"Kapan kita akan bicarakan sama Luna tentang semua, Mas? Bagaimanapun, sulit rasanya untuk terus berpura-pura dengan dia"
Langkah Luna terhenti. ia mundur selangkah dan berdiri di belakang tangga, tempat ia bisa bersembunyi dari pandangan Papa dan Tante Ratna, namun masih bisa mendengarkan setiap percakapan dengan jelas. Jam dinding masih menunjukkan pukul 6.30, lebih cepat setengah jam dari waktu biasa Luna akan turun dari kamar untuk sarapan. Ini sudah hampir seminggu Tante Ratna selalu datang ke rumah untuk menyiapkan sarapan dan menghabiskan hampir setiap siang serta sore menjemput Luna kemudian mengajaknya jalan-jalan.
"Aku takut kalau dia nggak siap menerima semuanya, Ratna". Luna mendengar papanya berbicara, dengan suara sedih. "Memang nggak seharusnya kita merahasiakan semuanya seperti ini. Seandainya waktu bisa terulang..."
"Mas," suara Tante Ratna menyela. "Aku nggak punya waktu selamanya di sini. Sebentar lagi aku akan pulang ke Jakarta. Apa kamu nggak mau secepatnya memberitahukan Nadia bahwa papanya masih ada dan sangat merindukan dia?"
Jantung Luna berdetak lebih kencang daripada sebelumnya. la semakin mendekat, mencoba mendengarkan dengan lebih saksama keanehan obrolan papanya dengan Tante Ratna.
Ketika Papa tak menanggapi, Tante Ratna bicara lagi, suaranya kali ini bergetar hebat. "Aku juga ingin... Luna mengetahui bahwa aku bukan sekedar orang asing yang perlu diwaspadai, Mas. Aku ingin dia tahu kalau aku mamanya."
Luna terkesiap. la sepertinya mengejutkan kedua orang yang sedang berbicara serius itu karena keduanya sekarang memandang ke arahnya dengan pandangan penuh kesedihan dan ketakutan. Luna tak menyadari bahwa ia telah menampakkan diri ke depan orangtuanya.
"Luna?" Tante Ratna berbisik sedih, kedua matanya dipenuhi air mata.
"Aku mau tahu, apa sih maksud pembicaraan kalian berdua tanya Luna syok. Ia memandang Tante Ratna tajam tajam.
"Siapa Tante sebenarnya?"
"Lun..." Papa memulai. "Papa tahu ini mengejutkan... Papa minta maaf karena selama ini tidak pernah membicarakan apa- apa sama kamu."
"PAPA BUKANNYA NGGAK BICARA" teriak Luna. "Papa udah bohong sama aku! Papa bilang Mama udah meninggal... tapi kenyataannya?! Dan Tante... kalau emang beneran mama aku, kenapa baru datang sekarang? Kenapa?! Apa Tante sebegitu Tante nggak kepinginnya punya anak kayak aku sampai selama tujuh belas tahun hidupku nggak pernah sekali nengokin?"
Tante Ratna kelihatan terpukul dengan tuduhan Luna hingga tak sanggup lagi berdiri tegak dan terhuyung bersandar pada meja dapur.
"LUNA!" Papanya memperingatkan. Tapi Luna sudah tidak peduli, ia berlari ke kamar dan menutup pintu, tak lupa menggeser meja belajarnya yang berat di belakang pintu agar papanya tak bisa membuka pintu kamarnya dengan kunci cadangan.
Dugaan Luna benar, ketika ketukan papanya yang tanpa henti tak mendapat balasan, Papa mulai membuka pintu Luna dengan kunci cadangan walaupun usahanya sia-sia.
"Kalau sekarang kamu mau menenangkan diri dulu, Papa biarkan. Tapi kita harus segera bicarakan semuanya Luna. Nanti malam. Papa tunggu sampai nanti malam." Ucapan papanya menutup usaha membuka paksa kunci kamarnya, membuat Luna semakin menenggelamkan diri ke kasur.
***
Usaha menyedihkan dari merajuk tak ingin keluar kamar selalu terusik oleh satu hal dasar kelaparan. Luna cemberut sendiri. la memang punya dispenser di kamar, namun perutnya yang tak diisi dari kemarin malam meronta-ronta, tak cukup dengan sereal instan yang cuma sebungkus. Ketika jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, Luna menyerah. Lagi pula, ia ingin mendengar penjelasan papanya mengenai semua yang telah Papa sembunyikan seumur hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAIRLY ✓[REVISI]
Short StoryNadia yang ceroboh dan pemalas tinggal di Jakarta hanya bersama mamanya. Nadia mematung mendapati seraut wajah serupa dengannya di ruang tamu. Apakah Nadia akan terima jika selama ini mempunyai saudara perempuan yaitu bernama Luna yang rajin dan pin...