19. Kakak Gue Kenapa?

1 0 0
                                    

"Iya, Mamak. Jira sudah distasiun. Tadi dijalan, makanya gak terangkat telepon kakak." Gue lagi teleponan sama Mak, sambil berjalan masuk ke ruang tunggu yang tersedia kursi distasiun ini.

Akan gue jabarin sedikit apa aja yang gue obrolin sama Mamak ya. Kalian belum kenal Mamak, kan?

"Nanti sudah mau sampai stasiun bilang, kakak akan jemput!"

"Kakak libur kerja, Mak?"

"Gak, tapi bisa izin sebentar katanya." Gue mengiyakan saja sambil memposisikan diri pada kursi kosong yang tersedia. Lumayan ramai calon penumpang kereta hari ini, padahal weekday. "Kamu sudah sarapan, Nduk?"

"Sudah, tadi diajak makan Dera sebelum berangkat pulang."

"Dera pulang sama siapa?"

"Calon suaminya yang jemput, barang-barang Dera lumayan banyak soalnya, Mak." Bagaimana tidak banyak, segala perabot yang dikira Mamanya Dera dibutuhin anaknya, disuruh bawa. Padahal di sana gak seberapa butuh meski sempet dipakai walau sekali.

"Kamu kenapa gak mau di jemput kakak? Kan biar gak susah bawa barangnya!"

"Mak, barang aku cuma sekoper, Dera bawa magic com, setrika, kompor listrik dan masih banyak lainnya. Aku bisa sendiri kok, sayang bensinnya kalau bolak-balik. Kasian juga kak Anri harus nyetir sendiri jauh-jauh."

"Ya sudah, kalau mau sampai stasiun segera kabari kakakmu!"

"Iya, Mak."

Kemudian panggilan tertutup setelah Mamak ucap salam tanpa menunggu gue jawab salamnya.

Gue gak mau melankolis sekarang, suara pemberitahuan jika kereta gue akan segera tiba sudah terdengar.

Perpisahan itu selalu hadir, karena gue tau perpisahan selalu mengikuti pertemuan. Kota yang dua bulan lalu masih asing buat mata gue, kini waktunya gue pamit. Gak banyak yang bisa gue ambil pelajaran dari perantauan gue ini.

Mau cari ketenangan, gak ketemu. Cari solusi dari masalah juga makin rumit, jadinya gue makin bingung bagimana menyelesaikannya. Untungnya magang gue gak berkendala, lancar dan terstruktur. Ilmu magang gue serap dengan baik.

Waktu pemeriksaan tiket dimulai, gue memilih tidak maju sekarang karena terlihat ramai dan berduselan. Asyik dengan lagu di earphone yang gue pasang, kereta api tujuan gue sudah datang.

"Eh, Maaf," ucap gue saat seorang anak tak sengaja tersenggol koper gue. Untungnya tidak sampai terjatuh.

"Maaf, Mbak." Gue tersenyum maklum mendengar Ibu dari anak itu meminta maaf.

Menempelkan barcode e-tiket pada mesin pemeriksaan, gue bergegas masuk kereta sambil menyeret koper.

Setelah mendapatkan nomor tempat duduk sesuai dengan tiket yang gue punya, koper gue letakkan di tempat khusus barang. Kembali gue cek ponsel yang masih menyalurkan musik melalui earphone di telinga.

Tidak ada notifikasi pesan dari Topan. Sejak magang gue gak punya keberanian untuk mengirim pesan duluan. Padahal dulu gak terasa aneh meski gue yang telepon atau chat duluan.

Menatap jendela, gue memfokuskan diri pada doa. "Segala ilmu dan pengalaman yang aku dapatkan, semoga bisa aku terapkan dan bermanfaat dikedepannya. Aminn."

Hampir dua jam gue akhirnya sampai di stasiun tujuan, karena tadi gue mengabari kak Anri perihal keterlambatan kereta yang entah apa sebabnya.

Memintanya untuk datang setelah gue mengabari, jadi sekarang gue masih harus menunggu Kak Anri yang baru memulai perjalanan. Gue mengabari melalui pesan singkat karena gue telepon tidak diangkat.

Melihat ada yang jual es segar, gue mendekat juga ingin mencari tempat teduh dari matahari yang terik. "Pak, es dawetnya satu."

"Minum sini?"

"Iya." Si bapak lincah dan cepat, tak butuh waktu lama pesanan gue terhidang.

Sekedar menanggapi obrolan ringan dari bapak penjual, gue terus memantau koper di belakang badan. Jaga-jaga, harus selalu waspada. Bagaimanapun kejahatan terjadi karena korbannya lengah sendiri.

Hampir lima belas menit setelah es dawet gue tandas, mobil Kak Anri baru terlihat. Ingat penampilan mobil kak Anri, bikin gue dejavu juga penasaran.

Sebenarnya ada apa dengan kak Anri hari itu, tiba-tiba datang dan menginformasikan hal yang bisa saja di bicarakan di telepon. Bukankah kak Anri tidak menunggu gue menjawab dan hanya mengatakannya, lalu pergi begitu saja?

"Nunggu lama?" Sapaan kak Anri saat gue membuka pintu penumpang.

"Gak."

Gue cuma duduk diam aja, ngerasa aneh karena terakhir kali gue berinteraksi dengan kakak terjadi pertengkaran.

Inget kan? Ya, gue belum minta maaf karena sudah marah hari itu. Kak Anri juga gak pernah lagi bahas masalah itu sama gue. Karena kakak juga, interaksi gue sama Topan makin renggang. Jadi bukan salah gue yang memancing permasalahan.

Bukan hal baru jika Kak Anri hanya diam tanpa beralih pandang dari jalanan. Sudah biasa jika kakak gue itu diam sebelum di pancing topik pembicaraan. Namun sekarang, gue merasa aneh dengan diamnya.

Gimana ya jabarinnya? Situasinya memang hanya ada kakak dan gue saja. Cuma perasaan gue lagi sama Topan di perjalanan pulang tapi sedang bertengkar.

Hati gue gelisah gitu, apalagi lihat wajah kak Anri yang datar aja sejak tadi. Otak gue tiba-tiba ingat perkataan Dera saat menatap wajah Kak Anri. Dera menyuruh gue untuk berbicara dengan kakak. Tapi memulai topiknya ini yang gue bingungkan.

Terakhir kali perbincangan, ada emosi yang terselipkan. Ya, dari gue sih. Gue yang emosi, gue yang marah. Kalian pasti paham apa sebabnya, kan?

"Kak!" dia cuma berdehem, fokus banget nyertirnya. "Kakak pengen tau gak, alasan aku magang jauh?"

"Karena menjauh dari kakak."

Eh, tau dia. "Salah satunya itu, alasan lain ada lagi. Kakak mau tau?" Kini jawabannya mengangguk, "Cari jawaban kenapa kakak mau banget jauhin aku dari Topan."

Jujur, gue bingung banget mau ngomong gimana. Kakak gak berekspresi dan diem aja, bikin gue serba salah. Mau ikut diem juga nanggung, lanjut gue-nya takut.

"Kakak bilang kami belum halal. Oke, tapi kami datang dengan niat baik. Dia mau lamar aku, Kak!"

Airmata gue mau turun, Berasa banget sesaknya sampai sekarang. Lihat gimana baiknya Topan selama ini, berbanding terbalik dengan apa yang kakak gue lakukan sebagai sambutan pertama.

Satu-satunya hal yang gue pikirkan sebagai jalan keluar dari masalah ini adalah, gue pengen banget lari, ninggalin kakak buat nikah sama Topan.

Solusi yang sering diambil saat tidak lagi menemukan cara dalam mendapatkan kata restu dari keluarga. Sayangnya gue gak berani melakukan itu.

Katakan gue cemen, penakut atau apapun yang kalian ingin ucapkan. Dengan hati lapang akan gue terima secara ikhlas.
Gue sayang Mamak, meski membenci kelakuan kakak yang menjauhkan cinta gue, di lain sisi juga gue sayang banget sama dia. Intinya gue masih pribadi yang menyayangi keluarga, tidak bisa lepas dari mereka.

"Kamu bahagia sama dia?" Kaget banget gue sama pertanyaan ini.

"Topan?"

"Ya, pacar kamu itu. Topan Mahesa."

"Ya, tentu. Aku bahagia sama dia!" Di sini gue cuma berniat bilang supaya kakak sadar kalau adiknya telah menemukan cinta sejatinya. Tapi kenapa rasanya aneh lihat anggukan kepala Kak Anri setelah dengar jawaban gue.

"Kakak restuin hubungan kalian."

===BERSAMBUNG===

1057 Kata

24 July, 2023
PuMa

Jodoh Buat Kakak |TAMAT|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang