Bab 14

220 11 2
                                    

Dugaan Luna tak meleset. Esok harinya ketika bel pulang dibunyikan dan Luna melangkah dengan was-was menuju pagar, lagi-lagi ia mendapati Ethan. Cowok itu berada di area sekitar sekolah, di sebelah penjual es kelapa pinggir jalan, tidak mencolok seperti kemarin ketika berdiri tepat di depan pagar.

Karena sudah waspada sejak berangkat sekolah, Luna mulai dapat membaca rencana Ethan. Bahkan ketika matanya teliti mencari, ia jadi tahu kalau mobil cowok itu diparkir tersembunyi di samping warung kaki lima, tepat di seberang jalan.

Selama seminggu ini, Luna terus mati-matian menghindar. Akibatnya selama jam sekolah ia sama sekali tidak tenang. Konsentrasinya pecah dan ia juga terus-terusan mudah merasa panik. Untungnya Luna anak baru, jadi kebanyakan hanya teman sekelas saja yang mengenalnya. Ia pun sudah memohon ke teman-temannya untuk tidak memberitahu info apa pun tentang dirinya jika ada orang asing bertanya. Karenanya, penantian Ethan seminggu ini bisa dibilang sia sia.

Langit malam adalah teman dekat Luna. Cewek itu selalu merasa tenang ketika melihat langit luas dan memandang bintang. Walau akibat polusi udara, bintang-bintang semakin sulit terlihat.

Luna selalu melihat langit ketika hatinya sedang gundah, marah, atau pusing. Baginya, kegelapan malam bagaikan dewa. Ketika rasa gundah, marah, dan pusing yang begitu menyiksa menjadi satu, maka saat melihat langit dengan kegelapan malamnya, Luna akan merasakan kalau tuhan itu sedang menolong nya. Menghibur dan memberikannya solusi.

Luna menghela napas. Ia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat memulihkan diri dari perlakuan Ethan sebelumnya. Sekarang, Ethan muncul lagi! Menyia-nyiakan segala upaya Luna untuk melupakan Ethan yang sangat ia benci.

Sebenarnya, Luna sudah punya rencana untuk menghindari cowok itu. Setidaknya, untuk sementara waktu.

Rencana itu harus dicoba demi kebaikan dirinya, mungkin juga untuk orang yang terlibat dalam rencananya. Luna menghampiri meja belajar, lalu membuka laci dan mengambil benda mungil dari sana.

Setelah itu, dipandanginya lekat-lekat benda kini ada yang di telapak tangan. Tanpa sadar, gadis itu tersenyum. la tak menyangka, benda sepele yang terselip ini punya kemungkinan cukup besar untuk membuat rencananya berhasil.

***

Tok tok tok...

Luna mengetuk pintu kamar Nadia. Tak lama kemudian, pintu pun terbuka. Nadia dengan rambut belum kering sempurnanya kelihatan sedikit terkejut melihat Luna di depan pintu.

"Kenapa, Lun? Eh, masuk dulu deh," Nadia mempersilakan Luna masuk. "Ada apa?" tanya Nadia lagi setelah Luna duduk di sofa mini. Nadia mengambil posisi di kursi meja belajar.

Luna tersenyum kikuk. Ia bingung akan cara mengutarakan maksudnya, karena ini misi yang cukup berbahaya. Walau terlihat peluang cukup besar Nadia akan menerima penawarannya, tapi Luna masih kurang yakin. Lebih baik rencana ini diutarakan secara gamblang. Mending diajak basa-basi sedikit supaya lebih enak didengar. "Gimana sekolah lo?" Luna mencoba memulai pembicaraan.

Pertanyaan Luna langsung menimbulkan kecurigaan Nadia. Selama ini Luna tak pernah peduli dengan keadaan Nadia di sekolah. Sehingga Nadia mengambil sikap waspada. "Lumayan," jawab Nadia ragu. Nilainya yang anjlok tidak harus diketahui Luna.

"Kenapa memangnya? Tumben banget lo nanya begitu?"

"Cuma nanya aja kok. Emang nggak boleh?" ucap Luna samtersenyum malu.

"Boleh aja sih. Cuma nggak aneh aja," jawab Nadia jujur. Luna tahu cewek ini memang lebih suka blak blakan daripada memendam penasarannya. Meski begitu, Luna tetap salting mendengar jawaban Nadia. Ia sadar, memang terdengar sangat aneh kalau tiba-tiba Luna peduli pada Nadia. Sebisa mungkin Luna menekan rasa gugup dan bicara langsung pada pokok masalahnya.

FAIRLY ✓[REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang