Bab 15

199 14 2
                                    

Besok paginya, Nadia dan Luna benar-benar bertukar tempat. Supaya Papa dan Mama nggak curiga, mereka kompakan pakai kacamata hitam dan topi. Topi berfungsi untuk menyamarkan rambut Luna dan Nadia yang panjangnya berbeda. Sedangkan kacamata untuk menutupi mata mereka supaya bohongnya tidak ketahuan. Soalnya kan kata orang, mata adalah jendela hati yang bisa memancarkan apa saja perasaan yang orang rasakan. Kalau jendela hati yang berisi kebohongan itu tidak ditutup, bisa gawat dong!

Untuk masalah seragam, seragam Luna dan Nadia memang berbeda. Nadia bersekolah di SMA Negeri dengan standar baju putih abu-abu. Sedangkan sekolah Luna yang swasta, menggunakan atasan krem dan rok cokelat kotak-kotak. Itu suatu keberuntungan karena sangat membantu "menukar" identitas mereka.

"Kok, tumben kalian pakai topi sama kacamata begitu?" tanya Papa heran ketika sarapan melihat penampilan kedua anaknya berubah total. Apalagi saat makan pun, kacamata Luna dan Nadia tidak dicopot.

"Luna lagi sakit mata, Pa. Jadi pakai atribut begini biar nggak ada yang ketularan," jawab Nadia yang kini sedang berakting menjadi Luna.

"Bener tuh, Pa. Nadia kan takut ketularan Luna. Makanya ikut-ikutan pakai kacamata," tambah Luna yang sedang berakting jadi Nadia. la mencoba untuk menyelaraskan diri dengan kebohongan yang dikarang adik yang hanya lebih muda sembilan menit darinya itu.

"Oh." Papa tak bisa berkata apa-apa lagi meski sebenarnya masih tak mengerti apa hubungan topi dengan sakit mata. Membuat Nadia dan Luna langsung menghela napas dalam-da-lam. Masalah dengan orang di rumah sudah selesai.

Setelah selesai sarapan, Papa langsung mengajak kedua anaknya ke mobil untuk mengantarkan mereka ke sekolah. Tak lama kemudian, mobil Papa berhenti tepat di depan sekolah Nadia. Luna turun dengan lutut gemetar. Walau ini rencananya, ternyata berakting menjadi orang lain itu sama sekali tidak semudah seperti apa yang dibayangkan.

"Berangkat, Pa," pamit Luna sambil melambaikan tangan pada Nadia dan Papa.

Setelah mobil Papa yang mengangkut Nadia hilang dari pandangan mata, Luna langsung melangkah masuk ke area sekolah yang asing. Untung kemarin Nadia sudah menjelaskan denah sekolah, nama guru-guru beserta pelajaran yang diajar, aturan- aturan kecil sekolah, serta nama-nama teman sekelas yang dekat dengan Nadia. Jadi walau agak bingung, Luna sudah beberapa pegangan.

Setelah berjalan pelan-pelan sambil mempelajari area sekolah, Luna akhirnya sampai di pintu kelas yang di atas pintunya terdapat plang berwarna biru dengan tulisan putih, 3 IPA 2 Kelas Nadia.

Dengan yakin ia melangkah masuk. Luna berhenti pada bangku nomor tiga dari depan dan nomor dua dari dinding sebelah kanan. Bangku Nadia, seperti yang dijelaskan dalam denah kelas yang sudah Nadia buat.

Bangku sebelah bangku Nadia tidak kosong. Di sana sudah ada cewek berkacamata namun sangat manis yang sedang sibuk mengerjakan PR bahasa Indonesia. Ini pasti teman terbaik sekaligus teman sebangku yang Nadia ceritakan kemarin. Anaknya baik, agak telmi, dan suka nyontek PR kecuali matematika karena cewek ini suka dan bisa banget matematika. "Namanya... aduh! Siapa ya? Gawat!" Luna langsung kelabakan begitu sadar ia lupa nama teman sebangku Nadia ini.

"Bodoh Lun, bodoh! Namanya perasaan pasaran deh!" Luna memarahi dirinya sendiri dalam hati.

"Nad, kok lo nggak duduk, sih?" tanya teman sebangku Nadia itu sambil mengerucutkan bibirnya. Bingung dan heran melihat Nadia tidak duduk dan malah berdiri memandanginya.

"Hai... ch... Asruni Dewi Cinta?" Luna tanpa sadar membaca pulisan yang tercetak di sampul buku catatan yang tergeletak di meja. Runi! Ya, Luna sekarang sudah ingat kalau nama teman sebangku Nadia itu Runi. Cuma sebelumnya Nadia beritahu nama lengkap Runi. memang tidak memberitahu

FAIRLY ✓[REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang