"Bodohnya terlena dalam untaian kata indah darimu hingga akhirnya ku tenggelam dengan kenagamu"
***
"Baru pulang, Nad?" tanya Mama dengan nada ketus saat melihat Luna memasuki rumah dengan lesu. Mama melihat jam dinding, sudah pukul lima sore. Setelah pertemuan dengan Kepala Sekolah selesai, Mama memang langsung pulang dan tidak pamit pada Nadia lagi. Sedangkan Luna, meski bel pulang berbunyi pukul dua siang, gadis itu tidak untuk sanggup pulang cepat. Jadi Luna hanya berjalan-jalan di sekeliling taman kota tanpa tujuan.
Luna mengangguk, tahu persis alasan mamanya berubah ketus begini.
"Kita harus bicara, Nadia."
"Ma..." Suara Luna teredam bunyi bel rumah yang dipencet dengan tak sabar. Mama hanya mengangguk pelan, mengisyaratkan Luna membuka pintu. Luna patuh, bersyukur ada kesempatan menunda kemarahan Mama. Kemudian Luna membuka pintu rumah, dan terkejut melihat Nadia dengan mata yang memerah dan bengkak.
"Nad..."
Nadia tak memedulikan panggilan Luna dan segera berlari ke kamar.
***
Sebelum Nadia mengetuk pintu rumah...
Setelah secara tidak langsung Ethan mengungkapkan perasaannya pada Nadia. Suasana di antara mereka jadi canggung, Ethan sibuk dengan pikiran sendiri, sedang Nadia tak sanggup bicara karena jantungnya berdetak lebih kencang. Nadia pasti akan bicara seperti orang gagap kalau nekat bicara.
Beberapa menit berlalu dan mobil Ethan sudah berhenti tepat di depan rumah Nadia. "Udah sampai, Sayang," kata Ethan lembut.
Nadia merasakan pipinya memanas. Sayang? Ini memang bukan pertama kali Nadia mendengar panggilan ini dari mulut Ethan. Namun baru sekarang Nadia mendengar panggilan itu ditunjukan benar-benar untuk dirinya.
Nadia mengangguk lemah, kemudian meraih pegangan pintu mobil dan keluar. Namun saat ia menutup pintu dari luar, Nadia melihat Ethan juga sudah keluar dari mobilnya. Gadis itu menyunggingkan senyum tipis, kemudian berbalik dan pergi. Belum sampai tiga langkah Nadia berlalu, Ethan berlari mengejar dan menggapai Nadia, mencengkeram pergelangan tangan kanan lalu membalik paksa tubuh gadis itu.
Nadia merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, ia tak sanggup menghadapi sepasang mata tajam Ethan yang menatapnya lekat.
"Lihat mata gue, Sayang" perintah Ethan pelan dan lembut. Tapi Nadia merasakan penekanan yang memaksa Nadia berhenti menghindari tatapan mata Ethan.
Nadia menelan ludah kemudian menggeleng pelan. Ia bahkan tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika menatap mata Ethan.
Ethan mendesah putus asa. Sorot mata cowok itu terlihat hangat namun menakutkan. Dia mencangkup wajah Nadia. Buru-buru Nadia mendorong dada Erhan menjauh dan menciptakan jarak lebih lebar di antara mereka.
"Lo, jauh-jauh dari gue!" ancam Nadia.
Mata Ethan berkilat dan cowok itu mencengkram lengan Nadia keras-keras, membuat Nadia meringis kesakitan. "Jangan pernah suruh gue menjauh."
Nadia ketakutan. Ethan tidak lagi bersikap melindungi dan memanjakan Nadia. Tapi Ethan dengan cepat menyadari apa yang telah diakibatkannya. Cowok itu pun mengendurkan cengkraman meski tetap tak melepaskan lengan Nadia.
"Maafin gue, Nad." Ethan menghela napas berat. "Sepanjang perjalanan, gue berpikir. Setelah rahasia pertukaran lo sudah terbongkar, apa semua juga selesai? Apa lo bakal kembali ke identitas lo yang sebenarnya dan gue nggak bisa ketemu lo lagi? Apa gue punya kesempatan mendekati lo lagi? Kali ini. gue yang mengalah menjadi pilihan. Gue nggak akan memaksa lo atau atau menghalalkan segala cara agar lo tetap di samping gue."
Nadia tak menjawab. Air mata sudah mengambang di kelopak matanya. Nadia bisa melihat kalau raut wajah Ethan penuh penyesalan.
Ethan kemudian mengecup puncak kepala Nadia. Lalu pelan-pelan melepaskan lengan Nadia.
"Kalau mau masuk, aku nggak akan ngehalangin lagi," kata Ethan muram. Nadia mengangguk pelan, kemudian setengah berlari membuka pagar tinggi rumahnya yang tak terkunci. Dengan langkah berat Ethan berjalan menuju pintu pengemudi dan masuk ke mobil. Ethan mendesah berat, kemudian dengan perasaan kacau mulai mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, menjauh dari rumah Nadia.
***
"Nad? Lo kenapa?" Nadia bisa mendengar suara Luna yang berhasil menyusulnya ke kamar. Nadia menelungkup dan menekan wajah kuat-kuat ke kasur berusaha menahan isak.
Sudah berakhir. Semua sudah berakhir hari ini, seperti harapan Nadia. Seharusnya Nadia merasa senang, seharusnya...
"Nad?" Kali ini Luna menghampiri Nadia dan duduk di sebelahnya. "Kalau lo nggak mau cerita dulu, gue nggak akan maksa. Tapi..." Luna ragu-ragu sejenak sebelum melanjutkan, "ada masalah yang terjadi, dan lo harus tahu masalah itu."
Nadia membalikkan tubuh mendengar kata-kata Luna, kemudian bangkit hingga kini duduk bersebelahan dengan Luna. Mata Nadia menyipit curiga memandang Luna, menunggu kelanjutan cerita Luna. Ketika sudah hampir lima menit Luna hanya diam, Nadia seketika tahu apa yang membuat Luna tak bisa bicara. Pasti masalah besar!
"Lo kenapa?" tanya Nadia tajam. Ia melihat Luna agak menunduk, sebisa mungkin menghindari tatapan mata Nadia.
"Gue... mau minta maaf," jawab Luna terbata. "Minta maaf?" Alis mata Nadia terangkat heran bercampur curiga. Masalah apalagi yang Luna perbuat?
Luna mengangguk pelan, kemudian menjelaskan masalah yang membuat Mama harus datang ke sekolah pagi ini dengan ragu dan kalimat tersendat. Nadia cuma bisa mendengarkan penjelasan Luna dengan perasaan campur aduk antara marah dan terkejut.
"Maafin gue, Nad. Gue gak bermaksud begitu." Luna meminta maaf sekali lagi setelah mengakhiri ceritanya. Kembarannya bergerak hendak memeluk Nadia, tapi langsung saja ia tepis dengan kasar.
Nadia mendesah kesal. Di saat-saat pertukaran ini selesai, jati diri yang sebenarnya justru malah hancur berantakan. Belum lagi ia bayangkan omelan Papa dan Mama, cap buruk dari sekolah, dan segala kemungkinan-kemungkinan buruk lain yang akan Nadia hadapi setelah ini.
"Lo kok tega banget sih, Lun?" tanya Nadia lirih. Saking marah sampai tak bisa berteriak. "Lo rahu kan kalau lagi bawa nama gue? Kenapa nggak lo jaga sih? Gue udah berusaha sabar selama ini. Gue juga udah berusaha nggak marah-marah waktu tahu kalau lo sering bohong di belakang gue. Ini balasan lo?" Luna bergeming sejenak kemudian beranjak keluar dari kamar Nadia. Nadia mengira Luna pergi dari kamarnya karena malu, tapi ternyata lima menit kemudian Luna kembali.
Luna menyodorkan kotak kecil terbungkus kertas kado merah hati. Tanpa perlu diberi tahu, Nadia sudah dapat menebak apa isinya tapi ia bergeming. Akhirnya Luna memutuskan meletakkan kotak itu di meja belajar Nadia.
"Gue tahu gue udah banyak melanggar janji. Satu-satunya yang masih bisa gue tepatin, cuma ngasih jepit itu. Maafin gue, Nad," kata Luna pelan, suaranya mengisyaratkan penyesalan.
"Ini buat benerin keadaan?" sindir Nadia. "Jepit ini bisa bikin nama baik gue balik lagi?"
"Gue janji, Nad. Gue akan berusaha sebaik mungkin, tapi kasih gue waktu." Luna memohon dengan nada memelas.
Nadia tersenyum masam, kemudian menanggapi kata-kata Luna dengan ketus. "Terserah lo deh. Kalau usaha lo malah bikin nama gue tambah hancur juga nggak masalah. Sekalian aja, nggak usah setengah-setengah."
Luna diam saja. Namun setelah Nadia terlihat agak tenang, cewek itu memutuskan untuk keluar dari kamar kembarannya membawa tekad untuk menyelesaikan masalahnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
FAIRLY ✓[REVISI]
Short StoryNadia yang ceroboh dan pemalas tinggal di Jakarta hanya bersama mamanya. Nadia mematung mendapati seraut wajah serupa dengannya di ruang tamu. Apakah Nadia akan terima jika selama ini mempunyai saudara perempuan yaitu bernama Luna yang rajin dan pin...