23. Gak Mungkin, please!

2 1 0
                                    

Ternyata memang sulit, meskipun dosen sudah mengatakan jika gue bisa lanjut bab tiga. Tapi gue harus merevisi beberapa poin yang dosen gue minta.

Sekali lagi revisi, gue berdoa supaya benar-benar hanya sekali saja. Sebab saat sebelum berjumpa, dosen bilang progres gue sudah bagus. Jika gue lebih teliti, mungkin hari ini gue akan lanjut ke BAB selanjutnya.

Bukannya langsung pada bab selanjutnya, malah dapat revisi kembali.

"Sudah selesai?" Kak Anri menanti di bangku warung depan kampus, dengan Cahya tentunya. Sekitar sembilan puluh menit gue di dalam gedung kampus.

Ngapain aja? Menanti dosen lah. Ingat, selalu gunakan etikat menunggu daripada di tunggu saat pada dosen pembimbing kalian. Itu kunci utama supaya tidak membuat mood dosen jelek.

Jika, sekali saja kamu tidak di siplin waktu. Sudah di pastikan tamat riwayat skripsimu.

Kecuali kamu mahasiswa emas, kesayangan dosen pembimbing kamu. Macam salah satu kawanku, dia berhasil 'berteman' dengan salah satu dosen. Sehingga rumornya dosen itu sendiri yang menunjuk kawan itu supaya jadi mahasiswi yang di bimbing.

Curang? Gak juga.
Iri gak? Gak tuh.
Ingin? Gak dong!

"Udah. Cahya mana?" Gue menjawab kak Anri, tapi juga bertanya mengenai keberadaan tuyul satu.

"Beli apa gitu, bilangnya lihat sesuatu di toko sana!"

Apa ya? Jadi penasaran tapi gue lelah buat sekedar berjalan menyusulnya. "Bawa handphone dia, Kak?"

"Gak. Di tinggal tadi." Cahya punya, telepon yang sering ia pakai saat berada di rumah. Kalau di pesantren, ponsel itu akan di tinggalkan di rumah. "Tunggu aja sini, apa kata dosen tadi?"

Gue duduk dulu, hampir banting tas berisi laptop kalau-kalau lupa dengan isinya. "Revisi lagi, aku harap ini beneran terakhir. Capek, masa revisi mulu!"

Gerutuan gue cuma di ketawain kak Anri, kemudian dia berkata. "Pesan minum atau makan, gak?"

Gelas kak Anri sudah kosong, pun dengan milik Cahya. "Jadi ke mall?"

"Jadi, kalau haus pesan aja buat di perjalanan." Tawaran kak Anri memang menggiurkan. Gue merasa letih di terik matahari sekarang ini, padahal belum jam sebelas.

"Oke, aku pesan."

Selesai mengatakan pesanan pada ibu penjual, gue kembali dan melihat di depan kak Anri sudah duduk Cahya dengan sebuah kotak. "Apaan itu, Ya?"

"Sepatu baru!" Pamer Cahya tidak main-main. Gue tau dia beli di toko mana, karena tokonya tidak jauh dari kampus gue. "Nih, Kak!"

Dengan mudahnya Kak Anri menyerahkan kartu ATM-nya pada Cahya. Membiarkan bocah ini memilih sendiri, tahu gitu gue nyusulin.

"Kamu juga mau beli sepatu?"

Iya, gue ada incar satu model sepatu sejak lama. Pernah menemani Dera waktu itu, gue di buat tertarik dengan salah satu model sepatu hak tinggi.

Memang jarang gue memakai sepatu begitu, tapi gue suka modelnya dan waktu gue coba bagus gue pakai.

Sayangnya, uang tabungan gue gak cukup. Batal sudah keinginan gue, hingga saat ini belum juga terpenuhi.

"Gak," dusta. Gue gak berani minta apa-apa lagi ke Kak Anri. Selepas magang, gue jadi tahu gimana kerasnya dunia kerja.
Memang saat magang, gue dapat gaji yang lumayan. Sudah dapat ilmu, dapat duit juga. Tapi sepertinya tidak seluruh anak magang bernasib sama seperti gue.

Gue ambil contoh salah satu kawan kelas gue. Dia kerja berkedok magang, bahkan di minta lembur. Hanya dapat sertifikat magang dengan nilai lumayan baik. Ingat lumayan ya bukan sangat.

Jodoh Buat Kakak |TAMAT|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang