35. Berhenti....

1 0 0
                                    

Penyakit gue seketika sembuh, karena pengobatan dari jamunya Mamak. Disertai rasa semangat dalam mencari kebenaran dan menyatukan perpisahan.

Sebenarnya gue merasa bodoh sekali, datang ke kantor Kakak tanpa memakai riasan. Sudah begitu, pakai baju biasa yang tadi malam gue pakai tidur. Beruntungnya bukan piyama, dan juga gue pakai jaket sekarang.

Setelah turun dari motor Mas Ojek, gue belum masuk ke kantornya. Selain merasa bodoh atas tingkah sendiri, gue rasa gak berani buat masuk ke sana.

Menelepon Kak Anri, jalan satu-satunya. Tapi setelah di coba dua kali, panggilan itu tidak juga di jawab.

Sedangkan Bang Fahmi juga masih sama. Mereka kenapa sih? Beginikah jodoh? Selalu kompak dalam setiap hal?

"Pak satpam!" Gue mendekat pada security yang berdiri tak jauh dari pintu masuk. "Mau nanya, Pak. Kenal Anrival Buhmi?"

"Mbak Ri? Kenal. Kenapa?".

"Saya adiknya, pengen ketemu Kak Anri sebentar bi...."

Ucapan gue terpotong. Ketika pak satpam  Tiba-tiba mengatakan, "Ya, masuk saja Dek. Naik lift ke lantai sembilan, gampang kok, kalau bingung tanya saja. Semua orang di lantai sembilan kenal Mbak Ri pasti."

Tidakkah pak satpam melihat outfit gue? Bagaimana kalau gue di tertawakan satu kantor karena berkeliaran menggunakan pakaian ini?

Mengatakan dalam hati, gue gak berani bicara langsung. Pak satpam juga kembali bertugas dan mengabaikan gue yang masih berdiri penuh ragu.

Salah gue sendiri, bisa-bisanya gue berangkat begitu saja. "Terima kasih pak satpam."

Memasuki lobi kantor, gue di suguhkan para pekerja yang sibuk melangkah kesana kesini. Mereka seakan tidak peduli dengan keberadaan gue.

Bagus, seperti itu saja sampai gue pulang.
Tapi nahas, tepat saat lift berhenti di depan gue dan pintunya terbuka. Seluruh orang kantor berada di dalamnya kah?

Orang-orang yang ada di dalam lift memang sedikit tidak peduli dengan gue, cuma beberapa saja yang melihat gue sekilas. Kemudian mereka semua berbondong-bondong keluar dari lift secara bersamaan.

Gue menepi dari pintu lift, takut kena seruduk. Alhasil, gue baru bisa masuk setelah mereka keluar.

Tidak semua yang keluar, jadi gue sedikit ragu buat masuk. Melihat bagaimana tatapan mereka saat gue bukannya segera masuk sedikit membuat risih.

"Dek, masuk gak?" Bocah banget kah gue? Sampai di panggil begitu?

"Iya." Setelah menekan tombol untuk lantai sembilan, gue diam berdiri tepat di tengah-tengah. Gue menyimak angka lift yang semakin bertambah.

Lift berhenti di lantai lima, kemudian orang-orang yang belum turun akhirnya turun di lantai ini. Tinggal gue sendiri, tidak ada yang naik lagi.

Angka lift kembali bertambah, tapi kemudian berhenti tepat sebelum angka sembilan. Ya, delapan.

"Loh, Jira?" Begitu pintu lift terbuka, Bang Fahmi terkejut melihat gue yang ada di dalam lift kantornya.

"Abang kenapa gak jawab panggilan Jira?
"
"Aku habis rapat dua jam, maaf handphone-nya mode silent," jawabnya begitu telah masuk lift.

"Sama kak Jira juga ikut rapat?"

"Ya, dia sudah kembali lebih dulu." Pantas, mereka kompak bukannya sepakat.

Gue mengikuti Bang Fahmi, yang walaupun tetap menjawab pertanyaan gue. Dia sibuk sama kertas atau dokumen di tangannya.

"Ini ruangan tim-nya Anri, kamu masuk aja. Tok-tok dulu."

"Tapi, Bang?"

Bang Fahmi menatap gue, kemudian bertanya "Kenapa?"

"Abang sibuk banget ya?"

"Sedikit, Ra. Hanya harus setor hasil kerja di cabang Ausie. Ada apa?"

Gue takut buat bicara sekarang, takut mengganggu konsentrasi kerjanya Bang Fahmi.

"Nanti siang, lunch bersama. Dengan Kak Anri juga, mau gak?"

Kelihatan berpikir, kemudian Bang Fahmi melihat jam tangannya sekilas. "Boleh, nanti abang chat kalau sudah beres kerjanya."

Gue mengangguk, membalas lambaian tangan Bang Fahmi yang menjauh.

Misi selanjutnya adalah menemui Kak Anri, tapi setelah melihat Bang Fahmi yang kerepotan selepas rapat. Membuat gue takut kalau Kak Anri juga sama, sedang fokus dengan pekerjaan.

Melihat tempat duduk posisinya tepat di samping jendela, gue putuskan buat menunggu Kak Anri keluar dari ruangannya sendiri.

Lumayan, pemandangan lantai sembilan ini.  Jumlah lantai yang gue tau dari angka-angka di lift tadi, berlantai sebelas. Gedung yang begitu tinggi.

Pemandangannya cukup asri, berbeda dengan kantor Kak Anri di Surabaya. Kalau cabang sana, gue sering berkunjung. Tapi kantor ini, baru sekali ini gue datang.
Selain karena jaraknya dari rumah lumayan jauh, selama di rumah gue jarang main keluar. Bukan hanya karena dulu gak di bolehin sama Kak Anri, tapi memang tidak ada yang mengajak.

"Kak!" Panggil gue cepat saat melihat Kak Anri yang berjalan tanpa melihat ke arah gue.

"Kamu ngapain di sini? Bukannya lagi sakit? Sama siapa ke sini?"

Berondongan, pertanyaan bertubi-tubi itu gue jawab dengan singkat. "Mau ketemu kakak!"

"Ya ngapain ketemu Kakak?"

"Soal Bang Fahmi, Kakak beneran putus sama dia? Tadi aku ketemu Bang Fahmi, dia gak bilang kalau kalian putus." Gue menguji, sedikit berbohong.

Kak Anri memutar bola mata, "Ra, yang benar saja kamu kesini hanya buat tanya itu!"

"Sekarang jam makan siang, Kakak mau pulang buat makan, kan?" Kakak mengangguk, "Gak perlu, kita makan bareng Bang Fahmi aja di kantin. Tadi aku udah janjian, dan Kakak harus ikut."

Maaf nih, bukannya gue kalah tenaga. Apalagi mau alasan kalau badan gue masih kurang sehat. Tapi upaya gue buat menarik tangan Kak Anri, malah berbalik.

Kak Anri menyeret gue, sedangkan gue bingung dengan reaksi Kakak. "Kantin ke arah sana?" tanya gue.

Kakak tidak menjawab, langkah Kakak begitu cepat dan tetap menarik tangan gue dengan erat.

Tangan Kak Anri yang memegang tas, mendorong pintu kemudian mengajak gue masuk ruangan yang di buka tadi.
Bukan kantin, ruangan yang gue tau di pakai untuk rapat ini cukup luas. Tapi hanya ada kami berdua.

"Ra, kakak coba tahan selama ini kelakuan kamu. Tapi hari ini, kamu melewati batas wajar yang harusnya tidak kamu langkahi."

Gue mundur, Kakak terlihat begitu marah. Pernah gue lihat ekspresi ini, sama persis saat dia memergoki Topan berada di rumah kontrakan dulu. Saat pertama kali, Kak Anri bertemu dengan Topan.

"Berhenti ikut campur, kamu gak pernah tau dan gak perlu tahu bagaimana hubungan Kakak dan Fahmi berjalan."

Kepalang tanggung, gue memang berniat berbicara masalah ini. "Kakak harus tau, Bang Fahmi itu sayang banget sama Kakak!"

"Ra, tolong. Kamu gak pernah tahu yang sesungguhnya."

"Kakak yang gak pernah melihat ketulusan Bang Fahmi dalam menyayangi Kakak. Kakak membodohi diri sendiri karena batasan yang kakak buat sendiri, harusnya kakak berhenti membatasi perasaan kakak. Kakak harus lihat bagaimana Bang Fahmi selalu ada untuk Kakak!"

"Kakak buta begitu? Buta seperti apa? Seperti kamu yang memilih kabur dan sembunyi, menuduh Topan tanpa bukti padahal dia berjuang membuktikan dirinya dengan caranya sendiri, macam itu, Ra?"

===BERSAMBUNG===

1025 Kata

28 August, 2023
PuMa

Jodoh Buat Kakak |TAMAT|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang