Nadia ada merasa yang mengikutinya saat sedang berjalan di koridor sekolah Luna yang sepi. Tanpa menoleh pun ia sudah tau siapa orangnya.
"Ngapain lo ngikutin gue?!" bentak Nadia saat tiba-tiba berbalik badan. Sengaja untuk membuat Ethan seolah-olah tertangkap basah sedang menguntit.
Ethan tersenyum masam, matanya menyorotkan luka yang dalam. "Emangnya lo suka keadaan kayak begini?" Ethan berta nya lirih.
"Maksud lo apaan sih? Keadaan apa?" Nadia balas bertanya. "Keadaan kita yang kayak orang nggak saling kenal ini," jelas Ethan.
"Emang gue nggak kenal lo!" jawab Nadia dalam hati. "Gue nggak pura-pura nggak kenal lo kok," kilah Nadia.
Treeet!
Bel masuk penuh keberuntungan itu memotong kalimat Ethan. "Jam tujuh lewat lima belas. Udah masuk tuh, kapan-kapan aja kita lanjutin lagi ya," kata Nadia lega sambil tersenyum penuh kemenangan.
"Oke. Jam istirahat kita bicarain lagi," kata Ethan yang bikin senyum Nadia pudar dan sekujur tubuhnya merinding. Dasar cowok aneh!
"Kalau gue nggak mau, gimana? Ingat ya, GUE BUKAN CEWEK LO LAGI! Nadia memberikan penekanan suara dalam kalimat terakhirnya.
"Gue akan bikin lo mau. Dan biar lo ingat, gue belum mau putus. Jadi secara resmi, menurut gue, kita belum putus!" respons Ethan dengan nada yang tak terbantahkan.
***
"Nih!" Tiba-tiba Rei menyodorkan sekotak permen cokelat pada Luna yang sedang serius menggambar-gambar abstrak di buku catatan dengan spidol.
"Buat apa?" tanya Luna bingung.
"Anggap aja ini ganti permen cokelat yang dulu lo kasih ke gue," kata Rei.
"Oh. Makasih deh kalau gitu. Nadia pasti senang banget."Mata Rei langsung menyipit curiga.
"Maksud lo apa?" Rei bertanya, mencoba memperjelas. Merasa heran karena Nadia baru saja mengucapkan namanya sendiri seolah-olah ia bukan Nadia. Luna pun langsung salah tingkah. Apalagi Runi yang duduk di sebelahnya hingga ikut memperhatikan proses pemberian permen cokelat itu juga sekarang menatapnya aneh.
"Gue nggak ngomong apa-apa kok," kilah Luna. Walau jelas saja percuma karena Rei dan Runi tidak terganggu pendengarannya.
"Ya udah kalau gitu," komentar Rei. Cowok itu pun duduk di bangkunya kemudian mengeluarkan novel sastra klasik dari tas dan mulai terlihat membaca. Walau sebenarnya Rei tidak benar-benar membacanya.
***
"Sampai di sini perjumpaan kita. Jangan lupa kalian kerjakan PR yang Ibu kasih. Selamat pagi." Kata-kata yang diucapkan Bu Ira setengah menit setelah bel dibunyikan benar-benar bikin Nadia stres. Sekarang ini, Nadia merasa sangat ketakutan waktu Ethan menariknya dari kelas menuju pojok koridor. Tempat itu dekat gudang dan bagian gedung sekolah yang tidak terpakai sehingga sepi. Ethan melepas topengnya. Ia kembali bersikap otoriter bagaikan psikopat!
"MAU APASIH LO?!" bentak Nadia.
"Gue mau lo buka mata!" kata Ethan tegas.
"Gue udah buka mata, kok. Emang lo lihat dari tadi gue merem?" Nadia pura-pura tidak mengerti. Padahal ia tahu persis apa yang dimaksud Ethan dengan buka mata, yaitu melihat bagaimana tulusnya Ethan menyayangi Luna. Cih!
"Lo jangan-jangan pura-pura nggak ngerti deh, Lun!"
"Rasa suka, sayang, dan perhatian itu nggak bisa dipaksa. Gue juga nggak suka sama sikap lo yang keterlaluan itu, Ethan!" Nadia berbicara dengan suara pelan. Ia sudah mempelajari situasinya. Orang seperti Ethan tidak bisa dihadapi dengan suara tinggi. Kecuali kalau memang sudah habis kesabaran.
"Gue sayang sama lo, Lun! Tapi lo nggak pernah sadar itu, lo nggak pernah ngerti!" Ethan berteriak sambil mencengkeram kedua pundak Nadia. Membuat sekujur tubuh Nadia menegang kaku. Kayaknya ini nih risiko terbesar jadi Luna, terancam karena kekerasan fisik.
"Gue-"
"Gue bakalan lakuin apa pun sebagai bukti kalau gue cinta sama lo," Ethan memotong kalimat Nadia. "Gue juga setuju kalau kita putus sekarang. Tapi kalau gue udah berhasil lakuin apa yang lo mau, berarti lo jadi cewek gue lagi. Dan kalau nggak bisa, gue akan pergi dari hidup lo."
"Apa pun?" Nadia meyakinkan Ethan dan dirinya sendiri. Tetapi diam-diam Nadia membaca celah. Kalau "apa pun" itu tidak bisa Ethan capai, artinya cowok itu harus pergi. Ia harus memutar otak untuk mencari sesuatu yang tidak mungkin bisa Ethan lakukan.
"Ya. Satu permintaan yang bakal jadi bukti kalo gue sayang sama lo," sahut Ethan membenarkan.
"Oke. Gue setuju," kata Nadia. "Tapi kasih waktu gue buat pikirin apa yang harus lo lakuin." Nadia meminta waktu pada Ethan.
"Gue kasih waktu lo satu hari. Besok lo udah harus kasih tahu keputusannya," kata Ethan. Nadia mengangguk setuju. Satu hari sudah cukup. Ia hanya perlu berdiskusi dengan Luna nanti malam.
"Sepakat," kata Ethan lembut. Kemudian cowok itu berjalan menjauh, meninggalkan Nadia di koridor sepi itu sendiri. Walau tidak benar-benar meninggalkan Nadia di koridor sepi itu sendiri, ia tidak benar-benar meninggalkan, karena Nadia tahu ia akan selalu dalam pengawasan Ethan.
***
***
Ig: wp_wirenna
KAMU SEDANG MEMBACA
FAIRLY ✓[REVISI]
Short StoryNadia yang ceroboh dan pemalas tinggal di Jakarta hanya bersama mamanya. Nadia mematung mendapati seraut wajah serupa dengannya di ruang tamu. Apakah Nadia akan terima jika selama ini mempunyai saudara perempuan yaitu bernama Luna yang rajin dan pin...