Luna tidak bersekolah hari ini. Toh, papanya sudah mengurusi semua keperluan pindah sekolahnya sehingga sekarang ini Luna hanya bisa berbaring nyalang di tempat tidur, merasa seperti anak putus sekolah yang terzalimi.
Selain itu, apa yang terjadi pada minggu ini benar-benar berat. Beragam pertanyaan berseliweran di kepalanya selama Luna melamun. Kenyataan ia punya saudara kembar yang mau tidak mau harus ia hadapi juga tak membuat segalanya menjadi mudah.
Tok tok tok
Luna mendengar pintu kamarnya diketuk pelan.
"Siapa?"
"Ini Papa, Lun." Luna bangkit dari tempat tidur dan membukakan pintu. Sudah waktunya menghadapi kenyataan, kata Luna dalam hati.
"Barusan Ethan telepon, katanya kamu nggak angkat telepon dari dia. Ethan tanya kenapa kamu nggak masuk sekolah, Papa bilang saja kamu nggak enak badan," jelas Papa.
Luna menghela napas, kesal ketika nama Ethan sudah disebut-sebut di pagi hari seperti ini.
"Lagi marahan?" tanya Papa begitu melihat raut wajah tak suka Luna setelah mendengar laporannya. Gadis itu hanya mengangguk pelan.
"Dia baik kok," komentar Papa.
"Baik? Papa nggak tahu saja dia aslinya gimana!". Luna langsung berkata keras. Si psikopat itu memang jago berpura-pura jadi cowok paling baik dan bertanggung jawab di dunia ini saat berhadapan dengan Papa.
"Ya sudah, lupakan saja kalau Papa pernah bilang dia baik, kata Papa mengalah. Oh ya, nanti siang, Mama kamu datang Lun. Kita harus bicarakan masalah ini baik-baik. Dan Oma sama Opa juga akan datang sore ini. Jadi kamu persiapkan diri baik-baik ya,"Luna berdecak kesal, ternyata omongan tentang Ethan tadi hanya sekadar basa-basi. Pikiran tentang Oma dan Opa yang akan mengunjunginya juga bukan sesuatu yang membangkitkan minatnya. Walaupun tinggal di kota yang sama, Luna tak betah sama sekali menghabiskan waktu bersama kakek dan neneknya. Opa memang sosok yang pendiam, tapi Oma? Jangan tanya! Tak ada satu hal pun di dunia ini yang tidak wanita itu komentari. Luna mengingat-ingar terakhir kali ia bertemu Oma ketika lebaran tahun lalu, dan yang dilakukan Luna hanya sungkeman sekenanya kemudian bersembunyi di belakang rumah sambil main game di ponselnya.
"Tante Ratna mau datang?"
"Lun, jangan panggil Tante lagi. Dia itu kan mama kamu," Papa menegaskan. Bagaimana mungkin papanya tidak dapat mengerti kalau ia
tidak terbiasa memanggil orang yang baru dikenal dengan sebutan "Mama?" Luna mengomel dalam hati.
"Susah, Pa. Nggak terbiasa."
"Ya harus kamu biasakan."
"Terserah Papa deh!"
"Kalau terserah Papa, berarti kamu harus bersikap lebih dewasa dengan berusaha untuk membicarakan segala sesuatu dengan pikiran terbuka," Papa memperingatkan. Ketika Luna tak membalas apa-apa, Papa menarik napas berat kemudian meninggalkan Luna untuk menenangkan diri di kamarnya sendirian.
Sekitar dua jam kemudian, ketika Luna selesai mandi dan berpakaian rapi demi tak dimarahi neneknya, terdengar suara deruman mobil dari arah depan. Dari jendela kamar, Luna melihat bahwa yang datang adalah Oma bersama Opa dan mamanya dalam dua mobil yang berbeda. Ia memperhatikan Mama yang kelihatan cantik seperti kemarin-kemarin, namun kali ini tampak lebih muda dengan rambutnya yang di kuncir ekor kuda dan warna hijau yang membuat kulit putihnya keliharan segar.
Kemudian muncul Opa yang kelihatan tenang seperti biasa. Lalu Oma yang entah mengapa kelihatan ringkih daripada sebelumnya. Biasanya Oma penuh semangat, dagunya selalu lebih tegak daripada siapa pun dan sorot matanya selalu menyiratkan ancaman bagi siapa pun yang menurutnya pembangkang. Sorot mata seperti yang hampir selalu diterima Luna karena gadis itu hampir tak pernah menuruti kata-kata Oma setiap kali mampir. Namun kali ini, mata Oma kelihatan lebih sendu daripada biasa. Bahunya sedikit merosot seperti orang yang kelelahan dan terkejut.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAIRLY ✓[REVISI]
Short StoryNadia yang ceroboh dan pemalas tinggal di Jakarta hanya bersama mamanya. Nadia mematung mendapati seraut wajah serupa dengannya di ruang tamu. Apakah Nadia akan terima jika selama ini mempunyai saudara perempuan yaitu bernama Luna yang rajin dan pin...