UNTUK kali ini, Xenna sungguh tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Dari sekian kata demi kata menyakitkan yang pernah ia terima, tak bisa dipungkiri bahwa apa yang terlontar dari mulut Mami mampu mengalahkan segalanya begitu mudah. Kendati disampaikan tanpa unsur keburukan yang terucap jelas, tetap saja hal tersebut merupakan sebuah penolakan nyata. Penolakan yang hadir sebab Mami merasa bahwa Xenna bukanlah seseorang yang tepat untuk mendampingi anak laki-lakinya.
Salah satu dari banyaknya ketakutan yang Xenna rasakan betul-betul terjadi sekarang. Ketakutan yang sudah jelas membuatnya enggan terbuka perihal hubungannya dengan Janu pada Mami. Namun, jika boleh jujur, sejatinya Xenna sempat memperoleh sedikit kepercayaan diri ketika mengingat kembali bagaimana besarnya kebaikan juga rasa sayang yang Mami berikan selama ini. Xenna pikir, mungkin hal tersebut akan jadi sesuatu yang dapat membantunya mengusir keraguan Mami terhadap dirinya.
Sayangnya, kini semua itu hanya berakhir menjadi sebuah angan-angan. Apa yang terjadi di depan mata secepat kilat menampar Xenna, menyadarkan ia bahwa semesta mustahil semudah itu berpihak kepadanya. Keyakinan dalam diri pun hancur lebur begitu saja, tinggal menyisakan harapan-harapan yang masih bersifat semu.
Nyatanya, Xenna perlu berusaha keras jika dirinya benar-benar menginginkan restu.
Nyatanya, memang bukan hanya Janu yang perlu berjuang dalam perjalanan hubungan mereka--yang bahkan belum lama dimulai.
Hanya saja ... segalanya masih terasa mengejutkan hingga Xenna tak mampu berpikir jernih sekarang. Apa yang harus ia lakukan saat kembali bertatap muka dengan Janu? Apa yang harus ia lakukan saat berpamitan pada Mami nanti?
Kepalanya begitu berisik, sampai-sampai Xenna tak mampu mendengar langkah kaki Janu yang tahu-tahu saja sudah tiba di lantai atas. Xenna baru tersadar ketika pintu sekonyong-konyong dibuka dari luar, sedikit mendorong tubuhnya yang tengah terduduk sambil bersandar. Karenanya, refleks gadis itu menahan pintu dengan jantung yang berdebar-debar. Tentu ia tak ingin Janu tahu bahwa dirinya tidak sengaja mendengar pembicaraannya dengan Mami. Buru-buru ia pun menghapus jejak-jejak air mata--yang telah mengalir tanpa bisa dicegah--di wajahnya.
Ketukan sebanyak dua kali kemudian terdengar, yang kemudian disusul oleh, "Xenna, kamu sedang apa? Buka pintunya." Sebuah titah yang tidak terdengar seperti perintah. Lelaki itu terdengar lelah, barangkali energinya cukup terkuras setelah apa yang terjadi sebelum ini.
Sejenak Xenna coba yakinkan dirinya, sebelum menyahut, "S-sebentar, Mas ...." Setelahnya Xenna bangkit dan membenahi penampilan secepat mungkin, berusaha melenyapkan kekacauan yang tersisa--meskipun tahu tak dapat ia lakukan dengan sempurna. Lantas ragu menyerang, tetapi tetap tak berhasil menghentikan tangan Xenna yang sudah berada di atas gagang pintu. Membukanya.
Kedua mata Xenna segera bertubrukan dengan milik Janu. Xenna dapat langsung menemukan berbagai emosi yang tertahan di dalamnya. Mulut Janu tetap terkunci rapat dengan pandangan yang terus tertuju lekat pada Xenna. Padahal, lelaki berkacamata itu bisa saja melemparkan tanya perihal pintu ruangannya yang mendadak ditutup saat ia kembali, atau terkait alasan mengapa Xenna melakukan hal tersebut. Namun, ia tetap diam, dan Xenna pun tak tahu harus berbuat apa selain turut bungkam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories in the Making [END]
Romance[Reading List @RomansaIndonesia - SPOTLIGHT ROMANCE OF NOVEMBER 2023] Menjadi lebih dekat dengan seorang Adhyaksa Januar merupakan suatu hal yang tak pernah berani Xenna Adhika bayangkan, apalagi menjalin yang namanya sebuah hubungan romantis. Namun...