"TEKNIK Aquarel lo hasilnya nggak begitu buruk seperti yang sering lo keluhkan," Janu berkomentar kala mengamati salah satu lukisan karya Amanda di hadapannya sambil bersedekap. Kedua matanya yang semula menyorot lurus kemudian bergerak ke samping, tepat pada sang artist yang berdiri persis di sebelahnya. "Ternyata lo serius, waktu lo bilang lo akan minta bimbingan Prof. El demi lukisan lo yang satu ini."
Amanda mendengkus, menoleh sekilas pada Janu sebelum kembali lagi memandangi hasil karyanya sendiri. "Kalau nggak gitu, pameran ini ya nggak bakal sempurna. Mana gue udah koar-koar dari lama kalau gue bakal ngadain pameran di mana gue bakal pakai teknik yang berbeda-beda buat tiap lukisan. Kalau gagal terlaksana, gue yang bakal malu sendiri dong, Nu." Sejenak Amanda mengembuskan napas panjang-panjang. Tiap sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum geli. "Sumpah, berasa balik lagi ke masa skripsian banget gue karena kebetulan dosbing gue juga Prof. El waktu itu. Dan masih sama kayak dulu, belio sibuknya minta ampuuun sampe susah banget buat bikin janji doang!"
Janu tersenyum tipis, lalu manggut-manggut. "Dari dulu kadar ambisi lo memang nggak pernah berkurang. Kata nyerah nggak mungkin ada dalam kamus hidup lo."
"Oh, ya jelas dong, Nu. Apa sih, yang gue nggak bisa?" sahut Amanda dengan percaya diri seraya menyikut pelan lengan Janu. Lalu kedua alisnya terangkat, saat ia mendadak teringat akan sesuatu. "Ah, tapi nyatanya gue pernah banget nyerah terhadap sesuatu kok, Nu."
"Oh ya?" balas Janu acuh tak acuh
"Iya. Sesuatu yang emang beneran nggak bisa gue gapai, walaupun udah nggak terhitung lagi berapa kali gue coba." Amanda lantas memutar tubuh, menghadap Janu dengan sempurna. Telunjuknya kemudian terangkat rendah, mengarah pada satu titik di balik kedua lengan Janu yang menyilang di depan perut. "Gue pernah nyerah buat nyuri itu dari lo."
Janu kontan saja menengok Sepasang netranya tertuju pada arah telunjuk Amanda. "Lo mau curi lambung gue?" tanya lelaki itu tanpa berpikir sama sekali.
Amanda yang mendengar hanya dapat memandang Janu lelah kendati ia menahan getir. Ia tahu, Janu sendiri pun tahu bahwa dirinya sendiri paham betul perkataan perempuan itu mengarah ke mana. Namun, sedari dulu Janu selalu berusaha menghindar, selalu saja begitu, sehingga Amanda betul-betul tak pernah punya kesempatan untuk mengutarakannya dengan benar, sampai akhirnya ia lelah dan memutuskan untuk menyerah.
"Boleh, sini deh gue curi. Gue butuh lambung yang masih sehat. Elo kan dari dulu nggak pernah tuh, yang namanya sakit-sakitan," balas Amanda yang dengan sengaja menjadikannya sebagai gurauan sebab ia memang tak punya pilihan lain. Berbicara soal hati dengan Janu memang takkan pernah berujung pada keseriusan.
Janu berdecih pelan, lalu ia menarik napas dan diloloskannya dengan pelan. "Gue lihat-lihat Prof. El nggak ada datang ke sini," ujar lelaki itu, mengalihkan pembicaraan seraya beranjak untuk melihat lukisan lain sementara Amanda terus mengekorinya.
"Sibuk belio, Nu," kata Amanda, "janjinya sih mau datang di hari ketiga makanya gue nggak nungguin dari tadi." Jeda sesaat. "Sekarang justru gue nungguin adek gue yang katanya mau datang hari ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories in the Making [END]
Romance[Reading List @RomansaIndonesia - SPOTLIGHT ROMANCE OF NOVEMBER 2023] Menjadi lebih dekat dengan seorang Adhyaksa Januar merupakan suatu hal yang tak pernah berani Xenna Adhika bayangkan, apalagi menjalin yang namanya sebuah hubungan romantis. Namun...