"Bodohnya aku terlena dalam untaian kata indah darimu hingga akhirnya ku tenggelam dengan kenagamu"
***"Gue nggak bisa pura-pura nggak tahu kalau lo suka Rei."
"Apa-apaan sih lo?" Mata Luna membelalak saking terkejut ketika tiba-tiba Nadia masuk ke kamarnya.
"Kalau lo sekarang takut ngaku di depan gue, itu wajar.”
"Tapi, Nad..."
"Suka sama siapa aja, itu hak semua orang," potong Nadia.
"Kalau emang lo suka sama Rei, kejar dia. Dia kan udah bilang tentang perasaannya tadi," sambung Nadia.
"Maksud lo apa?"
"Gue setuju kok kalau lo sama Rei bisa jadian." Jawaban Nadia membuat Luna ternganga. Luna sudah tidak bisa berpikir lebih jauh, karena pikirannya hanya tertuju pada penderitaan Nadia, membuatnya merasa bersalah.
"Gue sadar kalau gue nggak sepenuhnya suka sama Rei. Mungkin dulu gue pernah suka sama dia, tapi perasaan itu hilang sama sekali saat ini. Gue sadar, gue marah waktu lo deket sama Rei selama ini bukan karena gue cemburu... mungkin awalnya emang iya. Tapi lama-lama gue menyadari alasannya lebih karena gue marah, lo nggak bisa tepatin janji lo sendiri. Jadinya selama ini gue cuma merasa dimanfaatin, makanya gue marah." Nadia berusaha memberi penjelasan pada saudara kembarnya.
"Tapi... Rei udah keburu pergi kan? Dia marah, Nad..." Hanya itu yang dapat keluar dari bibir bergetar Luna. Nadia tersenyum kemudian merangkul saudara kembarnya.
"Makanya, lo harus bicara baik-baik sama dia. Gue jamin, Rei pasti bakalan mengerti."
***
Luna masuk ke kelas Nadia dengan gugup. Ia memberanikan diri untuk sekali lagi menyamar menjadi Nadia. Sesuai anjuran Nadia, Luna harus menyelesaikan masalah dengan Rei. Mama pun setuju setelah mendengar cerita mereka berdua. Mama ingin masalah pacar-pacaran ini selesai dan kedua anaknya fokus untuk menyambut ujian yang di depan mata.
"Pagi, Runi," sapa Luna ketika melihat Runi sudah duduk di kursinya pagi ini. Runi tersenyum pada Luna lalu tertawa pelan.
"Luna kan?"Luna mengangguk.
"Gue mau minta maaf sama lo, Run. Sama Rei juga. Maaf karena kemarin gue nggak sopan banget, pergi gitu aja."Runi tertawa lagi.
"Tenang aja, Lun. Gue ngerti kok. Gue seneng banget, karena sekarang gue punya dua sahabat baik, lo sama Nadia."
"Makasih ya, Run. Makasih banget, lo emang teman yang baik." Tangis Luna hampir meledak mendengar ucapan Runi. Luna refleks memeluk gadis itu erat-erat.
"Iya." Runi mengangguk dan merasa terharu juga. Tak lama kemudian Rei datang, masuk kelas dan segera duduk tanpa menyapa Nadia atau Luna seperti biasa. Dengan penuh keberanian, Luna menghampiri Rei.
"Reihan..." gumam Luna pelan. Rei memandang Luna yang berdiri di sebelah mejanya. Matanya menyipit, menilai.
"Gue nggak tahu lo ini siapa," kata Rei ketus. Sebetulnya dia tahu persis siapa yang berdiri di sebelahnya.
"Gue... Luna."
"Terus, mau apa kalau lo Luna?" respons Rei sinis. Luna menutup mata, mencoba menahan rasa sakit di hati mendengar Rei bersikap seperti itu padanya.
"Gue mau minta maaf, Rei." Luna pelan-pelan membuka mata. "Gue mau minta maaf karena gue udah mainin perasaan lo selama ini." Rei tersenyum sinis.
"Kalau maaf bisa diterima, apa gunanya polisi sama hukum?" kata Rei, mengutip kata-kata Tao Ming Se Meteor Garden. Luna mendesah putus asa. "Polisi sama hukum untuk menghukum pelaku yang salah," kata Luna pelan.
"Sedangkan kata maaf, digunakan untuk menghapus setidaknya sedikit aja rasa bersalah gue. Atau marah dalam diri lo." Rei tak menanggapi apa-apa lagi. Sorot mata cowok itu tampak terluka, apalagi saat teringat ungkapan perasaannya pada Nadia kemarin yang cuma mempermalukan diri sendiri.
"Maafin gue, Rei. Gue nggak pernah bermaksud jahat, semoga lo bisa ngerti." Luna beranjak, pasrah dan berharap nantinya Rei akan dapat mengerti. Rei masih tak bicara, tapi tangannya mencekal pergelangan tangan Luna untuk mencegah gadis itu pergi. Seketika air mata Luna tumpah.
"Gue minta maaf juga, Lun," gumam Rei pelan.
***
Kondisi Nadia bertambah parah. Setelah muntah-muntah, Nadia juga sempat pingsan di kamar mandi. Mama dengan sigap langsung menghubungi rumah sakit untuk membawa Nadia dengan ambulans, lalu menelepon Papa dan Luna.
Setelah mendapat perawatan serius, Nadia dinyatakan terserang virus irus dan harus opname di rumah sakit setidaknya sampai tiga hari ke depan. Ketika terbangun, Nadia menemukan Papa dan Mama duduk di sebelah ranjangnya. Mereka menatap Nadia dengan penuh kecemasan.
"Kamu udah merasa enakan, Sayang?" tanya Mama, suaranya penuh kekhawatiran.
Nadia mengangguk. "Mi... num, Ma," rengeknya. Tenggorokannya terasa kering. Mama dengan tergesa-gesa mengambil segelas air putih dan sebuah pipet kemudian membantu Nadia minum.
"nadia kenapa, Ma? Kok Nadia ada di sini?" tanya Nadia pelan.
"Kamu tadi pingsan, Nak. Sekarang di rumah sakit. Kata dokter, kamu kena tifus," jawab Mama pelan, berusaha tidak membuat Nadia panik.
"Oh..." Nadia mendesah kesal. Ia benci rumah sakit. "Nadia nggak bisa pulang aja, dirawat di rumah?"
"Belum bisa, Nad. Kamu harus dirawat di sini dulu sebentar supaya cepat sembuh." Mama membelai rambut Nadia.
Nadia mengangguk. Kemudian pandangannya terhenti pada Luna dan Rei yang berdiri berdampingan tidak jauh dari tempat tidurnya. Nadia tersenyum.
"Masalah kalian udah selesai?"
"Udah, Nad. Makasih banget ya." Rei menjawab sembari mengangguk dan tersenyum.
Nadia tertawa melihat ekspresi Rei yang begitu senang.
"Sama-sama, Rei. Gue juga mau minta maaf ya."
"Iya, Nad. Nggak ada yang perlu dimaafin lagi kok," potong Rei cepat. Nadia tertawa samar lagi dan mengangguk. Lega karena satu masalah sudah selesai.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
FAIRLY ✓[REVISI]
Short StoryNadia yang ceroboh dan pemalas tinggal di Jakarta hanya bersama mamanya. Nadia mematung mendapati seraut wajah serupa dengannya di ruang tamu. Apakah Nadia akan terima jika selama ini mempunyai saudara perempuan yaitu bernama Luna yang rajin dan pin...