ketutupan bengkak begitu."
Sontak saja Xenna pun merengut sebal mendengarnya. Wajahnya pun tampak memerah. "Papa, ih!"
Papa melepas tawa geli tanpa peduli Xenna yang tengah menahan malu sebab Janu masih berada di sana bersama mereka. Bahkan kini tatapan Papa beralih pada lelaki itu. "Maaf ya, Janu, Xenna emang cengeng anaknya," ungkap Papa dengan begitu santainya. Kemudian ia kembali mengarahkan kedua matanya pada Xenna. "Kamu apa nggak malu Xen, nangis-nangis di depan Janu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories in the Making [END]
Romansa[Reading List @RomansaIndonesia - SPOTLIGHT ROMANCE OF NOVEMBER 2023] Menjadi lebih dekat dengan seorang Adhyaksa Januar merupakan suatu hal yang tak pernah berani Xenna Adhika bayangkan, apalagi menjalin yang namanya sebuah hubungan romantis. Namun...