40. Tamasya 2

2 0 0
                                    

Sudah dua jam berlalu, tiga sekawan, Kak Anri dan Mamak masih bermain air. Awalnya Mamak dan Kakak enggan ikut basah-basahan. Tapi sepertinya Kak Anri tergiur, begitu mulai basah kakinya Kakak mulai terjun masuk seluruh tubuh.

Mamak yang terakhir menceburkan diri, kalau Mamak karena terpaksa. Cahya yang basah kuyup menyeret Mamak untuk menemani Cahya yang ingin belajar berenang.

Ya, Mamak di minta untuk menjaga Cahya supaya tidak tenggelam. Akhirnya Mamak ikut basah meskipun hanya berada di pinggiran kolam.

Gue? Gue patuh, mencegah lebih baik daripada mengobati. Tugas gue menjaga barang bawaan, yang lumayan banyak.
Kalau Topan, dia sekarang sedang pergi cari makanan. Sejak tadi sih ngobrol sama gue, tanpa arah pembahasannya.

Tapi yang jelas, baru saat ini kami berdua punya waktu bicara lebih banyak setelah berjauhan. Jauh dalam artian jarak dan juga perasaan.

"Jangan berlari!" Teriakan Topan terdengar, begitu melihat arah kanan dia sedang kerepotan membawa banyak sekali makanan dan di belakangnya diikuti tiga sekawan yang basah kuyup berlari mengejar Topan.

"Hati-hati!" Gue ikut teriak, Fajar terlihat akan terpeleset tadi. Mana jalan yang mereka lalui becek, tidak hati-hati pula.

Tangan gue mengambil alih salah satu bawaan Topan. Sedangkan Cahya, Fajar dan Senja sudah duduk di tempatnya masing-masing. Mereka tenang sekali makan mie cup-nya masing-masing.

"Mamak dan Kak Anri, mana?" Sambil menata makanan dan cemilan, dia bertanya.

Melihat sekeliling, gue tidak menemukan keduanya. Memanggil Cahya, gue menanyakan keberadaan Mamak. Bukannya tadi Cahya yang menyeret Mamak mendekati kolam?

"Itu!" Mamak datang, membawa kresek di tangan. Baju Mamak juga tidak basah, sepertinya Mamak sudah ganti baju.

"Basah semua, Ra! Dingin," ucap Mamak sesampainya di dekat gue. Meraih jaket milik Cahya, gue larang karena pastinya kekecilan.

"Pakai punya Kakak saja, Mak!" Karena sweater Kakak tebal, sudah pasti lebih hangat daripada jaket denim.

"Ini, Mak." Sigap sekali, Topan memberikan teh hangat pada Mamak. Padahal tadi gue tidak lihat Topan membawa gelasnya.

"Terima kasih, Pan!" Harusnya gue ketawa kencang, sejak tadi mengobrol di mobil selama perjalanan. Mamak terus memanggil Topan dengan hanya nama belakang.

Lucu saja, tapi Topan tidak terlihat bermasalah dengan panggilan itu. "Kakak berenang di sebelah mana, Mak?"

"Di kolam yang dua meter sana, kakakmu sudah pandai berenang ternyata, Ra!"

Gue pamit pada Mamak dan Topan, ingin mencari Kakak. Topan sejak tadi menyuapi Senja. Adik perempuannya itu tidak bisa membawa wadah mie cup yang ikut panas karena isinya.

Sesampainya di area kolam yang dalam, gue menatap sekeliling. Mencari keberadaan Kakak melalui mata daripada teriak-teriak memanggil nama. Bisa-bisa, semua orang menatap gue.

Dapat, kepala Kakak baru muncul dari permukaan air. Pantas gue cari meski hanya dari melihat punggungnya saja tidak.

"Kak!" teriak gue pelan. Dari pinggir kolam, gue menunggu Kakak mendekat. "Makan yuk, semua sudah ngumpul tuh!"

"Kamu dan Topan serius tidak berenang?" Gue mengangguk. " Padahal segar, tidak dingin Ra!"

Tetap saja, hari mulai sore. Bukan lagi saatnya berenang. "Ayolah, semua lagi pada makan. Mie Kakak bakal gak enak, loh!"

"Sini bentar, Ra!" Kakak meminta gue untuk lebih dekat. Karena pinggiran kolam yang gue maksud, masih sekitar satu meter lagi.

Takut kena ciprat, hanya itu.

"Apa?"

Kakak tersenyum, kemudian berkata, "Kamu harus mulai fokus pada hidup kamu. Jangan pikirkan rasa bersalah yang hadir dalam hati kamu. Kakak tidak pernah berpikir untuk menyalahkan orang lain atas keputusan Kakak sendiri."

Gue masih terkejut, dalam keadaan jongkok mata gue melotot.

"Setelah menikah, kamu bukan lagi hanya putri kedua dari Mamak Hanna. Kamu akan menjadi menantu, istri dan calon ibu. Berusaha untuk menjadi tiang dalam rumah tangga kamu. Jangan jadikan tiang itu goyah, karena jika tiang itu goyah karena tidak percaya diri atau merasa bersalah pada sesuatu yang tidak kamu lakukan. Tiang itu akan rubuh, dan menimpa seluruh yang ada di dalamnya. Mengerti, Ra?"

Satu pertanyaan yang gue pikirkan, "Seandainya aku tidak berpacaran dengan Topan. Tidak ada hari lamaranku, pun tidak mengenal Topan. Apa kakak akan menikah dengan Bang Fahmi? Dan menerima Bang Fahmi saat pertama kali Abang melamar Kakak?"

Bukannya langsung menjawab, Kakak berenang di tempat dengan gaya punggung dibawah. Ya, dia tiduran di permukaan air.

"Tidak ada seandainya, Ra!"

"Jawab saja!"

Gue menyingkir begitu tubuh Kakak naik ke pinggiran kolam. "Keputusan kakak akan tetap sama. Ra, dalam diri kakak pernikahan itu berarti membangun keluarga baru. Kakak sudah punya keluarga, bahagia bersama keluarga kakak sendiri. Kakak tidak pernah berpikir akan sebuah pernikahan. Meskipun Kakak akui, siapa yang tidak luluh dengan sikap tulus penuh kasih sayang yang di tunjukkan seorang pria. Kakak menyayangi Fahmi, dia pria baik. Selalu baik, tidak banyak mengeluh dan pantang menyerah.

Tapi hati Kakak tidak bisa menjamin bahwa Kakak akan fokus pada suami dan juga Mamak. Kakak masih butuh Mamak, masih ingin menyekolahkan Cahya. Keinginan itu muncul dan tidak pernah padam. Kamu tau sendiri bagaimana Kakak meminta kamu untuk selalu patuh pada apa yang Kakak ucapkan. Itu karena Kakak ingin yang terbaik buat kamu! Ya meskipun berlebihan, Kakak bisa belajar dari sana. Jadi, berhenti menyalahkan diri kamu. Keputusan itu milik Kakak, dan kamu harus bisa hidup dengan keputusan milik kamu sendiri. Karena kakak mulai mempercayai bahwa keputusan yang kamu ambil, bukanlah keputusan bocah yang masih perlu di bimbing!"

"Jadi, aku tidak boleh menanyakan pendapat Kakak tentang sesuatu hal begitu?"

Kakak kemudian berdiri, menyamakan posisi dengan gue. Karena sejak tadi ia duduk di pinggiran kolam, gue yang berdiri.

"Kenapa begitu?" tanyanya.

"Kan, Kakak bilang sendiri! Kakak percaya dengan keputusan aku, sedangkan aku sendiri masih butuh keputusan Kakak untuk membantu aku! Buktinya, skripsi aku kalau bukan karena bantuan Kakak. Tidak akan selesai di jadwal pertama sidang!"

"Pendapat, bukan keputusan, Ra!" Gue tungguin, malah ninggalin.

"Sama saja, kalau bukan karena keputusan Kakak yang merestui Topan. Dia tidak akan datang melamar. Aku akan terus Overthingking setiap hari, murung juga terus bisa saja aku marah-marah sama Kakak!"

Kakak tertawa, "Iya, suka hati kamu saja lah! Silahkan ganggu kehidupan kakak! Sepuas kamu, kakak tidak akan melarang!"

Di antara para pengunjung, gue dan Kakak bergandengan tangan sambil tertawa riang. Kami, Gue dan Kak Anri. Sampai kapanpun akan selalu saling menganggu dan mengusik. Saling mencari dan memarahi. Tetapi satu yang kami yakini, kami akan saling melindungi dan menyayangi.

===BERSAMBUNG===

1000 kata

30 August, 2023
PuMa

Jodoh Buat Kakak |TAMAT|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang