11. Bisa-bisanya!

3 1 0
                                    

Niatnya tadi menjalankan apa yang sudah Topan nasihatkan ke gue, jangan marah sama kakak. Well, gue gak bakal marah cuma ingin bertanya.

Melihat mobil kak Anri yang parkir gak jauh dari gerbang kampus, pada waktu yang gue sebutkan sebagai jam pulang gue. Gue udah narik Topan yang gue paksa ikut buat ambil handphone-nya.

"Aku bisa ambil ke rumah kamu, Yang. Jangan disini." Dari tadi Topan mohon buat gue biarin dia datang ke rumah sekedar ambil handphone-nya. Tapi gue gak mau resiko, kalau bisa disini kenapa gak sekarang aja, kan?

TOK TOK

Gue ketuk kaca mobilnya, kakak keluar nampak sekali murka setelah melihat tangan gue yang genggam erat tangan Topan. Gue ngerasa Topan berusaha lepasin tapi gue kekeh genggam.

"Kembaliin, kak!" To the point, itu yang gue inginkan sekarang. Alisnya naik, sepertinya gak suka dengan perintah gue, atau dia bingung dengan kalimat gue?

"Dia gak bisa ambil sendiri ke rumah? Sampai harus kamu yang ambilin dengan cara seperti ini?" Gue akui, gak suka gue berdebat sama kak Anri. Tapi setiap gue mau ngalah, hati gue bilang untuk lawan. Karena hidup gue gak akan selamanya bisa di atur sama dia.

"Kakak gak bisa dong sita handphone orang, jadi kembaliin sekarang!" Kakak bersidekap, menatap gue dan Topan bergantian. Posisi gue melindungi Topan biar gak kena cakar.

"Kamu tau, Bro? Adik saya gak pernah sekasar ini sama kakaknya, sukses kamu buat dia berubah!" Gue melongo, apa maksudnya itu. Tatapannya mengarah pada Topan, sudah jelas 'Bro' yang dia maksud adalah Topan, kan?

"Li, kamu pulang aja, ya?" Membalik tubuh, gue menatap heran pada Topan. "Maaf kak, saya tadinya sudah bilang pada Jira untuk saya datang ke rumah ambil handphone saya tapi Jira melarang." Topan menjelaskan dengan pandangan menatap kak Anri.

"Well, membela diri dengan menyalahkan orang lain. You're stupid!" Setelah mengatakan itu, kakak membuka pintu belakang mobilnya, meninggalkan gue yang melotot karena kalimatnya.

Hendak berbicara berniat membalas, Topan melarang dengan gelengan kepala menyakinkan dia baik-baik saja.

Meski begitu, gue gak terima dengan kalimat sarkas dari kak Anri. Berasa dia ingin banget gue jomblo di sisa hidup gue. Bayangin Topan ninggalin gue aja sudah galau setengah mati. Ya Allah, Topan jodoh hamba, kan?

"Bagus Jira melarang, itu artinya adik saya paham betul kalau kamu tidak perlu lagi menginjakkan kaki disana dan jangan lagi hubungi Jira sampai kapanpun!" Gak tau mau marah atau mau pingsan. Kak Anri sukses bikin air mata gue yang terkumpul dalam hati keluar begitu saja.

"KAK ANRI JAHAT!" Yang gue lakukan setelah teriak adalah narik tangan Topan yang udah pegang handphone dia, menjauh dari perempuan jahat yang nasibnya dia kakak kandung gue.

"Mau kemana kamu, Jira? Pulang?"

Gue tetap lari, tapi Topan memberhentikan langkah membuat gue ikut berhenti. Gue gak mau balik badan apalagi nurutin ucapan kakak. Kakak keterlaluan, sangat keterlaluan dan itu buat gue sadar bahwa gue bisa membencinya.

Topan berjalan kedepan gue, dengan mata masih meneteskan airnya, gue berusaha untuk gak menangis tapi gak bisa.

"Kamu pulang, ya?" Gue gak mau.

Seketika ide buat kabur dari rumah terbesit dalam otak gue, entah Topan akan mengizinkan yang penting gue ucapkan saja. "Aku mau nginep di rumah kamu, boleh gak?"

****

Mengancam, itu sangat baik bila di gunakan pada waktu yang mendesak. Berbekal rasa sayang juga mungkin, si Ayang gak berani ngelawan.

Jodoh Buat Kakak |TAMAT|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang