20. Buku Berwarna Ungu!

1 0 0
                                    

Pelukan Mamak sungguh erat, gue tau beliau sangat rindu putri tengahnya ini. Ya bagaimana, hampir dua bulan setengah gue gak pulang.

Tentu aja magang bukan satu-satunya alasan, tapi pikiran kacau itulah alasan utama.

Menghindari masalah memang bukan jalan keluar, karena masalah itu entah sudah berakhir atau malah baru dimulai.

"Masuk, yuk!" Di seretnya tangan gue, pasrah kaki menuruti. Mamak berjalan sambil cerita tentang masakan kesukaan gue yang sudah disiapkan.

Benar, meja makan sudah rapi tertata beberapa piring berisi lauk. Kentang cabe bahkan terlihat menggunung di atas mangkuk besar.

"Cuci tangan sama kaki dulu!" Itu perintah Kak Anri yang entah kapan dia membawa koper gue sampe depan kamar.

Patuh, gue mengambil langkah menuju kamar mandi. Kak Anri ternyata baru balik dari kamar mandi, sepertinya dia juga melakukan hal yang sama.

Jujur, gue masih belum ngomong apa-apa sejak kalimat kak Anri yang tak pernah gue duga. Meski itu adalah kalimat yang sangat ingin gue dengar, tapi aneh saat mendengarnya tadi.

Bukan waktunya, begitukah kalimat yang tepat? Karena jujur, Kak Anri sama sekali tidak menunjukkan akan mengatakan kalimat itu.

Seakan-akan, yang tadi berbicara di samping gue adalah arwah orang lain yang sedang iseng merasuki tubuh kakak lalu mengecoh diri gue.

"Dek?"

"Iya, Kak." Gue bergerak menjalankan perintah, kak Anri terlihat kesal karena gue gak segera cuci kaki dan tangan.

Salah gue memang, kebiasaan di keluarga gue setelah berpergian jauh adalah harus bersihkan diri. Entah itu sekedar cuci tangan dan kaki seperti yang gue lakukan sekarang, atau langsung mandi.

"Daun yang gak pernah layu?" Baru, baru banget buka pintu kamar mandi. Sebuah tangan menghalangi disertai pertanyaan konyol dan sangat aneh.

"Gak tau! Minggir!"

"Jawab dulu, kakak pulang gak cariin aku, main masuk aja! Lupa punya adik?"
Si bawel, jelek dan aneh. Cahya Purnama, biasa gue panggil Pur kalau bikin kesal. "Minggir dulu, kaki kakak basah!"

Tau apa yang lebih lengket dari lem? Cahya Purnama. Tiap kali gue pulang, terkhusus saat weekend yang singkat itu. Nih bocah selalu ngikutin gue. Udah kayak bayangan.

"Jawab!"

Bentar, "Apa pertanyaannya?"

Sambil bete mukanya, dia mengulang pertanyaan yang serius gue lupa. "Daun yang gak pernah layu?"

Cahya ngikutin, di samping tubuh gue. Dia berjalan sambil dongak lihatin muka gue yang lagi mikir. "Daun replika, yang Mamak punya di meja ruang tamu!"

"Kok tau?" Selalu, dia gak terima kalau gue bisa jawab. Tapi selalu bikin tebak-tebakkan yang mudah di jawab. Bukan salah otak gue yang pintar.

"Ngawur padahal, Cah!"

"Nyebelin!" Tuh kan!

Gue maklum, dia masih SMP. Jarak umur kami gak terlalu jauh, pun jarak umur gue dan kakak.

Cahya lahir tepat sembilan bulan sebelum hari kematian Bapak. Dia belum mengenal sosok Bapak dengan baik, tapi sebagai keluarganya sebisa mungkin kami mengenalkannya.

Di kelas satu SMP ini, dia memutuskan untuk sekolah di asrama. Sebuah pesantren yang ia ingin sendiri masuk dan belajar di sana. Awalnya, Mamak gak setuju. Takut mungkin, tapi dengan teknik negosiasi yang Kak Anri lakukan, Mamak menyetujui dengan membekali Cahya banyak petuah.

Jodoh Buat Kakak |TAMAT|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang